Kenangan Program AFS Intercultural: Keith ‘in the Middle of Nowhere’

In the middle of nowhere, Itu kata teman AFS asal Bandung yang melanjutkan studi S2 dan S3  nya di Australia, saat ia melintasi kota kecil (town) bernama Keith, di  Australia Selatan, kurang lebih 4 jam dari Adelaide, ibukota negara bagian Australia Selatan – “kotamu itu In the middle of nowhere”, katanya.

Ini sebenarnya cerita nostalgia masa lalu, masa  remaja. Keith merupakan kota kecil tempat saya menjalani masa pertukaran pelajar AFS saya, sewaktu usia muda, baru semester 1 di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Satu tahun hidup di kota kecil itu, bersama orang tua angkat (host family), keluarga Button warga Keith, yang sebenarnya berasal dari kota lain di Australia Selatan. Yang saya ingat Mum (Host Mum) berasal dari kota kecil Laura.

Kenapa teman saya itu menyebut in the middle of nowhere? Bayangkan, kota kecil itu betul-betul terpencil. Tanah sekeliling merupakan lahan pertanian dan peternakan, umumnya domba. Jauh dari kota besar dan kota-kota lainnya. Kota terdekat di bagian utara adalah Bordertown, kota kecil juga, sediit lebih besar dari  Keith, kurang lebih satu jam naik kendaraan (kecepatan di atas 120 km/jam). Kalau kecepatan biasa barangkali 1.5 jam. Ke selatan ada kota Murray Bridge, tapi itupun sekitar 2 jam perjalanan dengan kendaraan. Jalanan ke kota-kota tersebut sangat lurus, jalan toll  (high way) datar dan beraspal mulus. Tidak heran laju kendaraan bisa di atas 120km/jam. Sedangkan kalau mau ke Adelaide, ibukota Australia Selatan sekitar 3.5 Jam, melewati Murray Bridge dan Tailem Bend, serta melewati sebuah kawasan pemukiman warga asal Jerman yang terkenal sebagai penghasil anggur, yaitu Barossa Valey. Keith praktis berada di tengah jalan antara Bordertown dan Murray Bridge. Sedangkan sisi timur dan barat kota merupakan lahan pertanian yang sangat luas.  Bahkan ada Coorong National Park di  sisi  Timur kota, salah satu kawasan konservasi alam di Australia Selatan, kurang lebih dua jam naik kendaraan, menuju ke arah pantai. Jadi betul-betul kota yang terpencil. Lahan antar kota umumnya lahan pertanian dan peternakan, sebagian bahkan tanah kosong. Jarang ditemui rumah-rumah penduduk.

Nama Keith Town pertamakali diumumkan tahun 1889. Diberi nama dari Lord Kintore, Gubernur Australia Selatan, yang juga dikenal dengan  Lord Keith, yang leluhurnya berasal dari Aberdeenshire, Scotland. Bahkan nama rumah leluhurnya di Scotland diberi nama  Keith Hall. Keith town termasuk kota kecil yang terletak di dataran rendah, hanya 31meter di atas permukaan laut.

Satu tahun ‘kecebur’, ikut terlibat dalam kehidupan keseharian masyarakat kota kecil itu. Bersekolah, hidup bersama keluarga, melakukan aktifitas olah raga, kadang-kadang ikut acara social, pesta ulang tahun tetangga, atau acara pesta di  sekolah, sampai presentasi mengenai Indonesia di klub-klub kemasyarakatan tertentu. Sehari-hari Saya sekolah di Keith Area School, tingkatan SMA (High School), megambil program matric.

Keith berdasarkan data tahun 2016 berpenduduk sekitar 1.076 orang, namun waktu itu (1983) hanya sekitar 300 orang, terletak di tengah-tengah kawasan pertanian, oleh karena itu didisain sebagai kota kecil penyedia jasa pertanian (farming service town), termasuk dalam district Tatiara (Bahasa Aborigin, berarti good country). Hanya ada satu sekolah (Area School), dari SD  (Primary School) sampai SMA (High School). Pusat bisnis ada pada satu jalan, yaitu Hender Street, memanjang  sepanjang jalan. Ada  sebuah bank kecil, toko makanan, super market kecil, Kantor Pos (waktu itu kantor pos berperan besar untuk komunikasi dengan Tanah Air). Surat merupakan sesuatu yang dinantikan (belum ada email, belum ada internet). Kemudian, di jalan yang berbeda, tidak jauh dari rumah kami, bahkan satu jalan,  yaitu Hill Avenue, ada rumah sakit kecil (Keith Hospital). Juga ada stasiun Keith, meskipun kereta api jarang yang berhenti, kecuali untuk mengangkut hasil pertanian. Juga terdapat sebuah gereja tua, Congregational Church (sejak tahun 1977, namanya kemudian menjadi Uniting Church), yang terletak di Heritage Street, yang dibangun pada tahun 1910. Gereja itu  merupakan gereja tertua di Keith.

Bisa dimaklumi, dengan penduduk yang waktu itu hanya 300 orang atau cukup satu RW kalau di Tangerang, masarakatnya relatif saling mengenal satu  sama lain. Hubungan bertetangga cukup baik.  Penduduk juga sering bertemu di acara-acara sosial kemasyarakatan, acara sekolah, olah raga,  ataupun hanya gathering para tetangga dekat. Anak-anak mudanya bertemu di luar sekolah dalam acara social, seperti  pesta dansa, sekali-sekali.  Selebihnya  banyak bertemu di  acara-acara olah raga, bola basket, Australian football,  cricket ataupun golf.

Hubungan bertetangga cukup baik. Rumah jarang dikunci kalau bepergian mennggalkan rumah, bahkan kalau berpergian untuk  beberapa hari sekalipun. Uniknya, keluarga tempat saya tinggal memelihara seekor kucing. Jadi kalau harus bepergian ke luar kota, seperti ke Adelaide, kucing dititipkan di tetangga sebelah, atau tetangga belakang rumah. Sepulang dari bepergian, kucing kemudian dijemput kembali.

Warga punya kebiasaan saling menyapa  kalau ketemu, “Howdy?” atau “How are you going?”, atau sapaan singkat, “G’day mate!”, kadang lebih lengkap lagi, “G’day Mate, how are  you going?”, dengan  logat khas Australia, yang di tempat lain sama dengan sapaan “How are you?”. Bahasa Inggris orang Australia memang agak beda dalam pengucapan. Seperti “How are you today?” kata ‘today’ diucapkan today, bukan todey (pengucapan Inggris Amerika), seperti menyampaikan to die – mau mati, he, he, he... Secara bercanda saya sampaikan, “I am coming to alive, not to die...”. Begitu pula dengan nama-nama hari, seperti: Sunday, Monday (bukan sandey, atau mandey, tapi sanday, monday, dan seterusnya). Banyak perbedaan dialek (slang), dibandingkan dengan bahasa Inggris Amerika, yang harus kita lakukan adaptasi.  Lucu tapi seru juga.

Kadang tetangga juga mengundang makan malam, tidak sering, tapi ada  saja yang mengundang. Mengobrol  dan saling mengenal. Di tahun itu  (1983) masih banyak  di antara mereka  yang tidak kenal dengan Indonesia, bahkan banyak yang menganggap Indonesia merupakan negeri hutan, yang penduduknya masih tinggal di hutan-hutan. Maklum mereka juga orang pedalaman Australia (orang daerah), pengetahuan geografi mereka lemah sekali. Yang mereka tahu hanyalah Amerika Serikat dan Eropa, atau paling-paling Jepang dan Cina, kalau negara-negara Asia. Tidak aneh kalau ada pertanyaan dari anak-anak di sini: Apakah di Indonesia ada televisi?  Ada pesawat terbang? Ada gedung-gedung tinggi?  Apakah mereka berpikir  saya datang dengan perahu? Pekerjaan rumah yang besar untuk menunjukkan Indonesia sudah jauh dibandingkan bayangan mereka, yang kurang informasi. Tugas saya sebagai duta kecil waktu itu.

Meskipun banyak yang tidak mengenail Indonesia, namun sebagian warga senior, sangat mengenai Presiden Sukarno. Waktu saya sampaikan dari Indonesia, mereka bilang “Oh, Sukarno!”, katanya sambil angkat jempol. Saya ingat, kalangan buruh Australia sangat mendukung kemerdekaan Indonesia, saat Belanda berniat menguasai kembali Indonesia, pasca kekalahan Jepang  dan pasca proklamasi kemerdekaan tahun 1945.

*Aam Bastaman (Universitas Trilogi). Penulis  buku serial Traveler Tic Talk. Returnee AFS International Program.

Keith SA 1.jpg
Aam BastamanComment