Refleksi: Cinta
Topik tentang cinta adalah mengenai hidup kita sendiri. Dasar dari sebuah kehidupan, yang menjadi alasan kita ada. Cinta Tuhan sifatnya yang diturunkan menjadi cinta kedua orang tua kita. Mengalir dalam darah anak dalam kehidupan. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa dasar semua agama pada hakekatnya adalah cinta.
Cinta adalah semua kebaikan yang manusia miliki. Seperti endorfin, menciptakan keseimbangan dan keindahaan, memunculkan nilai-nilai kemuliaan. Nah, tapi kita mungkin menyaksikan dalam keseharian kita, seperti berbicara mengenai kehidupan beragama, tapi tanpa cinta kasih, maka hanya mencederai agama itu sendiri. Agama mengajarkan cinta, sesuai sifat-sifat Tuhan yang maha welas asih. Makanya heran juga kalau mendengar adanya nada-nada sumbang berbalut kebencian, fitnah dan dendam datang dari segelintir pemuka atau tokoh masyarakat, karena bukankah kebencian dan fitnah jauh dari ajaran agama. Apa ini tidak berarti mengingkari ajaran agama sendiri? Yang mengajarkan cinta dan welas asih, seperti yang dicontohkan Allah yang maha pengasih dan penyayang, sebagai ayat pembuka, lengkapnya bismillahirrohmanirrahim (dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang) yang diucapkan umat Muslim setiap saat, setiap kesempatan.
Sering dikatakan bahwa salah satu pencapaian ma’rifat terbesar dalam berkehidupan keagamaan seseorang adalah pada tingkatan bisa mencintai musuhnya sendiri, bahkan yang pernah menyakiti sekalipun, layaknya saudara sendiri, atau bahkan seperti mencintai diri sendiri. Berat, namun seperti itulah tingkatan dan kemuliaan yang sepadan. Sudah teruji kesalehannya. Semuanya melalui cinta kepada sang Khalik, yang maha besar dan pemaaf.
Nabi mengalami hinaan dan cercaan, namun tidak merubah sikap welas asih Nabi terhadap wanita tua yang sering menghinanya. Contoh keteladanan dari Rosul Allah, manusia pilihan. Ahlak terpuji dan budi baik tetap tidak berubah, meskipun menerima perlakuan yang tidak semestinya, karena cinta dan kebersihan hati. Sang wanita tua itu akhirnya sadar, dan mendapatkan kesadaran cinta, yang ia bagikan kembali.
Maka akan sangat bernilai untuk mengembalikan cinta (yang luas dan inklusif) di tengah-tengah kita, dilakukan upaya penyadaran cinta kasih yang hakiki, kalau perlu dengan gerakan menumbuhkan cinta, untuk kebaikan dan perdamaian sesama yang inklusif. Hilangnya rasa cinta sesama dari diri kita bias menimbulkan rasa dahaga, hidup menjadi kosong, kompensasinya bisa menjadi beringas, gampang menyalahkan orang lain dan merasa benar sendiri. Beragama tanpa kesadaran spiritualitas.
Cinta dan kasih sayang yang hilang menyebabkan manusia disorientasi, menjadikan kehidupannya kering, kasar, tidak bisa menahan diri dan beringas, hilang rasa sayang atas sesama manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan yang maha esa. Hilangnya cinta pula yang menyebabkan banyak kematian. Bukan karena kelaparan semata, ataupun penyakit, kelebihanpun (seperti obesitas) sekarang menjadi ancaman yang menyebabkan kematian. Berlebihan (over) juga bisa menyebabkan masalah, dalam segala hal, oleh karena itu agama mengajarkan keseimbangan, kewajaran dan kesederhanaan. Ini yang menjadi argumentasi radikalisme membahayakan keseimbangan kehidupan manusia.
Memupuk cinta berarti memupuk anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Semua yang tercipta atas kehendak Tuhan yang maha esa, seperti dalam Al-Qur’an (al Hujarat: 13), mengenai alasan manusia yang diciptakan Tuhan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, semata-mata untuk saling mengenal. Maknanya besar sekali, bisa dipahami bahkan untuk silaturahmi, saling berbagi, saling mengisi, sehingga bisa menyempurnakan hubungan sosial, hubungan antar sesama. Bukan untuk saling membenci, saling bermusuhan, saling meniadakan ataupun saling membanggakan diri karena keturunan. Hilangnya cinta menjadikan manusia tidak bersyukur. Padahal bersyukur adalah salah satu ajaran agama yang harus diikuti dengan kesadaran.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Demikian bisa kita temukan dalam Al Qur’an (Surat Ar-Rahman: 13), menjelaskan karunia Allah yang diberikan untuk manusia.
Aam Bastaman (Universitas Trilogi).