h-Index dan i10-Index pada Publikasi Ilmiah
Beberapa waktu yang lalu di penerbitan ini saya menulis mengenai publikasi ilmiah, termasuk mengulas produktifitas publikasi para akademisi kita. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, publikasi ilmiah adalah sistem publikasi yang dilakukan berdasarkan peer review dalam rangka mencapai tingkat obyektivitas setinggi mungkin untuk dinyatakan layak diterbitkan dalam jurnal ilmiah atau dalam bentuk buku.
Jurnal ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan artikel ilmiah di bidang disiplin ilmu tertentu ataupun lintas disiplin ilmu yang ditulis oleh mereka yang kompeten di bidangnya dan diterbitkan oleh suatu instansi atau lembaga tertentu.
Artikel ilmiah ini dapat merupakan hasil penelitian orisinil atau berupa telaah dari hasil-hasil yang telah ada sebelumnya. Artikel seperti ini baru dapat dianggap valid setelah melalui proses peer review oleh satu atau beberapa pemeriksa (yang juga merupakan akademisi di bidang yang sama) untuk memastikan apakah isi artikel telah sesuai dan layak dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Oleh karena itu, jangan heran bahwa sebuah artikel dapat mengalami beberapa kali proses pemeriksaan dan revisi, sebelum akhirnya dapat diterima untuk dipublikasikan. Proses peer review ini dapat berlangsung hingga beberapa bulan, bahkan beberapa tahun.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, publikasi ilmiah saat ini mengalami perubahan yang besar, akibat transisi dari format penerbitan cetak ke arah format elektronik, yang memiliki model bisnis berbeda dengan pola sebelumnya. Kecenderungan umum yang berjalan saat ini maupun ke depan, akses terhadap jurnal ilmiah secara elektronik bahkan dapat tersedia secara terbuka dan bersifat masif. Dengan demikian, semakin banyak publikasi ilmiah yang dapat diakses secara gratis melalui internet, baik yang disediakan oleh pihak penerbit jurnal, maupun yang disediakan oleh para penulis artikel jurnal itu sendiri.
Seperti yang telah saya sampaikan pada tulisan saya pada artikel sebelumnya, berdasarkan sumber dari Kemenristekdikti, publikasi ilmiah karya para akademisi kita terus mengalami peningkatan. Per tanggal 10 Oktober Tahun 2018, publikasi ilmiah internasional Indonesia telah berhasil menghasilkan 20.610 publikasi dan berada di peringkat 2 ASEAN, di bawah Malaysia dengan 22.070 publikasi, namun jumlah publikasi dari Indonesia sudah mengalahkan Singapura dan Thailand.
Per 28 November 2018 publikasi Indonesia terkumpul sebanyak 24.883 jurnal. Angka itu jauh di atas Singapura 19.767 jurnal dan Thailand 15.018 jurnal, namun sedikit masih di bawah Malaysia. Secara kuantitas perkembangan publikasi ilmiah kita cukup membanggakan (ditargetkan Indonesia akan menjuarai jumlah publikasi ilmiah se-Asia Tenggara pada tahun 2019 ini). Namun, tentu saja diharapkan kemajuan secara kuantitas diimbangi pula oleh kemajuan secara kualitas.
Bagaimana mengukur produktifitas dan dampak dari suatu karya ilmiah yang dihasilkan oleh para ilmuwan atau peneliti? Untuk mengukur produktifitas dan dampak dari suatu karya ilmiah, secara umum saat ini dunia akademik mengacu kepada suatu index yang diciptakan oleh Jorge Eduardo Hirsch, seorang fisikawan dari University of California, San Diego, sering disebut H-Index, dan impact 10 index atau i10-Index, seperti digunakan dalam profil di Google Scholar (tercantum jumlah kutipan, nilai h-index, dan i10-index).
h-index merupakan indeks yang mencoba mengukur baik produktivitas maupun dampak (impact) dari karya yang diterbitkan seorang ilmuwan atau akademisi. “The h-index is an index that attempts to measure both the productivity and impact of the published work of a scientist or scholar” (Wikipedia, 2019). Indeks ini didasarkan pada jumlah karya ilmiah yang dihasilkan oleh seorang ilmuwan dan jumlah sitasi (kutipan) yang diterima dari publikasi lain. Indeks ini juga dapat diterapkan pada produktivitas dan dampak dari sekelompok ilmuwan, seperti program studi, departemen, fakultas atau universitas atau bahkan negara. Indeks ini semula sebagai indeks yang digunakan untuk mengukur kualitas fisikawan teoretis di Amerika Serikat.
Berkitan dengan h-index ini, Terry Mart, ilmuwan dari UI menyampaikan bahwa: “Seorang ilmuwan memiliki indeks-h jika ia memiliki paper sebanyak h dengan jumlah kutipan untuk setiap paper tersebut minimal sama dengan h”. (http://staff.fisika.ui.ac.id/tmart/h_indeks.html, 2019). Sebagai contoh perhitungan h-index misalnya pada sitasi suatu jurnal, h-index bernilai 8 artinya terdapat karya 8 artikel yang masing-masing dikutip oleh minimalnya 8 artikel lain.
Dengan demikian, indeks ini didasarkan pada distribusi jumlah sitasi (kutipan) yang diterima oleh sebuah publikasi dari seorang peneliti. Seorang ilmuwan memiliki indeks h jika sejumlah h dari N artikel yang telah dipublikasikan, setiap publikasi tersebut telah setidaknya menerima h sitasi. Dengan kata lain, seorang ilmuwan dengan indeks-h telah menerbitkan h makalah yang masing masing telah dikutip oleh publikasi lain setidaknya h kali. Jadi, indeks-h mencerminkan jumlah publikasi dan jumlah kutipan per publikasi. Indeks ini dirancang untuk memperbaiki indeks sebelumnya seperti jumlah total kutipan atau publikasi. Indeks tersebut berfungsi dengan baik hanya untuk membandingkan ilmuwan yang bekerja di bidang yang sama; konvensinya sangat berbeda antara bidang yang berbeda. Salah satu kritik terhadap metode ini adalah bahwa indeks-h gampang dimanipulasi melalui swasitasi (self-citation).
Sedangkan i10-index, menurut Wikipedia (2019), “The i10-index indicates the number of academic publications an author has written that have at least ten citations from others”. Sebagai contoh, pada sitasi suatu jurnal di Google Scholar, i10-index bernilai 2 artinya terdapat 2 artikel yang dikutip oleh minimalnya 10 artikel lain. Indeks ini mengukur secara sederhana dan straightforward atas faktor dampak suatu artikel pada suatu jurnal.
Meskipun begitu terdapat beberapa kelemahan i10-index anatara lain hanya digunakan di Google Scholar dan pengindeks lain secara terbatas.
Aam Bastaman (Univesitas Trilogi).