Produktifitas Guru Besar Kita

Sumber dari Kemenristekdikti menyebutkan produktivitas guru besar (profesor) Indonesia masih kalah dibandingkan para guru besar Malaysia. Disinyalir hal tersebut terjadi karena seorang guru besar Indonesia hanya mengalokasikan 30 persen waktu akademiknya untuk melakukan penelitian. Bahkan banyak guru besar di Indonesia yang  berkiprah di luar dunia pendidikan tinggi, seperti di dunia  politik, bisnis  ataupun birokrasi pemerintahan.

Terdapat dua hal utama yang harus diperhatikan terkait kinerja guru besar yaitu publikasi dalam bentuk buku dan diseminasi riset melalui jurnal ilmiah internasional  yang bereputasi. Para guru besar dituntut  harus bisa berkarya di perguruan tinggi masing-masing dan mengangkat reputasi akademik perguruan tingginya. Jangan seperti  yang dikhawatirkan banyak pihak,  para guru besar lebih banyak bekerja di luar daripada di kampusnya sendiri. Sehingga kontribusi akademiknya dalam rangka meningkatkan reputasi perguruan tingginya rendah.

Dari data yang ada, total jumlah guru besar di Indonesia sebanyak 5.463 orang. Namun, yang terdaftar di Science and Technology Index (Sinta), portal milik Kemenristekdikti hanya ada sebanyak 4.299 orang. Bagaimana dengan data sebanyak 1.164 guru besar yang tak terdaftar di Sinta? Tanda tanya besar. Bahkan informasi dari Kemenristekdikti berdasarkan aplikasi Science and Technology Index (SINTA) selama tiga tahun terakhir, ada ribuan guru besar yang jurnalnya tidak memenuhi syarat. Kok bisa?

Jika guru besar yang tidak terdaftar di Sinta juga terbukti tidak produktif, maka total guru besar yang tidak memenuhi syarat kinerja dan  terancam terkena sanksi berupa penghentian tunjangan kehormatan ada sekitar 3.912 orang. Padahal, Sumber di Kemenristekdikti menyebutkan, para guru besar di perguruan tinggi telah menikmati tunjangan sertifikasi dan tunjangan kehormatan profesor yang besarnya tiga kali gaji pokok. Sehingga seorang guru besar, kini diperkirakan bisa mendapatkan take home pay sekitar Rp 21 juta - 22 juta sebulan. Padahal, sebelum ada kebijakan tentang tunjangan profesor, gaji guru besar hanya sekitar Rp 7 juta saja. Sedangkan guru besar yang menduduki jabatan struktural, otomatis dihentikan tunjangannya.

Oleh karena itu, harapan Kemenristekdikti  dosen yang memiliki jabatan guru besar dapat memanfaatkan waktu yang ada dan berkomitmen untuk meningkatkan kinerjanya. Diyakini seorang guru besar adalah para dosen pilihan yang dapat memiliki ide-ide yang menarik dan berharga untuk dijadikan sebuah tulisan ilmiah sesuai bidangnya masing-masing  yang bisa dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional bereputasi.

Untuk mengantisipasi kurang produktifnya para guru besar kita, tentu saja, alternatif yang dapat ditempuh adalah segera mengimplementasikan ketentuan penghentian tunjangan kehormatan bagi mereka yang tidak produktif.  Jabatan guru besar harus diikuti oleh tugas  dan tanggung jawabnya yang besar kepada masyarakat. Masyarakat menanti karya-karya terbaik para guru besar kita.

Menurut sumber Kemenristekdikti diperkirakan evaluasi kinerja guru besar, yang berujung pada pemangkasan tunjangan akan bisa dilakukan pada November 2019. Masih lama. Kemenristekdikti masih menggodok revisi pada Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 yang menjadi payung hukum hal tersebut.

Di lain pihak, ada banyak kendala yang membuat dosen setingkat guru besar  kurang produktif untuk menulis. Misalnya, karena waktu guru besar di Indonesia lebih banyak  dialokasikan untuk mengajar  dan tugas-tugas lain diluar akademik, dilain pihak, kultur menulis ilmiah juga masih rendah, termasuk bagi banyak guru besar kita. Pencapaian jabatan guru besar seolah akhir dari kegiatan menulis dan meneliti yang produktif. Faktor lainnya, tidak semua guru besar mudah mencari dana penelitian yang memadai, serta tidak ada sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menjalankan tugasnya.

Sebelumnya, berdasarkan sumber Kemenristekdikti dengan mengacu pada aplikasi SINTA selama tiga tahun terakhir, per akhir 2017 baru ada 1.551 orang guru besar yang publikasinya memenuhi syarat sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017. Padahal, jumlah guru besar yang sudah mendaftar pada aplikasi SINTA sebanyak 4.200 orang.

Untuk jabatan di bawah guru besar, seperti lektor kepala (associate professor), dari 17.133 orang yang mendaftar SINTA, hanya 2.517 orang yang lolos memenuhi syarat publikasi. Ini tantangan lain pula. Dari Jumlah dosen Indonesia saat ini tercatat hampir 300.000 orang (tepatnya 283.653 orang), dengan 5.463 di antaranya adalah guru besar, 32.419 lektor kepala dan 58.986 orang merupakan lektor. Sisanya (sebagian besar) dosen dengan jenjang kepangkatan masih asisten ahli dan dosen yang belum memiliki kepangkatan akademik. Secara kuantitas jabatan guru besar masih langka.

Tidak heran kalau banyak kalangan mengatakan Pendidikan Tinggi  kita  masih perlu banyak pembenahan.

Aam Bastaman (Universitas Trilogi). Editor Senior Gemari.id                                                           

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment