Bedanya Kampung KB DKI dan Kampung KB di Desa

RPTRA-1.jpg

DKI Jakarta, dalam sejarah program KB di Indonesia memiliki pengalaman khusus yang panjang dan menarik. Awalnya, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dibentuk di Jakarta oleh dokter ahli kandungan antara lain oleh seorang Guru Besar senior Profesor Dr. Sarwono yang Ketua LIPI pada jaman awal Presiden HM Soeharto, seorang dokter ahli kandungan yang relatif sudah sepuh tetapi sangat berpengaruh. Beliau seorang Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan yang banyak diam tetapi sangat disegani dalam kalangan pemerintahan di Indonesia. Pembentukan PKBI relatif sangat awal di tahun 1950-an dan diresmikan sekitar tahun 1957.

Usaha PKBI yang gigih pada waktu itu kurang mendapat perhatian sehingga Pengurus PKBI yang semula terdiri dari para dokter ahli kandungan di perluas dengan tenaga yang lebih muda dan berasal dari berbagai profesi termasuk ahli hukum, ahli manajemen dan ahli-ahli lain, juga ibu rumah tangga istri dari pejabat atau tokoh yang suami atau dirinya sendiri memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat. Perombakan pengurus itu menambah wawasan program PKBI dari keluarga berencana yang menangani ibu hamil dan melahirkan menjadi tertuju pada masalah kependudukan secara luas.

RPTRA-2.jpg

Pada saat Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta, beliau mengambil prakarsa dengan mengajak PKBI memulai suatu program resmi KB pemerintah sebagai Pilot Proyek di DKI Jakarta dengan pendekatan klinik dan menyediakan Puskesmas sebagai tempat pelayanan KB dengan spiral, pil, kondom dan lainnya. Program itu berjalan lamban karena terbatas pada pelayanan di klinik. Pada saat yang sama PKBI juga memiliki klinik swasta dengan peserta yang juga terbatas. Tetapi awal program itu menarik dan “memaksa” Pak Harto sebagai Pj Presiden dan kemudian sebagai Presiden RI dengan Menko Kesranya pak Idham Khalid mulai terlibat langsung dalam program KB. Pada tahun 1969 pak Harto menanda tangani “Deklarasi Kependudukan Dunia” bersama beberapa Pemimpin Dunia lainnya yang “menempatkan Indonesia” sebagai negara dengan penduduk nomor lima di dunia menyatakan siap mulai terlibat dalam “Gerakan KB Dunia”. Setelah itu pada tahun 1970 Pak Harto meresmikan pembentukan BKKBN untuk menangani koordinasi pelaksanaan program KB Nasional. Program ini sementara hanya mengambil wilayah di Pulau Jawa dan Bali.

Kepemimpinan DKI Jakarta dalam KB tidak berhenti di situ, pada jaman pak Ali Sadikin dan jaman Gubernur lainnya DKI Jakarta selalu menonjol ke depan sehingga DKI Jakarta telah memasuki keadaan penduduk tumbuh seimbang jauh lebih dulu dibanding Provinsi lainnya. Jakarta mulai memasuki keadaan penduduk tumbuh seimbang, atau Bonus Demografi,  sejak tahun 1990 di mana angka kelahiran dan angka kematian kurang lebih sama dan tingkat fertilitas berada pada angka 2,1 atau 2,2 anak, dalam keadaan angka kelahiran yang rendah dan angka kematian relatif tinggi.

Pada saat Gubernur DKI dipegang oleh A Hok, dibangun sarana untuk memberdayakan keluarga pada tingkat RT RW, dinamakan Ruang Publik RPTRA, dalam bentuk bangunan serba guna dengan isian bermacam fasilitas yang lengkap, dikelola oleh PKK dengan pengelola harian lembaga yang sehari harinya mengurus kegiatan KB dengan kelengkapan urusan anak, ibu dan keluarga pada umumnya. Pada waktu BKKBN di DKI Jakarta kurang lebih agak terpisah dari BKKBN Pusat sehingga bergerak dengan arahan langsung Gubernurnya. Setelah tahun 2000-1n program KB agak seret, pada waktu Presiden dipegang pak Jokowi, BKKBN dianjurkan supaya lebih dinamik dan tampil dengan berbagai inovasi yang menarik rakyat banyak. Presiden mnyebut misalnya bikin Kampung KB. Karena salah menangkap pesan itu, dikira Presiden memerintahkan memnbuat Kampung KB, maka BKKBN mengembangkan Kampung KB di seluruh Indonesia untuk mendongkrak lemahnya program KB dewasa itu dilengkapi seakan seperti program KB di tahun 1970-an. Di Kampung KB itu program kembali seperti keadaan di tahun 1970-an pada awal program KB dimulai.

RPTRA-3.jpg

Maka, gagasan Kampung KB secara nasional adalah bagian dari Desa, yaitu kampung, yang partisipasi KB-nya rendah, kesertaan KB di bawah angka rata-rata Kabupatennya. Di DKI Jakarta yang kesertaan KB-nya sudah tinggi, membuat Kampung KB sesungguhnya tidak relevan. Yang KB-nya rendah hanya terjadi pada beberapa RT saja, sehingga di DKI Jakarta Kampung KB dipadukan pada RPTRA yang dilengkapi aneka fasilitas sebagai wahana pemberdayaan keluarga dengan istri dan anak-anaknya, hampir tidak disyaratkan seperti Kampung KB Nasional yang kondisi kesertaan KB-nya rendah. Karena itu Kampung KB DKI agak berbeda dengan Kampung KB dalam tatanan nasional.

Upaya yang pada tingkat Nasional disiapkan di setiap Desa, yaitu Kampung yang keadaan KB-nya rendah, di DKI Jakarta dipadukan dengan pembinaan seluruh peserta KB pada umumnya melalui pemberdayaan keluarga secara terpadu melalui RPTRA sehingga keluarga yang belum ber-KB diajak juga oleh keluarga lain yang sudah ber-KB dalam pemberdayaan paripurna. Di desa lain di seluruh Indonesia BKKBN menjadi agak kendor dalam pembinaan peserta KB di di desa yang bukan Kampung KB, akhirnya bisa berakibat menruunya jumlah peserta KB Lestari karena kurang mendapat perhatian karena seluruh perangkat BKKBN di daerah dikerahkan pada Kampung KB. BKKBN perlu waspada karena menurut SDKI yang terakhir prosentase peserta KB-nya menurun biarpun angka kelahiran juga menurun tetapi karena pendidikan kaum perempuan dan angkatan kerja kaum perempuan yang meningkat. BKKBN perlu waspada dan menggabungkan pembinaan mereka yang belum KB secara terpadu dengan mereka yang sudah ber-KB. Semoga.

LPTRA-4.jpg

Dalam bincang-bincang dengan Kepala BKKBN bersama PJK dan PWRI, Kepala BKKBN pak Hasto akan berusaha mengembangkan Kampung KB di desa menjadi Kampung yang Mandiri dan berisi keluarga yang ber-KB, bahagia dan sejahtera. Kalau sudah mandiri dengan sendirinya Kampung KB itu tidak lagi disebut sebagai Kampung KB, tetapi bergabung menjadi bagian integral dari Desa yang mandiri dengan warga yang usianya panjang, tingkat pendidikannya tinggi dan semua wargnya yang usia produktif memiliki kerja yang menjamin dan mengantar hidup yang bahagia dan sejahtera. Keadaan ini sama dengan Kampung KB versi DKI Jakarta yang memiliki RPTRA di setiap RT RW yang memiliki fasilitas lengkap untuk keluarga berkumpul dan melakukan proses pemberdayaan secara gotong royong. Kampung KB9 di desa di seluruh Indonesia perlu segera dikembangkan menjadi Kampung Mandiri seperti RPTRA yang diperuntukkan bagi pembinaan dan pemberdayaan seluruh keluarga agar makin bahagia dan sejahtera. Semoga.

Haryono SuyonoComment