Refleksi: Meningkatkan Jumlah Doktor
Jumlah Doktor di Indonesia masih terbatas, data dari Kemenristekdikti menunjukkan dengan jumlah dosen sekitar 300.000 orang, jumlah dosen yang berpendidikan doktor hanya sekitar 34.000 orang (sumber Kemenristekdikti lain menyebutkan sekitar 32.000). Selebihnya berpendidikan setingkat Magister (sekitar 135.000 orang), bahkan data pada tahun 2017 masih ada yang berpendidikan sarjana (sekitar 53.000 orang), sisanya pendidikan di atas sarjana setingkat magister. Dengan demikian Pendidikan Tinggi kita masih didominasi sumber daya manusia (SDM) lulusan S1 dan S2. Meskipun S1 tidak eligible lagi untuk mengajar di perguruan tinggi (PT) sesuai ketentuan Undang-Undang, namun faktanya masih banyak tenaga pengajar di perguruan tinggi hanya lulusan S1. Lulusan S1 yang kompeten dan berpengalaman sebenarnya dapat dlakukan adopsi pengakuan/penyetaraan melalui recognition of previous learning (RPL), sayang metoda penyesuaian yang sudah diakui pemerintah ini dalam pelaksanaannya belum terstandar dan tidak mudah.
Lemahnya kualitas SDM di pendidikan tinggi kita menjadi indikasi lemahnya kualitas pendidikan tinggi kita karena antara lain kurangnya kualifikasi dosen lulusan doktor. Mengapa dosen kita masih enggan melanjutkan pendidikannya ke jenjang doktor? Ada beberapa kemungkinan. Dosen-dosen kita yang sudah berumur 50 tahun ke atas bisa jadi merasa tanggung untuk melanjutkan studi karena faktor usia, apalagi persyaratan usia penerima beasiswa program doktor (S3) sekitar 40 tahunan. Sedangkan dosen yang lain yang masih muda banyak yang menunggu kesempatan untuk dapat studi lanjut S3. Ada juga dosen karena satu dan lain hal tidak dapat memperoleh beasiswa doktor yang memang persyaratannya tidak ringan. Sedangkan sumber pendanaan lainnya, seperti sumber pendanaan mandiri tidak ada. Faktor-faktor lain dimungkinkan, seperti masalah keluarga dan kesiapan mental.
Pemerintah sudah menyadari kekurangan tenaga doktor ini, oleh karena itu beragam beasiswa sudah disipakan untuk membantu pendidikan doktor dosen. Sayangnya kesempatan beasiswa ini kurang dapat dimanfaatkan oleh banyak dosen, dengan berbagai alasan, apalagi program beasiswa pendidikan doktor di luar negeri. Banyak beasiswa yang dialokasikan untuk pendidikan doktor di luar negeri tidak terpakai, karena banyak dosen pelamar kurang memenuhi persyaratan kuaifikasi. Penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris yang kurang menjadi salah satu kendala.
Jalan keluar untuk masalah penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris bagi kalangan dosen perlu digalakkan. Bukan hanya kemampuan membaca namun juga secara aktif berbicara dan mendengar. Saatnya bahasa Inggris dijadikan bahasa kedua di kampus-kampus setelah bahasa Indonesia. Bahasa asing (Inggris) mutlak perlu dikuasai para dosen, karena sumber utama ilmu pengetahuan umumnya masih ditulis dalam bahasa Inggris, meskipun upaya terjemahan sudah dilakukan, namun menguasai bahasa dari sumber aslinya dapat meningkatkan penguasaan keilmuan secara lebih baik.
Perlu juga penyesuaian skema pendidikan doktor di dalam negeri yang dapat mengakomodasi pendidikan doktor para dosen, tanpa harus mengorbankan atau mengurangi kualitas pendidikan doktor. Misalnya program pendidikan doktor kolektif, bisa dengan memanfaatkan teknologi digital. Ataupun menggandeng pendidikan tinggi luar negeri untuk melakukan pendidikan doktor bagi para dosen Indonesia, melalui skema penelitian (by research) di Tanah Air sendiri, dengan bimbingan bersama para doktor senior Indonesia, mengingat output program doktor adalah kualitas hasil penelitian yang dituangkan dalam disertasi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan doktor yang berkualitas tetap harus menjadi acuan. Karena bagaimanapun dosen harus menjadi contoh dalam sistem pendidikan nasional di level S3. Ironinya bagaimana kita menelorkan lulusan doktor kalau para dosen sendiri masih banyak yang belum bergelar doktor. Padahal pendidikan doktor merupakan pendidikan yang serius dalam rangka meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi kita. Kurangnya jumlah doktor di Indonesia dapat dibandingkan dengan jumlah doktor di beberpa negara Asia, seperti Malaysia, India dan Jepang.
Dari setiap satu juta penduduk di Indonesia hanya terdapat sebanyak 143 doktor. Perbandingan tersebut sangat jauh dengan negara-negara tetangga yang berada di Asia. Malaysia misalnya, rasionya adalah ada 509 doktor dari setiap satu juta penduduknya. Di India, terdapat sebanyak 1.410 doktor dalam setiap satu juta penduduknya. Di Jepang terdapat 6.438 doktor pada rasio satu juta penduduknya (LPDP, 2017).
Selain dengan negara Asia, LPDP juga mencatat perbandingan dengan negara Amerika Serikat dan Jerman. Di Amerika ada 9.850 doktor setiap satu juta penduduknya, dan di Jerman dengan 3.990 doktor. Apabila kondisinya tetap seperti ini, Indonesia hanya mengalami perkembangan doktor setiap tahun sekitar 15 persen. Untuk mencapai kenaikan jumlah doktor pada angka kelipatan 100.000, diharapkan bisa dicapai pada tahun 2022. Sedangkan penambahan 150.000 doktor diharapkan tercapai pada tahun 2026.
Untuk mengatasi kekurangan doktor ini, maka dukungan beasiswa, pendanaan serta insentif perlu digalakkan lagi untuk memberi daya tarik kepada dosen. Bahkan ke depan rencana dan kesiapan pendidikan lanjutan ke program doktor dapat menjadi persyaratan rekrutmen dosen yang masih berpendidikan S2.
Pertanyaan selanjutnya apakah lebih baik melnjutkan pendidikan S3 di luar negeri atau di dalam negeri? Ini tentu saja masalah pilihan, namun ada beberapa keuntungan dengan mengambil program doktor di luar negeri, seperti aspek kesempatan penguasaan bahasa, jejaring dan pengetahuan dan interaksi internasional. Namun Program doktor di dalam negeripun banyak yang kualitasnya melebihi banyak perguruan tinggi di luar negeri. Program doktor di UI, ITB, UGM dan IPB dapat menjadi andalan kualitas, namun jumlah peserta program doktor di PTN terkemuka tersebut masih sangat terbatas karena masalah kapasitas. Meskipun di beberapa PTN tertentu terdapat kesan penerimaannya melebihi daya tampung karena berbagai alasan, seperti alasan peluang finansial bagi lembaga.
Merencanakan program doktor bagi para dosen sangat perlu, ke depan minimum pendidikan dosen haruslah bergelar S3 atau yang disetarakan dengan S3 melalui regognition of previous learning seperti yang diatur dan dipersyaratkan dalam KKNI.
Aam Bastaman: Berkarya di Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas
Nasional (LPN).