Refleksi: Menguatkan Kemanusiaan Kita di Jalan Raya

Beberapa waktu lalu ada seorang pengemudi  yang emosi, marah, bersenjata pistol kemudian menodongkan pistolnya ke  pengemudi lain. Untung ada yang merekam,  sehingga sang koboi bisa ditangkap oleh yang berwajib. Ini bukan kejadian yang pertama, sudah berkali-kali pistol dan senjata lain digunakan  sebagai luapan emosi pengendara di jalan raya. Sehingga jalan raya semakin penuh resiko, salah salah bisa menghadapi ancaman  paku sampai palu, dan sekarang senjata api.

Jalan raya cermin disiplin nasional. Disiplin nasional  barangkali bisa  terlihat bagaimana masyarakat berperilaku lalu lintas di jalan raya. Kondisi masyarakat yang tidak disiplin dapat tercermin dari perilaku mengendara yang tidak disiplin. Perilaku menyelip, ngebut, parkir  bukan pada tempatnya, rebutan jalan, saling mendahului, tidak mau mengalah, menyalahkan pengendara lain, yang kerap kita temui di jalan raya, barangkali cerminan  perilaku umum masyarakat kita.

Akibat ketidakdisiplinan di jalan raya, Kecelakaan lalu lintas kini menjadi salah satu pembunuh utama. Data Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (2017) menyebutkan bahwa setiap tahun ada 27.000-30.000 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2018, tercatat sebanyak 27.910 korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas.  Jumlah tersebut membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan rasio tertinggi kematian akibat kecelakaan lalu lintas di dunia. Kematian di jalan raya menjadi mesin pembunuh kedua setelah penyakit jantung.

Tingginya angka kematian di jalan raya ini disinyalir karena masalah kelalaian  (human error), yaitu tidak disiplin, mementingkan diri sendiri dan tidak taat aturan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kasus tilang di Indonesia. Jumlah tilang di 2018 sebanyak 7.107.992, sedangkan teguran pada tahun 2018 sebanyak 3.350.456 kasus.

Posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan rasio tertinggi kematian akibat kecelakaan lalu lintas sangat mengkhawatirkan. Masih tingginya kecelakaan lalu lintas di Indonesia disebabkan kurangnya edukasi dan lemahnya penegakan hukum. Gerakan disiplin di jalan raya seyogyanya bukan hanya slogan, perlu contoh dan keteladanan. Akan bijaksana untuk dimulai dari para aparat dan para pemimpin, baik formal maupun informal, seperti aparat, pejabat dan pemuka masyarakat. Masyarakat awam perlu contoh dan keteladanan. Sayangnya, dalam keseharian, masih kita temui  aparat yang menggunakan kendaraan roda  dua tanpa helm. juga tak jarang ditemui  aparat menggunakan kendaraan roda  2 tanpa pelat nomor polisi. Begitu pula di jalan tol, masih sering kita lihat kendaraan aparat melaju di bahu jalan. Hal ini harus menjadi bahan refleksi untuk sama-sama evaluasi diri.

Tidak dapat dipungkiri, karena didesak waktu, terburu-buru, atau rasa penat dijalanan macet, bisa juga beban masalah di tempat kerja, menjadikan pengemudi mudah tersulut emosi. Perlu bijak saat di jalan raya, untuk kepentingan bersama. Bersitegang, beradu mulut sampai perkelahian fisik tak jarang kita jumpai sebagai akibatnya, sehingga perlu sosialisasi  berperilaku santun di jalan raya, termasuk upaya penegakkan hukum. Sepertinya tumpukan masalah yang terakumulasi meluap  di jalan raya.

Kemacetan Jakarta yang luar bisa  memang menghabiskan energi, waktu, dan tidak sedikit  biaya ekonomi dan biaya sosial yang terbuang. Tidak jarang warga menghabiskan berjam-jam di  jalan raya, dari rumah ke kantor, dan dari kantor ke  rumah. Banyak warga yang tinggal di pinggiran kota  yang  memulai aktifitas meninggalkan rumah jam 4  atau jam  5 pagi,  untuk mengejar  supaya jalanan tidak macet, atau bisa sampai di tempat kerja tepat waktu. Pulangnya bisa menghabiskan  waktu 2-3 jam, sehingga total waktu  habis di jalan bisa 4-5 jam, bahkan bisa lebih per  hari. Tidak salah kalau dikatakan banyak masyarakat Jabodetabek tua di jalan raya.

Maka mendesak untuk terus menggalakkan budaya transportasi umum kita. Syaratnya, sarana dan prasarana transportasi publik perlu disiapkan dengan baik. KRL/Komuter di Jabodetabek, merupakan contoh baik, meski belum sempurna, paling tidak  kita sudah memulai budaya transportasi publik. Semua orang, tanpa memandang status dan kedudukan,  didorong untuk berbudaya transportasi publik, seperti  di negara-negara maju. Semoga dengan kehadiran KRL, MRT, LRT dan sarana transportasi publik lainnya bisa  mengubah wajah transportasi kita, dan jalan raya semakin lebih manusiawi, sehingga menguatkan kemanusiaan kita.

 

Aam Bastaman: Berkarya di Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment