Refleksi: Masa Depan Perguruan Tinggi

Sewaktu saya memberikan orasi dalam rangka pembukaan Wisuda Universitas Trilogi, Jakarta tahun lalu,  saya mengutip prediksi seorang guru besar Harvard University, Prof. Clay Christensen, yang mengatakan dalam waktu 15 – 20 tahun ke  depan 50% dari Perguruan Tinggi di Amerika bakal tutup. Mengapa saya mengutip prediksi sang guru besar Harvard tersebut? Karena ini relevan dengan  masa depan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Predikssi tersebut tentu saja berlaku worldwide, termasuk nasib Perguruan Tinggi ke depan di Indonesia juga ada dalam kondisi yang perlu diwaspadai.

Pada kesempatan lain, dalam diskusi kelompok kerja di Lembaga Produktifitas Nasional(LPN) mengenai beberapa profesi yang akan hilang, atau terpengaruh oleh kemajuan teknologi informasi di abad digital ke depan salah satunya adalah profesi dosen.

Era disuptif, revolusi industri 4.0  menghantam masa depan banyak industri, tidak terkecuali “industri” Pendidikan Tinggi. Saat ini dan ke depan kelas dan dosen bukan menjadi sumber pengetahuan yang utama, karena sumber pengetahuan bisa didapat secara luas, dengan cara yang lebih efisien, efektif dan menyenangkan,  melalui digital technology yang bersifat open access, selain lebih mudah, menyenangkan, fleksibel juga ... gratis.

Perubahan ini sudah dimulai dari persyaratan calon tenaga   kerja di beberapa perusahaan terkemuka, seperti Google, yang tidak lagi mensyaratkan kualifikasi kesarjanaan, atau ijazah formal, tetapi kompetensi. Yang ditanyakan bukan lagi mana ijasah anda, atau lulusan perguruan tinggi mana, tapi apa kompetensi anda? Tidak peduli anda alumni mana dan seberapa  tinggi jenjang pendidikan sudah dilalui.

Dengan kemajuan teknologi informasi, modal mahasiswa sekarang adalah sejauh mana kemauan belajarnya, sejauh mana gairah untuk belajar, sejauh mana komitmen untuk mengembangkan dirinya sendiri, karena sumber pengetahuan dan ketrampilan bisa didapat dari universitas internet  melalui massive open online course (MOOC) dan sekali lagi, gratis.

Teknologi digital, selain memberi peluang, juga memberikan tantangannya sendiri, ke depan justru  bisa menjadi ancaman terhadap  eksistensi Perguruan Tinggi formal. Konsumen (baca: mahasiswa) sekarang semakin banyak  mendapatkan alternatif sumber  pengetahuan. Kalau yang ditawarkan Perguruan Tinggi kurang kompettitif, tidak memberikan  “value” yang diharapkan, jangan kaget kalau nanti calon mahasiswa lebih memilih belajar secara online yang lebih fleksibel, menyenangkan dan gratis. 

Sama halnya dengan persaingan di dunia transportasi taksi.  Saat ini bukan lagi  persaingan antara perusahaan taksi, tapi perusahaan taksi dengan perusahaan jasa aplikasi transportasi. Kita melihat adanya pergeseran kecenderungan penggunaan transportasi umum ke transportasi  yang berbasis aplikasi, seperti Grab dan Gojek, menyingkirkan peran perusahaan taksi tradisional.

Gejala adanya masalah eksistensi dan keberlanjutan Pendidikan Tinggi sudah kelihatan dari sekarang. Sudah semakin banyak Pergurun tinggi, baik Akademi, Sekolah Tinggi maupun Universitas yang kini terancam  gulung tikar, karena tidak lagi dapat menarik calon mahasiswa. Padahal Indonesia adalah negara dengan kepemilikan Perguruan Tinggi terbanyak di dunia, bahkan mengalahkan Cina dalam kuantitas, yang hanya memiliki  setengah dari  jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia  yang jumlahnya lebih dari 4.400 Perguruan Tinggi.

Di sisi lain, bukan cerita rahasia lagi bahwa kehidupan dan proses belajar mengajar tatap muka di kelas-kelas berbagai kampus bukanlah pengalaman yang menarik bagi  banyak mahasiswa. Banyak kelas membosankan, apalagi jika dosen mengajar dengan pendekatan dan pola-pola lama, yang sudah dilakukan puluhan tahun ke belakang tanpa adanya perubahan. Padahal mahasiswa kini bukanlah mahasiswa 10-50 tahun yang lalu, mahasiswa masa kini memerlukan perubahan dan adaptasi cara mengajar dan belajar.

Tentu saja ini menjadi tantangan bagi  manajemen Perguruan Tinggi  di Indonesia  dalam rangka menyikapi perubahan jaman dengan  semakin derasnya kemajuan teknologi informasi. Dunia Pendidikan Tinggi juga tidak terkecali  terdisrupsi, padahal banyak ilmu pegetahuan dan teknologi dihasilkan dari riset yang dilakukan  oleh banyak Perguruan Tinggi, terutama yang memiliki  kekuatan riset yang utama. Jadi pertanyaan  besarnya akankah Perguruan Tinggi, terutama yang berbasis teaching university ke depan semakin punah?

Sudah mulai terlihat sekarang, apalagi di masa depan peta kompetisi Perguruan Tinggi akan berubah dengan banyaknya jasa layanan pengetahuan berbasis internet yang semakin canggih, menarik dan fleksibel. Nampaknya kita harus bersiap-siap  dengan perang kompetisi gaya baru, yang penuh disrupsi dan kejutan tak terduga. Saat ini tidak ada lagi establishment, semua industri termasuk Perguruan Tinggi harus siap-siap menghadapi guncangan dan turbulensi era persaingan gaya baru.

 

*Aam Bastaman: Dosen Pasca Sarjana Universitas Trilogi. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN). Penulis dan Pelancong.

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment