Menteri Kebahagiaan

Pertama kali saya mendengar ada menteri kebahagiaan pertama di Uni Emirat Arab (UEA) saat dalam perjalanan tahun 2016 dari Dubai menuju Jakarta dengan Emirates, setelah terbang dari Istanbul Turki. Saya justru mendengarnya dari radio di pesawat, karena sulit tidur, dan nonton acara di layar TV membuat mata lelah.

    Dengan head set yang tersedia saya bisa menyimak informasi menarik ini. Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan perombakan kabinet dan penambahan menteri baru di pemerintahan mereka. Ada dua menteri baru yang terbilang unik, yakni Menteri Kebahagiaan dan Menteri Toleransi. Munculnya dua menteri itu diumumkan oleh pemimpin sekaligus Perdana Menteri UEA Mohammed bin Rashid al-Maktoum. “Menteri Negara untuk Kebahagiaan akan menyelaraskan dan mendorong kebijakan pemerintah untuk menciptakan kebaikan dan kepuasan sosial," katanya.

    Ini sebenarnya menjadi bukti pemerintah Uni Emirat Arab benar-benar berkomitmen untuk kebahagiaan rakyatnya (meskipun saya juga mendengar berbagai kritik dan sinisme dari pembentukan Kementerian Kebahagiaan ini). Seorang wanita yang masih sangat muda ditunjuk untuk memimpin upaya pemerintah Uni Emirat Arab (UAE) menjamin kebahagiaan rakyat negeri itu. Wanita ini dipilih menjadi Menteri Negara untuk Kebahagiaan, sebuah jabatan yang baru pertama kali ini ada di Uni Emirat Arab. Wanita muda itu bernama Ohood Al Roumi. 

    UEA adalah negara dengan tingkat keberagaman cukup tinggi di Timur Tengah. Sebagai pusat bisnis global, di kota-kota utamanya seperti Abu Dhabi atau Dubai, jumlah ekspatriat non-Muslim sangat banyak. Jumlah pemeluk Kristen, Syiah, ataupun Yahudi mencapai separuh populasi di kota besar, walau agama resmi di UEA adalah Islam Sunni. Dengan begitu, promosi nilai-nilai toleransi sangat penting di negara ini. Penunjukan Al Roumi ini merupakan bagian dari fokus kabinet terhadap "masa depan, generasi muda, kebahagiaan, kemajuan pendidikan, dan perang melawan perubahan iklim", kata pemimpin UAE tersebut. Misi yang luar biasa, bukan?

    Tapi apakah negara makmur dan kaya minyak itu memang masih butuh kebahagiaan? Menurut Laporan Kebahagiaan Dunia dari  PBB tahun 2015, yang memakai berbagai indikator seperti produk domestik bruto dan kedermawanan sebuah negara, UEA adalah negara ke-20 paling bahagia sedunia.

    Namun, UEA bukan negara pertama yang menciptakan jabatan kabinet untuk mengurusi kebahagiaan. Pada 2013, Venezuela membuat Kementerian Kebahagiaan Sosial, namun peringkat kebahagiaan negara itu justru jatuh dari posisi 20 pada 2013 menjadi ranking 23 pada 2015. Sayang, Venezuela sekarang menjadi negara yang sedang konflik dengan kemerosotan ekonomi yang luar biasa, peringkat indeks kebahagiaan pun turun drastis.

     Berdasarkan laporan survey terbaru dari World Happiness Report pada 2019, sebanyak 156 negara disurvey dalam indeks terkait peringkat negara paling bahagia di dunia. Dalam10 besar daftar negara-negara paling bahagia tersebut adalah negara-negara Eropa (Finlandia, Denmark, Norwegia, Islandia, Belanda, Swiss, Swedia, Austria) dengan dua daftar  negara keturunan Eropa (Kanada dan Selandia Baru). Negara-negara yang berbahagia in line dengan dengan dengan ukuran indeks negara paling Islami, namun umumnya bukan negara-negara Muslim. Tentu ini  menjadi pertanyaan, mengapa.

    Dalam peringkat tersebut mengatur peringkat berdasarkan seberapa bahagia warga negara mereka dengan dirinya sendiri. Nilai indeks yang menjadi penilaian juga termasuk meneliti dari faktor-faktor harapan hidup, bantuan sosial, kebebasan, Produk Domestik Bruto (PDB), hingga tingkat kejahatan dan korupsinya. Indonesia sendiri tercatat hanya menduduki peringkat 96. Sementara yang paling bawah sekali adalah Sudan Selatan, yang sedang panas karena konflik tak berkesudahan. Termasuk di urutan bawah lainnya adalah negera-negara yang sedang berkonflik di Timur Tengah, seperti Suriah dan Yaman. Berdasarkan laporan tersebut pula negara kita ternyata tidak sebahagia seperti yang kita harapkan.

    Jadi inisiatif UEA membentuk Kementerian Kebahagiaan bukan tanpa alasan, negara-negara yang berbahagia ternyata bukanlah negara-negara Muslim, meskipun ukuran kebahagiaan banyak mengambil standar atau sekurang kurangnya in line dengan standar Islami. Tantangan kita untuk menciptakan masyarakat yang lebih berbahagia.  Sayangnya dalam urusan kebahagiaan ini kita kalah dari negara-negara Eropa dan dua negara keturunan Eropa, padahal kita termasuk bangsa yang religius.

 

*Aam Bastaman: Dosen Pascasarjana Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment