Refleksi (Aam Bastaman): Tetangga

Cerita kehidupan bertetangga di  kota besar seperti  Jabodetabek dan di kota-kota besar lainnya   tentunya berbeda dengan kehidupan bertetangga di pedesaan.  Apalagi kehidupan bertetangga perumahan menengah ke atas. Tantangannya banyak, karena masing-masing warga sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Ini  refleksi diri  saja,  Saya masuk sebagai  penghuni perumahan di sebuah kawasan perkotaan di kota Tangerang sebagai keluarga muda dengan satu anak. Satu  tahun kemudian lahir anak kedua. Tetangga kanan-kiri juga umumnya berasal dari keluarga muda, hanya segelintir saja yang berasal dari keluarga yang sudah relatif berumur.  

Anak anak lahir dan tumbuh diperumahan. Tapi tempat pergulan mereka bukanlah di lingkungan perumahan dengan anak-anak para tetangga, tapi teman-teman sekolahnya. Dalam beberapa hal sering ditemukan bahwa sesama anak-anak perumahan bahkan tidak saling kenal.

Rutinitas hidup di perumahan sering dibilang P4 (pergi pagi pulang petang). Secara guyonan sering dibilang P6 (pergi pagi pulang petang penghasilan pasa-pasan, atau P8 (pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan pinggang pegel-pegel, pala pusing. Bisa jadi ada juga P10 atau P12… Mungkin itu yang menyebabkan  banyak tetangga yang tidak saling mengenal.

Dinamika kehidupan bertetangga mulai terlihat saat ada urusan bersama – misal keamanan. Saat kerusuhan 1998 yang menjadi ancaman bersama, saat itu warga mulai peduli, bahu membahu menjaga keamanan lingkungan, meski ada Satpam tapi tidak cukup. Rupanya harus ada ancaman bersama untuk membangun kekompakan warga.

Setelah ancaman bersama berlalu kembali  business as usual, warga kembali disibukkan oleh urusannya masing-masing, mengejar target pekerjaan, memenuhi tanggung jawab pekerjaan atau menambah sumber rejeki dengan bekerja tambahan. Karakterisitik warga mulai terlihat: ada yang suka bergaul, aktif di masyarakat, membuka diri,  namun tidak sedikit yang mengurung diri, tidak mengenal atau tidak peduli tetangga kiri kanan.

Di tahun yang ke 20 sejak pertama pindah bahkan ada beberapa warga RT diseberang  yang namanya saja tidak tahu apalagi nama anak-anaknya.  Kalau beruntung ketemu berpapasan di jalan  bisa tersenyum, namun tidak jarang cuek pula.

Mulailah sekarang babak baru kehidupan, satu satu warga mulai jatuh sakit, pensiun atau bahkan meninggal  dunia. Dalam urusan meninggal dunia beruntung ini jadi kewajiban menurut agama untuk mengurusi mayat, Kalau tidak dosa semua. Karena itulah perkara mengurus mayat sementara tertangani. Hal lain, ada juga yang kena musibah domestik – cerai, sehingga rumah yang ditempati bersama dijual dan ganti pemilik. Jadi teringat lagu “House for sale”. Tidak sedikit pula terjadi gesekan antar tetangga, berantem para tetangga yang kemudian menjadi urusan Ketua RT dan RW.

Kini warga yang dulu pertama kali datang muda-muda dengan anak-anak balita,  tiba-tiba sudah pada tua, anak-anak sudah menginjak dewasa, sebagian sudah menikah. Bisa dibayangkan sebentar lagi perumahan akan diisi oleh para orang tua lanjut usia (manula). Jangan salah juga, meskipun urusan pekerjaan sudah berkurang atau bahkan sudah pensiun, urusan pergaulan tetangga hampir tidak berubah - hidup sendiri-sendiri. Memang ada mesjid bersama, namun juga tidak semua warga memanfaatkannya. Hanya segelintir saja.

Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh temuan mayat seorang warga perumahan di Yogyakarta, seorang dosen UGM yang sudah meninggal dalam posisi tinggal sendirian, para tetangga baru mengetahui 3 hari kemudian, karena mencium bau tidak sedap. Hal yang sama, beberapa tahun yang lalu  dialami seorang guru besar ITB yang hidup melajang meninggal dan baru diketahui para tetangga 3 hari kemudian, setelah mayatnya membusuk.  Kejadian yang sangat memilukan, tentu saja.

Padahal rumah merupakan tempat terindah bagi penghuninya  - Home sweet home, kata orang Inggris. Masalah kehidupan bertetangga juga sampai ada kampanye - love their neighbor, mencinai tetangga. Banyak orang bilang tetangga adalah orang terdekat, lebih dari saudara. Rupanya kehidupan bertetangga saat ini jauh lebih kompleks. Namun dibalik kompleksitas ada juga komuntas warga yang memiliki kesadaran pentingnya membangun kehidupan bersama dengan membentuk forum warga atau forum RT/RW. Inisiatif diperlukan agar kehidupan bertetangga lebih bermakna.

 

*Aam Bastaman: Dosen Pasca Sarjana Universitas Trilogi. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas

                                 Nasional (LPN).

 

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment