Sarung Batik Cirebonan dari Desa Jungjang

cirebon.jpg

Menurut laaporan Malik Inovtek yang sampai pada Ketua Tim Pakar Menteri Desa PFTT Haryono Suyono, sarung Batik Cirebonan tidak kalah dengan sarung batik daerah lain. Produk unggulan Desa Jungjang ini mendapat sambutan positif dari para pecinta sarung. Pemasaran sarung ini menyebar ke sejumlah daerah, seperti Magetan, Tuban, Balikpapan, Medan, Bekasi, Depok, Jakarta, Indramayu, dan Tangerang.

 Irman Rakhmat penghubung dari Desa Jungjang yang terletak di Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, desa Jungjang merupakan salah satu desa tua di Cirebon karena didirikan oleh Pangeran Walangsungsang atau Mbah Kuwu II. Beliau adalah putra dari Prabu Siliwangi sekaligus uwa dari Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati.

 Dahulu kala, Jungjang adalah sebuah daerah yang kering dan tidak bagus untuk bertani, tetapi artinya junjang artinya gotong royong, maka berkat kerja keras masyarakat yang bergotong-royong, desa ini menjadi makmur dan berkembang. Gagasan membuat Sarung Batik Cirebonan, baik motif keratonan maupun pesisir, lahir menjawab kebutuhan masyarakat dan santri yang rindu atas identitas Cirebon. Mereka kesulitan mencari sarung motif batik Cirebonan sehingga lebih banyak menggunakan motif batik dari luar daerah. Cirebon memiliki motif batik yang khas. Batik motif Cirebonan mengandung filosofi yang sangat lekat dengan pesan agama. Menjawab hal itu, pada Ramadhan 2018, berdirilah usaha masyarakat Jungjang untuk memproduksi Sarung Batik.

Dalam pendirian usaha ada sejumlah permasalahan, Pertama, tempat usaha yang kurang strategis, karena lokasi berada dalam gang kecil sehingga akses transportasi cukup sulit. Kedua, SDM dan permodalan. Dalam memproduksi produk, mereka harus bekerjasama dengan pengrajin batik dari Desa Trusmi, yang sudah terkenal sebagai sentra batik di Cirebon karena kelompok pengrajin masih baru. Dengan modal usaha kecil, mereka hanya mampu memproduksi 1 motif batik hanya 10 pcs, sedangkan gambar desain sudah mulai banyak yang menumpuk karena keterbatasan modal kami

 Ketiga, perhatian pemerintah desa minim terhadap kerajinan, kesenian, dan kebudayaan. Keempat, lokal. pemasaran melalui online atau medsos seperti Facebook, Instagram maupun Whatsapp, serta melalui mulut ke mulut. Kelima, peralatan untuk mendesain motif batik seperti meja kaca untuk membuat sketsa pada kain, perlengkapan membatik, serta sulitnya mencari bahan untuk batik yang ukuran sarung jumbo.

 Untuk itu mereka mengambil solusi produksi dan penjualan dijadikan satu tempat sehingga bisa sekaligus dijadikan workshop, membuat tim produksi dan pemasaran, yang saat ini masih dilakukan sendiri tanpa tim pembatik dan tim pemasaran dengan modal besar, untuk memproduksi sarung akan bisa lebih banyak motif.  Saat ini setiap produksi hanya mampu 1 motif sebanyak 10pcs saja, sehingga motif batik yang sudah dibuat oleh desainer tidak hanya menjadi tumpukan, melainkan bisa diproduksi cepat dan laku jual serta untung.

Haryono Suyono1 Comment