“Wartinem”, Pengelola Sampah nan Sexy

wartinem.jpg

Kalau di Yogyakarta ada Srikandi Posdaya yang aktif membantu masyarakat melakukan pemberdayaan keluarga tanpa harus masuk dalam daftar Pegawai Negeri atau Pegawai suatu Instansi, yaitu Ibu Atik, di Padang ada Ibu Emy, di Malang ada Ibu Mufidah, di Semarang ada Ibu Win, Ibu Prastiti dan banyak Ibu lainnya, termasuk penyumbang bibit Kelor yang tidak pernah surut Ibu Monica, dan di Bekasi ada Ibu Yuli, maka ternyata di Karang Lewas Kidul ada Ibu Wartinem yang masing-masing memiliki keistimewaan yang sering saya sebut sebagai Srikandi penggerak pemberdayaan keluarga di tingkat pedesaan.

           Di lingkungan pemukiman, kita bisa bertanya dan belajar pada ‘Wartinem’. Wartinem adalah akronim dari Warga RT 3 RW 6, yang dijadikan nama Bank Sampah di Desa Karanglewas Kidul. Desa Karanglewas Kidul terletak di Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sejak setahun terakhir, Bank Sampah Wartinem terbukti menjadi lembaga yang menjawab permasalahan sampah di lingkungan Perumahan Griya Mandalatama.

          Menurut Sulistianan, dengan modal sosial gotong-royong dan kekompakan, wadah yang dikelola para ibu rumah tangga ini makin eksis menjadi penjaga dan pelestari lingkungan setempat. Permasalahan sampah yang dialami warga perumahan, bertahap teratasi bahkan warga mendapatkan nilai fungsi dan ekonomi dari sampah anorganik dari Bank Sampah tersebut.

             Di Bekasi Utara keadaan lebih maju karena Ibu Yuli mendapat dukungan dari Pesantren At’Taqwa yang memberi tempat operasional kegiatan Bank Sampah tersebut. Ibu Yuli yang gesit sekaligus menampung rekan-rekannya sesama penyandang disabilitas mendapat pula dukungan dari PWRI berupa hibah sebuah mesin pengolah plastik sehingga sampah plastik diolah kembali menjadi butir-butiran plastik yang dikembalikan ke pabrik plastik untuk diolah kembali menjadi produk baru yang harganya tinggi.

             Kisah para Srikandi itu sungguh unik dan makin banyak Srikandi yang di Jawa Timur telah pula mampu menurunkan fertilitas menjadi acuan dunia karena tingkat TFRnya mencapai 2,1 anak dengan tingkat penggunaan kontrasepsi tinggi disertai para ibunya yang bekerja di luar rumah dan memiliki gaya hidup orang kota yang bekerja keras sehingga secara otomatis mengatur kapan harus hamil, mengandung dan melahirkan anaknya. Suatu keadaan tumbuh seimbang yang menjadi cita-cita banyak desa di dunia.

Haryono SuyonoComment