Menyulap Kampung KB menjadi Desa Keluarga Sejahtera

Haryono Suyono

haryono.png

Dalam bincang-bincang dengan beberapa utusan daerah pada Pertemuan Akbar BKKBN minggu lalu di Jakarta, utamanya anak-anak muda yang baru bergabung pada BKKBN setelah tahun 2000, umumnya adalah pejabat muda setelah Pak Jokowi menjabat Presiden pada 2015. Sebagai Kepala Negara pada waktu itu Presiden  merasa prihatin menghadapi program KKB yang hampir mandeg, bahkan tingkat kelahiran naik kembali atau minimal stagnan pada angka 2,6 anak, tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk tetap sangat terbatas. Beliau memberi arahan mendorong program KKB dan Program Pendidikan yang diandalkan itu mendongkrak peran keluarga dan penduduk sebagai kekuatan utama SDM dalam pembangunan lebih ditingkatkan.

Sebagai Presiden beliau memberi petunjuk agar kegiatan program KKB ditingkatkan dengan banyak akal, seperti misalnya membuat Kampung KB, atau inovasi lain seperti halnya di masa lalu yang membawa program KB bisa menurunkan tingkat kelahiran menjadi separo keadaan tahun 1970 dimana setiap keluarga memiliki hampir enam anak, menjadi separonya pada tahun 1990, atau sekitar 2.4 anak pada tahun 2000. Pencapaian angka itu setelah tahun 2.000 justru naik kembali menjadi “stabil pada angka 2,6 anak” sampai pada tahun 2015.  Cita-cita pada tahun 2000 penduduk menjadi kekuatan untuk tinggal landas, ternyata belum seluruhnya bisa terwujud. Sumber daya manusia kualitasnya masih rendah, dan justru dimana-mana petugas KKB mengeluh kurang mendapat perhatian. Presiden tersentak dan memberi pesan agar dikembangkan inovasi dan di cari akal agar perhatian dan partisipasi masyarakat terhadap program Kependudukan dan KB (KKB) sebagai upaya memberdayakan keluarga dan penduduk sebagai kekuatan pembangunan ditingkatkan dan mendapat perhatian tinggi. Dalam bahasa “semonan” (Jawa) Presiden, inovasi itu secara kelakar bisa misalnya dalam upaya membuat “Kampung KB” atau inovasi dengan istilah lain yang sederhana tetapi bisa menggerakkan rakyat banyak.

Mendengar arahan Presiden dalam “bahasa semonan” itu BKKBN dengan gegap gempita membuat “Kampung KB” seakan-akan sebagai program utama sehingga agak kendor mendorong pengembangan program KKB mandiri yang telah berkembang sejak tahun 1990-an, atau program kependudukan berupa pembangunan keluarga sejahtera dan program peningkatan kualitas penduduk yang telah di dorong BKKBN dan instansi lain dalam forum Pertemuan Kependudukan Dunia di Kairo sebagai tema sentral abad ke 21. Usulan pengembangan keluarga prasejahtera dan sejahtera I yang umumnya miskin atau masih rawan miskin seakan tersisihkan. Peta keluarga sebagai “roadmap” untuk pengentasan kemiskinan agak diabaikan atau relatif lepas dari perhatian utama. Dalam rapat-rapat kerja tahunan perhatian utama hampir terkuras pada Kampung KB dan sangat sedikit waktu di berikan untuk membahas pengembangan keluarga sejahtera atau bagaimana mengatasi kebutuhan sumber daya manusia menghadapi era industri 4.0 yang sarat dengan penggunaan IT atau peran baru SDM dengan adanya otomatisasi teknologi internet di segala bidang dewasa ini.

                Pengembangan Kampung KB tidak salah karena sejak tahun 1970 dimana mana kita dirikan Kelompok Akseptor dan Akseptor Lestari sebagai kelompok Kampung KB atau Kelompok Akseptor KB tersebut. Tetapi targetnya bukan memperbanyak Kampung KB atau Kelompok Akseptor KB atau Kelompok Akseptor Lestari KB, tetapi mengembangkan Keluarga Sejahtera atau Kelompok Keluarga Sejahtera atau Desa Sejahtera. Artinya adalah peserta KB, atau kampung yang memiliki peserta KB harus dikembangkan menjadi Kampung yang isi mayoritasnya adalah keluarga sejahtera, keluarga dengan rata-rata dua orang anak, seluruhnya sekolah mulai PAUD sampai setinggi-tingginya, ibu-ibu memiliki tingkat kematian yang rendah, anak-anak balita sehat, hampir nol tingkat kematiannya serta rata-rata usia harapan hidupnya di atas angka 70 tahun. Setiap keluarga memiliki anggota keluarga yang bekerja dan keluarga tersebut kalau beragama Islam sanggup membayar zakat atau termasuk keluarga sejahtera III Plus yang peduli terhadap sesama, berbagi melalui pemberdayaan melepaskan keluarga prasejahtera dan sejahtera I dari lembah kemiskinan.

Cita-cita itu mencuat dan muncul dengan kuat sejak dan setelah pada 8 Juni 1989, Indonesia mendapatkan  penghargaan UN Population Awards dari PBB yang diterima langsung oleh Presiden HM Soeharto di New York. Bahkan pada tahun 1990-an mewarnai upaya membangun keluarga sejahtera yang diawali dengan diundangkannya UU nomor 10 tentang Pembangunan Keluarga dan Kependudukan yang sangat terkenal itu. UU tersebut secara resmi ikut mewarnai Konperensi Kependudukan Dunia tahun 1994 di Kairo, Mesir dan Konperensi Dunia Wanita di Beijing dan Konperensi Sosial Dunia di Kopenhagen.

Sejak saat itu Program KB memasuki babak baru sebagai pembangunan keluarga sejahtera secara bertahap. Untuk itu mulai tahun 1990, dan utamanya mulai tahun 1991, dengan bantuan PBB dalam rangka persiapan Konperensi Kependudukan Dunia 1994 di Kairo, Indonesia mendapat kehormatan pengembangan UU Keluarga dan Kependudukan dengan dukungan dana melalui berbagai Pertemuan Internasional membahas hal-hal yang perlu dicantumkan dalam UU Kependudukan yang belum pernah ada di dunia itu. Pengembangan UU khusus itu mendapat dukungan yang sangat kuat dari Presiden sehingga dua orang pejabat senior ditugasi khusus dan maraton mengawal pembuatan UU tersebut, yaitu Menteri Kependudukan Prof. Dr. Emil Salim dan Kepala BKKBN Dr. Haryono Suyono yang hanya dalam waktu sangat singkat pada tahun 1992 RUU-nya di terima DPR sebagai UU nomor 10 tahun 1992 sebagai UU tentang Pembangunan Keluarga dan Kependudukan. Atas dasar UU itu, sejak tahun 1993,  setiap tanggal 29 Juni, bertepatan kembalinya keluarga Indonesia dari pengungsian bergerilya, ditetapkan sebagai “Hari Keluarga Nasional” yang selalu diperingati setiap tahun.

Sejak saat UU Nomor 10 diundangkan, maka Program KKB dengan Kelompok Akseptor yang militan, artinya, “Kampung KB”, atau “Kelompok Akseptor KB”, secara bertahap makin dikembangkan dan dikukuhkan menjadi “Kelompok Keluarga Sejahtera” atau dengan sendirinya secara tahap demi tahap “Kampung KB” berubah menjadi “Kampung atau Desa Keluarga Sejahtera”. Melalui usaha yang serius dari setiap anggotanya, dan para petugas serta relawan KKB di seluruh Indonesia, sisa-sisa Kelompok Akseptor secara bertahap berkembang menjadi “kelompok Keluarga Sejahtera” bukan sebaliknya dari Kelompok Keluarga Sejahtera berubah menjadi Kelompok Akseptor KB.

Para anggota Kelompok Akseptor yang anggotanya berani menerima kontrasepsi. memasuki babak baru sebagai keluarga yang sanggup menerima norma-norma keluarga modern lainnya seperti memelihara kesehatannya sebagai seorang ibu, menerima norma keluarga kecil yang sehat, mengirim anak balita ke PAUD, rajin berkunjung ke Posyandu, para bapaknya memberi ijin dan kesempatan kaum perempuan dalam setiap rumah tangga untuk bekerja di luar rumah sehingga dengan pendapatan dari suami istri yang cukup keluarga yang bersangkutan berkembang dari keluarga prasejahtera atau sejahtera I menjadi keluarga sejahtera II, III atau keluarga sejahtera III Plus.

Masyarakatnya berubah menjadi masyarakat gotong royong dan melaksanakan ajaran Pancasila tanpa harus menghafal lima sila tetapi secara nyata saling tolong menolong antar sesama keluarga sehingga di desa tumbuh masyarakat Pancasila yang modern, damai, mandiri dan lestari. Amin.

Haryono SuyonoComment