Ngobrol Buku dan Penerbitan di KBRI London

Di sela-sela London Book Fair (LBF) 2019 yang berlangsung antara 14-16 Maret 2019, saya bertemu dengan Atase Pendidikan dan Kebudayaaan (Atikbud) KBRI London Prof. Aminuddin Azis (biasa dipanggil Prof. Amin) yang mantan Wakil Rektor di UPI Bandung.  Hari berikutnya menjelang penutupan LBF sesuai komunikasi kami berdua saya menyempatkan diri mengunjungi Prof. Amin di KBRI London.

KBRI London beralamat lengkapnya di  30 Great Peter St, Westminster, London SW1P 2BU, UK. Ya dekat sekali dengan Westminster di pusat kota London dimana terletak Gereja terkenal Westminster Abbey dan Westminster Palace atau Parliament Houses, Big Ben, juga tidak terlalu jauh dengan Buckingham Palace,  tempat kediaman Ratu Inggris. Prof. Amin memberi saran untuk naik kereta dan turun di stasiun St . James Park atau di stasiun Westminster. Dari lokasi LBF di Olympia Kensington saya tanya seseorang panitia LBF warga London, dia menyarankan naik saja dari stasiun West Kensington karena ada kereta  (mereka menyebutnya Tube) langsung ke stasiun yang dituju. Menuju ke Stasiun West Kensington saya harus berjalan kaki kurang lebih lima belas menit. Memang ada stasiun Olympia Kensington persis di sebelah tempat LBF (Olympia) namun harus ganti kereta  di stasiun berikutnya, Jadi West Kensington lebih efisien, meski harus jalan kaki terlebih dulu. Di jalan menuju West Kensington saya sempat bertanya minimal dua kali ke orang-orang yang saya temui. Warga London umumnya sangat membantu kalau kita bertanya arah atau jalan. Bertanya perlu, apalagi HP saya tidak punya koneksi internet, kecuali kalau di hotel.

Tiba di stasiun St, James Park saya bertanya tentang lokasi KBRI sama petugas stasiun seorang ibu-ibu yang sudah agak berumur. Dengan sigap di membuka gawainya, menulis Indonesia Embassy. Setelah melihat peta dia menyarankan kembali ke kereta dan turun di stasiun berkutnya di stasiun Westminster. Dia bilang dari stasiun tersebut bisa berjalan kaki lebih cepat dibandingkn stasun St. James Park ini. Saya nurut, kembali nunggu kereta berikutnya ke stasiun Westminster. Tapi setelah sampai di stasiun Westminster saya jadi ragu, bertanya lagi kepada petugas stasiun yg saya temui… Wah, dia malah menyarankan balik kembali ke stasiun St. James Park karena dari sana lebih dekat.  Dia menunjukkan peta di gawainya, dan nampaknya lebih mudah dibaca dan arahnya lebih jelas. Walhasil saya kembali ke  stasiun St. james Park, stasiun pertama saya berhenti.  Dari sana langsung disambut hujan gerimis dan angin kencang, lumayan membasahi jaket tebal saya.  Saya tanya lagi orang di pinggir jalan, dengan ramah dia menunjuk arah ke sebelah kanan dan lurus, nanti akan ketemu Great Peter Street. Di tengah guyuran hujan dan udara yang luar bisa dingin (meskipun sudah memasuki musim semi) saya berjalan menyusuri jalan kecil menuju ke KBRI, akhirnya ketemu juga…

KBRI London menempati sebuah bangunan tua (seperti umumnya bangunan di London) yang nampak bagian tengah dan pagarnya telah direnovasi. Di depan gedung terpasang bendera Merah Putih dan bendera ASEAN. Pintu pagar terkunci tapi ada semacam mikrofon, sehingga saya bisa minta ijin untuk dibuka karena mau ketemu Prof. Amin. Alhamdulillah ketemu bu Dewi salah seorang staf KBRI senior. Prof. Amin rupanya belum datang, saya menunggu sepeluh menit akhirnya Prof. Amin datang, sama kehujanan, karena jalan kaki juga dari stasiun.

Kami mengobrol panjang lebar,  Prof. Amin sudah dua kali minimal menghadiri dua acara di universitas Trilogi, jadi alhamdulillah sudah ketemu sebelumnya. Saya memperkenalkan Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) berharap kelak Prof. Amin bisa mendukung asosiasi di lingkungan pergurun tinggi ini untuk bisa lebih maju dan berkembang. Saya sampaikan keprihatikan kami di APPTI mengenai produktiftas penulisan dosen yang masih sangat rendah. Mungkn tidak sampai 30% dosen di Tanah Air yang dapat menunjukkan kualifikasinya sebagai ilmuwan dengan aktif menulis.

APPTI didirikan salah satunya untuk mendorong peningkatan publikasi dan penerbitan karya sivitas akademika, baik unuk keperluan pembelajaran internal kampus seperti untuk kalangan para mahasiswa ataupun untuk masyarakat umum. Sayang sekali kapasitasn keilmuan para dosen di Tanah Air belum sepenuhnya terwujudkan dalam kemampuan menulis dan pubikasi karya akademis, seperti buku untuk bahan ajar, atau buku-buku untuk umum yang lebih luas. Belum lagi kemampuan publikasi dari hasil penelitian yang juga belum merata diantara sesama dosen, ada segelintir dosen yang aktif dan produktif, tapi yang lain umumnya masih bekutat di dunia pengajaran semata. Ini bukan berarti pengajaran tidak penting, namun pengajaran akan lebih kaya dengan dilengkapi oleh karya penerbitan dosen sendiri baik dalam bentuk modul,  buku atau terbitan jurnal ilmiah.

Saya sampaikan penerbit peguruan tinggi juga banyak kualifikasinya, dari penerbit maju dan mandiri karena didukung oleh gairah menulis para dosennya atupun dukungan dana dan atmostfir akademik kampus yang sudah tercipta dengan baik, seperti UI Press, UGM Press, ITB Press, IPB Press, Unair Press, UNS Press, Polimeia Press, dan lain-lain. Di lain pihak Banyak penerbit pergurun tinggi yang hidup segan mati tidak mau, karena keterbatasan SDM serta sarana prasarana, akibatnya ini seperti cerita telur dan ayam, dosen kurang begairah menulis karena keterbatasan sarana prasarana serta dukungan pimpinan, atau masalah pada atmosfir akademik yang belum terbentuk secara baik. Mudah-mudahan APPTI bisa menjadi tempat berhimpun dan berbagi diantara penerbit perguruan tinggi serta bisa menjadi corong dalam menyampaikan aspirasi dan juga bisa diandalkan dalam membangun kerjasama dengan beragam pemangku kepentingan untuk kemajuan penerbitan pendidikan tinggi Indonesia.

Setelah diskusi Prof. Amin mengajak makan siang. Syukur hujan sudah reda. Tidak jauh dari KBRI terdapat restoran Thailand, ada juga restoran Turki. Prof. Amin minta saya memilih. Saya pilih restoran Thailand karena makanan Turki sudah sering saya temui di tempat saya menginap di Kensington.  Alhamdulillah akhirnya bisa menikmati masakan yang mirip-mirip dengan masakan Indonesia. Hanya saja sebgai orang Sunda tetap saja kangen sama lalaban dan sambal, tidak ditemui namun makan yang ada lumayan ada pedasnya….

 

*Aam Bastaman: Dosen Universitas Trilogi. Editor Senior Gemari.id

KBRI London 3.jpg
Aam BastamanComment