Sekali lagi: Hoax Di Sekitar kita

Maaf, mungkin sudah terlalu sering masalah hoax (berita bohong) ini dibicarakan, didiskusikan, diperdebatkan, atau ditulis sebagai artikel di berbagi media. Jadi sekali lagi maaf, ini bukan hal yang baru, atau barangkali anda sudah muak mendengarnya. Tapi toh di berbagai media sosial sampai tulisan ini dibuat masih berseliweran hoax. Yang parahnya lagi hoax ini masuk dan diterima di berbagai grup WA elit, grup WA kaum terpelajar yang didalamnya banyak doktor, profesor, kaum terpelajar dan para cerdik cendekia… dan sebagian dari mereka seringkali menikmati dan mengangkat tinggi-tinggi sebagai berita besar tanpa crosscheck asal sesuai dengan kepentingan politiknya.

Kalau sebagian kaum cerdik cendekia saja bisa menerima dan membenarkan bahkan membela hoax, bagaimana pula dengan masyarakat awam yang kurang paham? Padahal para ulama sependapat hoax adalah sejenis fitnah, dosa besar… Bahkan dalam Islam diajarkan untuk menjauhi fitnah, bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan… tapi di tahun politik yang gegap gempita ini nampaknya banyak kalangan yang berprinsip untuk menang kalau perlu bisa menghalalkan segala cara…

Jelas bahwa hoax dibuat dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, gentayangan di berbagai media sosial dan tabloid ilegal. Penyebaran hoax ini sebenarnya bisa menjadi ukuran kedewasaan sebuah masyarakat, semakin matang dan dewasa masyarakat peredaran hoax pasti tidak akan laku, tapi masalahnya di tahun politik ini seringkali akal sehat jungkir balik, yang salahpun bisa dibela mati-matian karena kepentingan politik. Terjadilah pro kontra di masyarakat yang seringkali jauh dari kesantunan, argumentasi disesuaikan dengan keyakinan politiknya, bukan atas dasar kebenaran.

Hoax juga diyakini turut andil dalam berbagai kerusuhan dan perang saudara di banyak negara di Timur Tengah. Namun bukan hanya di Timur Tengah, hoax juga sudah menjadi biang keributan politik di berbagai negara maju, seperti Amerika Serikat. Hal yang sama terjadi di Jerman, Perancis, Italia dan di negara berkembang seperti Myanmar (Kompas, Minggu/3 Februari 2019), sehingga  sudah menjadi masalah global yang serius.

Mudah-mudahan kita semua bisa belajar dari apa yang terjadi di Timur Tengah, peperangan terjadi justru antar saudara sendiri, dan bahkan saudara seiman. Lihatlah Suriah, Yaman, Irak, Lebanon, Mesir, Libya… mungin daftar ini bisa lebih panjang sendiri. Meskipun kita tahu dalam krisis Timur Tengah juga karena ada dalang dan ada wayang yang dapat dimainkan. Intinya, kita harus mengambil pelajaran bahwa penting sekali menjaga kerukunan dan persaudaraan antar anak negeri, jangan dibutakan oleh kepentingan politik sesaat…

Nah, saya jadi tertarik melakukan riset mengenai hoax ini, hampir rampung. Riset dengan mengamati, mendokumentasikan dan menganalisis dinamika komunikasi di beberapa grup WA. Ada 7 grup WA yang dijadikan sampel, mulai dari grup WA orang-orang besar, cerdik cendekia yang didalamnya para rektor, mantar rektor, doktor, profesor dan kaum terpelajar lainnya; grup WA alumni program S1 di sebuah univesitas Negeri; grup WA kelompok pengajian alumni sebuah universitas Negeri; grup WA pengajian mesjid di sebuah kota; grup WA sebuah RW di sebuah kota;  gup WA  alumni sekolah SMA di sebuah kota, dan terakhir grup WA alumni asrama mahasiswa sebuah universitas negeri.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain etnografi. Data diperoleh dari lalu lintas komunikasi dalam masing-masing grup WA dari bulan September tahun 2018 sampai Januari 2019.

Hasil sementara bisa saya ringkas sebagai berikut: Hoax dipakai untuk kepentingan politik. Penilaian suatu hoax itu berita yang dibenarkan atau betul-betul diterima sebagai berita bohong dipengaruhi oleh pandangan politiknya. Karena pandangan politiknya tersebut maka hoax yang menguntungkan pandangan politiknya cenderung dibela dan dilakukan pembenaran. Hoax yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya dan merugikan dicela sebagai berita bohong sepenuhnya dan harus diklarifikasi atau dihentikan, dan menuntut pembuat serta pengedarnya dihukum. Penerimaan suatu Hoax sebagai berita yang diyakini benar ternyata tidak membedakan tingkat pendidikan, doktor, dan bahkan dengan status guru besar, tidak berbeda dengan yang berpendidikan S1 atau bahkan tidak berpendidikan sarjana, sejauh dilandasi kepentingan politik yang sama. Fokus dari pandangan dan penilaian suatu hoax yang beredar bukan dari perspektif kebenaran tapi dari kepentingan (politik).

Sementara itu kesimpulannya. Detailnya nanti insya allah akan dipublikasikan lebih lanjut di suatu forum dan media (publikasi) yang relevan.

Dari hasil penelitian ini kita semua harus hati-hati karena hoax ternyata menjangkiti semua kalangan, dan jenjang pendidikan bukan menjadi ukuran dalam memandang dan penerimaan isu hoax, namun yang terpenting kepentingan politiknya.

Semoga kita semakin waspada, semakin mawas diri, semakin bersemangat untuk membangun persaudaraan sesama anak bangsa, supaya bisa lebih produktif lagi dalam menjalani keseharian kita. Kita hindari dan hentikan hoax dengan tidak menyebarluaskannya. Berpolitik yes, tapi tetap menjaga kesantunan, dan mengedepankan persatuan.

Salam produktifitas!

 

*Aam Bastaman: Dosen Universitas Trilogi. Anggota Tim Kerja LPN RI

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment