Aam Bastaman: Ekonomi Biru dan Pembangunan Ekonomi (1)

Karena terlalu panjang  tulisan dengan judul tersebut di atas saya bagi menjadi tiga bagian yang terpisah. Tulisan pertama ini lebih banyak sebagai pengantar konsep ekonomi biru (blue economy) yang digagas oleh Prof. Gunter Pauli, melalui bukunya “Blue Economy” (2010).

Tulisan ini merupakan bagian dari makalah saya yang disampaikan pada Mukernas Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) di Banjarmasin, 25-27 September 2018. Sebelumnya pada bulan Januari 2018 Kementerian Tenaga Kerja/Direktorat Produktifitas bersama Universitas Trilogi dan Asian Productivity Organization (APO) Tokyo mengundang Prof. Gunter Pauli penggagas Blue Economy untuk menjadi pembicara utama pada konferensi internasional mengenai Blue Economy. Prof. Pauli sendiri sudah menulis beberapa buku, diantaranya The Blue Econmy, 10 Tahun, 100 Inovasi, 100 Juta pekerjaan. Buku ini merupkan terjemahan The Blue Economy, 10 Years, 100 Innovations, 100 Millions Jobs (2010), sudah diterbitkan oleh Akast Publishing, Jakarta (2013). Makalah ini terinspirasi dari presentasi Prof. Pauli di Jakarta pada acara International Conference on Blue Economy, Januari 2018.

        Dari konferensi tersebut selanjutnya dialog berlangsung dengan berbagai pihak, termasuk dengan Yayasan Ekonomi biru ( the Blue Economy Foundation) Indonesia yang dipimpin oleh Dewi Smaragdina dan yang menjadi penasehat yayasan salah satunya Rossalis  Adenan, Dubes Indonesia untuk Sudan, yang selanjutnya pada bulan Maret 2018 dilakukan MoU antara Universitas Trilogi dengan Yayasan Ekonomi Biru Indonesia untuk pengembangan konsep Ekonomi Biru di Indonesia, terutama di dunia pendidikan tinggi.

         Pembahasan dan diskusi mengenai blue economy juga dilakukan juga pada saat penyelenggaraan seminar nasional oleh Departemen Sosiologi UI pada bulan Juli 2018 di Kampus UI Depok. Dengan keyakinan bahwa gagasan blue economy dapat memberikan kemaslahatan bagi umat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem, penulis dengan dukungan berbagai pihak mencoba terus mendiskusikan dan mensosialisasikan  konsep dan gagasan ini untuk dipraktekkan di Indonesia diberbagai bidang dan aspek kehidupan.        

          Selanjutnya, pada acara Mukernas Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, 25-27 September 2018 penulis didaulat menjadi pembicara dan membawakan konsep ekonomi biru dalam dunia penerbitan. Tulisan ini merupakan bagian dari makalah tersebut.

          Latar belakang

          Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia sedang dalam krisis yang membahayakan keberlangsungan umat manusia, beberapa krisis tersebut diantaranya: Kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan, ketidakmerataan kesejahteraan, perubahan iklim/bencana alam ataupun cuaca ekstrim (merata terjadi di hampir semua kawasan di dunia), kriminal seperti perdagangan manusia, prostitusi, perbudakan, konflik antar geng dan bandar narkoba, serta peperangan, baik perang saudara, maupun perang antar negara yang masih terjadi di berbagai belahan dunia.  Hal-hal tesebut di atas selain menyisakan masalah keadilan juga menyebabkan dunia menghadapi tantangan keberlangsungannya.               

       Berbagai upaya terus dilakukan untuk mencegas krisis tersebut diatas dapat diminimalkan, namun kemajuan penanganan krisis tersebut masih sangat minim. Salah satu krisis yang dapat ditangani bersama-sama umat manusia adalah krisis kerusakan ekosistem, dengan merubah cara kita berhubungan dan merespons terhadap alam. Kuncinya adalah kesiapan dan respons kita, umat manusia, sebagai khalifah di muka bumi ini terhadap krisis melalui perubahan gaya hidup (life style).

        Meskipun terdapat kemajuan teknologi yang merubah cara manusia hidup dan berbisnis, krisis lingkungan memerlukan perubahan perilaku. Kita semakin menyadari bahwa masa depan itu adalah saat ini. Sehingga kita bisa menyambut dengan ucapan: Selamat datang masa depan! Diperlukan upaya-upaya kreatif untuk mengatasi permasalahan yang semakin kompleks dan dinamis serta penuh turbulensi ini.

       Gagasan Ekonomi Biru

        Konsep Ekonomi Biru dikembangkan untuk menjawab tantangan, bahwa sistem ekonomi dunia cenderung ekploitatif dan merusak lingkungan: selain karena limbah, kerusakan alam disebabkan oleh eksploitasi melebihi kapasitas atau daya dukung alam. Inti dari Ekonomi Biru  adalah Sustainable Development yang merupakan koreksi sekaligus perkayaan dari Ekonmi Hijau denagan semboyan Blue Sky – Blue Oceandimana Ekonomi tumbuh, rakyat sejahtera, namun langit dan laut tetap Biru. Suatu proses dimana semua bahan baku berikut proses produksi berasal dari alam semesta dan mengikuti cara alam bekerja, dengan memberdayakan sumber daya dan masyarakat lokal (Pauli, 2013).

         Model Ekonomi kedepan akan memperhitungkan keuntungan dan strategi inovasi dengan mengikuti kondisi alam. Ekonomi Biru merupakan suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang telah kurang baik dan menciptakan lebih banyak kegiatan dalam bentuk model yang Sustainable. Konsep ini memerlukan adanya peran serta masyarakat (inklusif).

         Selain prinsip efisiensi sumber daya di atas, ada sejumlah prinsip yang dianut dalam Ekonomi Biru (Pauli, 2013). Pertama, nirlimbah (zero waste) dan menekankan sistem siklikal dalam proses produksi sehingga tercipta produksi bersih (clean production). Artinya, limbah dari sebuah proses produksi akan menjadi bahan baku atau sumber energi bagi produksi berikutnya. Kedua, inklusi sosial, yang berarti pemerataan sosial dan kesempatan kerja yang banyak untuk orang miskin.  Ketiga, inovasi dan adaptasi, yang memperhatikan prinsip hukum fisika dan sifat alam yang adaptif. Keempat, efek ekonomi pengganda, yang berarti aktivitas ekonomi yang dilakukan akan memiliki dampak luas dan tak rentan terhadap gejolak harga pasar. Hal ini karena Ekonomi Biru menekankan pada luaran produk yang bersifat ganda sehingga tidak bergantung pada satu produk (core business) semata. Tidak kalah penting juga pemanfaatan sumber daya local sebagai keutamaan, selain partisipasi masyarakat secara kolaboratif untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi yang produktif dan berkesinambungan.

 

*Aam Bastaman, dari kampus Universitas Trilogi, Jakarta.

 *Tulisan ini merupakan bagian dari makalah Ekonomi Biru (Blue Economy) dan Peluang Dunia Penerbitan Universitas (Aam Bastaman), disampaikan pada Mukernas Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI), Banjarmasin 25-27 September 2018.

Aam Bastaman.png
Aam BastamanComment