Aam Bastaman: Nasib Perbukuan di Tanah Air
On the way pulang ke rumah di Tangerang dari kampus di Kalibata kadang saya mampir di rest area Karang Tengah, istirahat melepas lelah. Agak surprise juga saya sering menemukan obral beragam buku, mulai buku mengenai bisnis dan kewirausahaan, buku-buku motivasi, novel, resep masakan, cara bertani di kawasan urban, peternakan, perikanan, sampai buku-buku sejarah, ditawarkan dengan harga murah di ruang utama rest area. Buku-buku tersusun rapi di lantai tengah ruangan. Sayangnya saya lihat sepi sekali. Orang-orang lalu lalang jarang yang berhenti sekedar untuk melihat-lihat, membaca atau memilih sebelum membeli. Kondisi serupa saya temukan di Metropolis Mall di Tangerang. Beragam judul buku ditaruh di lobi pintu masuk utama. Ditawarkan dengan harga murah, diskon sampai 50%, bahkan lebih. Tapi ya begitu, orang-orang lalu lalang, sekedar menolah, seolah tidak tertarik untuk melihat-lihat, memilih, membaca apalagi membeli. Toko-toko buku ataupun bazaar buku yang semakin sepi sekarang sepertinya menjadi fenomena umum.
Agak melegakan kalau melihat beberapa toko buku besar di mal-mal besar khususnya di Jabodetabek, pengunjung yang dating, melihat-lihat dan membeli, minimal membaca, agak lebih ramai. Tapi jangan dibandingkan dengan pengunjung toko buku di negeri tetangga terdekat seperti Singapura dan Malaysia, yang luar biasa ramai oleh pengunjung, memilih buku, membaca sampai duduk di lantai… tapi setelah itu apakah mereka membeli saya tidak tahu. Tapi minat mengunjungi dan membaca di toko buku seperti itu sungguh luar biasa.
Kembali ke akar masalah, pertama minat baca masyarakat kita lemah. Budaya membaca tidak kuat dan tidak merata. Hanya segelintir masyarakat tertentu yang punya kebiasaan membaca dan menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Beberapa riset di dalam maupun luar negeri menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan minat membaca yang rendah.
Banyak pula kalangan yang menuding harga buku yang relatif mahal tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Kita memang bisa melihat masyarakat berpenghasilan pas-pasan tidak mementingkan pembelian buku. Namun bahkan di banyak kalangan keluarga yang relatif mampu, seperti kaum kelas menengah ke atas pun membeli buku bukan konsumsi yang utama.
Jaman saya kecil sewaktu masih pelajar SMP dan SMA memang membeli buku terasa berat juga, untung ada perpustakaan daerah yang lumayan bagus untuk membaca dan meminjam beragam buku. Masalah terpecahkan, tidak harus memiliki jika bisa meminjam. Namun alternatif yang disediakan oleh pemerintah rupanya kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Yang nampak ramai di perpustakaan-perpustakaan daerah, seperti di kota Tangerang adalah kunjungan para siswa, itupun tidak begitu banyak. Masyarakat umum mah boro-boro…
Ada juga yang menuding ini gara-gara teknologi informasi, perkembangan internet yang sangat luar biasa, telah menggantikan dunia buku. Membaca tidak harus di buku, cukup di HP pintar yang segalanya bisa di akses disitu. Betulkah? Rupanya tidak juga. Kemajuan teknologi informasi dengan smart phone nya ternyata hanya meramaikan dunia social media, yang memberikan akses informasi dan komunikasi secara instant. Social media menjadi fenomena tersendiri. Membaca buku di HP pintar, dengan e_book? Nanti dulu… Berbeda dengan media sosial, membaca dalam pengertian seperti membaca novel ataupun buku-buku yang menginspirasi, pengetahuan umum, psikologi popular, bahkan buku-buku pelajaran ataupun buku-buku umum lainnya di e_book belum muncul sebagai budaya baru. Nampaknya yang terjadi adalah social media yes, membaca e_book, nanti dulu… Seorang teman mengatakan, masalahnya budaya membaca masyarakat kita belum kuat, sehingga lompatan internet justru meninggalkan minat membaca buku, tapi membaca digital juga belum siap, kecuali bacaan-bacaan instant di media social, yang banyak dibumbui hoax.
Saya sendiri terus terang lebih suka membaca buku fisik daripada e_book yang melelahkan mata. Jadi bukan tidak suka membacanya. Sebagai generasi old dengan tingkat kesehatan mata yang makin menurun buku menjadi pilihan utama. Ada nilai-nilai keindahan tersendiri saat membaca dan membuka halaman demi halaman sebuah buku (novel misalnya), yang tidak bisa ditemukan saat membaca di internet. Seorang teman yang kutu buku bahkan bilang, wangi buku baginya terasa nikmat. Ya, memang ini masalah pilihan, yang penting membacanya itu kan?
Upaya serius yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan minat baca masyarakat, sehingga sejajar dengan msyarakat negara-negara maju. Ternyata minat baca juga menjadi ukuran pendorong kemajuan suatu bangsa. Negara-negara yang telah maju dicirikan oleh masyarakat yang memiliki budaya baca yang tinggi. Kalau mau maju minat membaca perlu ditingkatkan, supaya masyarakat lebih cerdas, lebih terbuka pandangan serta pemikirannya.
Cerita buku ini akan sangat panjang, karena begitu pentingnya buku (teman saya yang ahli perbukuan mengatakan buku gerbang peradaban manusia), namun tantangannya juga banyak. Selain pembaca, banyak kelompok masyarakat lain yang terlibat didalamnya, penulis, editor, penerbit, pekerja kreatif, percetakan, distributor, penjual yang secara ekonomi dapat menumbuhkan industri ini dan berkontribusi ke perekonomian nasional. Saat ini industri buku belum menjadi industri yang seksi. Bagaimanapun perkembangan teknologi informasi juga mewarnai bahkan mempengaruhi industri perbukuan nasional. Dalam konteks media cetak yang lain, seperti surat kabar dan majalah bahkan mengancam. Dunia perbukuan perlu beradaptasi. Inilah salah satu yang sedang diperjuangkan oleh teman-teman di Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI). Tidak terkecuali masalah perbukuan ini juga melanda dunia pendidikan tinga kita, mulai dari minat baca, kemampuan menulis dan membuat buku, serta masalah penerbitan dan pemasaran. Sangat banyak “pekerjaan rumah”.
Ngobrol mengenai dunia perbukuan kita lanjutkan lagi di kesempatan lain.
Salam produktifitas!
*Aam Bastaman@Universitas Trilogi. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI).