Refleksi: Mengingat Hari Kematian

Wah, judul di atas nampaknya menyeramkan. saya tadinya berfikir untuk menuliskaan dengan judul lain, yang lebih “halus”, tapi mengapa tidak? Kan yang mau ditulis memang mengenai urusan kematian.

Pak Mahfud MD saja sempat berbicara dengan topik kematian saat memberikan kuliah umum di Universitas Trilogi, di depan sivitas akademika. Ia menyampaikan bagaimana proses seorang yang hidup menjadi mati yang ia pelajari dari orang-orang yang pernah mengalami mati suri. Cerita orang-orang yang mati suri tersebut ternyata ada banyak kemiripan, yaitu suatu keadaan dimana roh keluar dari jasad, seperti masuk ke sebuah Lorong yang di ujungnya bercahaya terang, melesat, kemudian mengawang. Tapi proses itu merupakan misteri, karena tidak tahu bagaimana selanjutnya, sebagian orang yang mati suri hidup kembali, rohnya masuk kembali ke dalam jasadnya. Akhirnya urusan kematian adalah urusan iman dan taqwa. Hanya sang pencipta yang maha tahu. Kita diberi rambu-rambu dan penerangan melalui ajaran agama.

Walhasil, tidak ada seorangpun yang tahu persisnya bagaimana hidup di alam “sana” setelah hidup di dunia ini. Yang pasti semua mahluk yang bernyawa, termasuk manusia, tentu saja, akan mengalami fase kematian ini. Suatu keniscayaan yang kadang-kadang kita lupa, bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Kalau pak ustad teman saya sering mengingatkan, dunia ini bukan kampung kita, karena ini hanya tempat persinggahan belaka, kampung sebenarnya nanti di akhirat, setelah perjalanan hidup dan diakhiri kematian di dunia.

Disebutkan sekurang-kurangnya terdapat 15 ayat dalam kitab suci Al Qur’an yang membahas mengenai kematian. Diantaranya surat Ali Imran:185: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenngan yang memperdayakan.”

Beberapa waktu yang lalu saya menerima kiriman “sharing” video di sebuah grup WA, tentang kematian. Tapi ini bagus, sebuah ajakan untuk mengingat saat kematian, tujuannya untuk bisa hidup lebih baik. Untuk memaknai waktu kita sebaik mungkin, sehingga hidup kita lebih berkesan dan lebih berarti. Dengan kata lain, untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Berbicara banyak dan bertindak tentang kebaikan apa yang bisa dilakukan, tidak menyimpan amarah penuh dengki. Hidup seolah-olah hari ini hari terakhir kita bernafas, seperti kata Seneca, seorang filsuf. Ajakan untuk memberikan penghormatan terhadap kehidupan dunia yang tidak abadi.

Kata yang digunakan dalam video terebut adalah Memento Mori, ajakan untuk mengingat hari kematian kita. Suatu pendekatan filsafat mengenai kematian yang telah hadir sejak abad pertengahan di Eropa. Memikirkan hari kematian bisa membuat kita menggunakan waktu yang kita miliki secara efektif, tidak menyia-nyiakan waktu. Banyak memikirkan kebaikan-kebaikan dan hal-hal positif dari hidup dan bertindak dari pikiran baik tersebut. Karena kematian tidak mengenal usia, tua, muda, pria, wanita, anak-anak, remaja atau orang tua, ataupun kaya atau miskin, pejabat atau orang biasa. Tidak heran banyak juga orang yang menyimpan simbol-simbol waktu dan kematian, untuk mengingatkan. Tidak ada yang tahu berapa lama kita menghabiskan waktu di dunia ini, sebelum akhirnya kembali ke Sang Pencipta.

Sebelum terlambat, seperti dalam ajakan spiritualitas, untuk memberikan penghargan kepada kehidupan kita, meraih anugerah bahagia, dengan cinta dan kasih sayang. tidak mempermasalahkan hal-hal remeh yang kadang datang atau hinggap dalam kehidupan kita. Tidak menyimpan dendam dan dengki, tapi memaafkan, termasuk sikap untuk bisa menerima, dan bersyukur.

Selamat menikmati hidup, itu ucapan yang sebenarnya menggugah. Saat kematian apapun yang kita miliki tidak akan bisa kita bawa. Yang tersisa bukan apa yang kita miliki secara fisik, seperti harta, tapi kumpulan dari pengalaman apa yang kita miliki, termasuk kebaikan-kebaikan dan apa-apa yang telah kita berikan untuk orang lain.

Aam Bastaman (Uni Trilogi), Senior editor Gemari.id

Aam Bastaman1.png
Aam BastamanComment