Kota Tangerang Menjadi Aerotropolis?
Berkembang wacana kota Tangerang menjadi kota aerotropolis, mengingat Bandara Internasional Soekarno Hatta yang sedang dikembangkan secara masif berada di wilayah Kota Tangerang. Sebutan aerotropolis mengacu pada sebuah kota dimana tata letak, infrastruktur, dan ekonomi berpusat pada bandar udara (airport). Dengan konsep aerotropolis ini bandar udara (bandara) sebagai pusat aerotropolis juga memiliki kawasan pinggir kota (suburban) yang terhubung oleh infrastruktur dan transportasi massa, seperti konsep dalam kota metropolitan.
Menurut sumber media istilah aerotropolis pertama kali dikemukakan seorang seniman New York, Nicholas DeSantis (1939). Konsep ini kemudian dikembangkan oleh seorang akademisi dari Amerika Serikat sendiri, John D. Kasarda pada tahun 2000. Kasadra melihat bandara telah berevolusi menjadi penggerak bisnis dan pembangunan perkotaan di abad ke-21, sebagaimana jalan raya yang menggerakkan ekonomi di abad ke-20, kereta api di abad ke-19, dan pelabuhan di abad ke-18, sebagai bentuk evolusi sistem transportasi. Sehingga tidak mengherankan, bentuk evolusi transportasi ini menjadikan bandara pada abad ke-21 ini berevolusi pula menjadi motor bisnis dan pembangunan perkotaan, yang kemudian menginspirasi perwujudan konsep aerotropolis di banyak tempat di dunia, seperti bandara Schipol di Belanda, Incheon di Korea Selatan, Hongkong, Dubai.
Bandara yang melayani jutaan penumpang setiap tahunnya, membutuhkan dukungan rantai pasokan yang memadai. Oleh karena itu roda bisnis di sekitar bandara dimungkinkan lebih tergantung pada
pemasok-pemasok pendukung dari luar kota atau luar negeri, dibanding kawasan bisnis
di pusat kota dan sekitarnya. Oleh karena itu semula kawasan komersial aerotropolis ini pada dasarnya memang dibangun dalam rangka mendukung bisnis yang terkait penerbangan termasuk jutaan pengunjung dan pengguna bandara yang singgah setiap tahunnya, seperti di bandara Soekarno Hatta ini. Namun dengan konsep aerotropolis sebagai kota bandara berkembang melampau pemenuhan operasional bandara semata.
Konsep aerotropolis pada umumnya dilengkapi dengan industri manufaktur, e-commerce, telekomunikasi dan logistik, hotel, gerai retail, pusat hiburan (entertainment) dan eksibisi (exhibition), ruang perkantoran (mengingat banyaknya para pebisnis bermobilitas tinggi dan terlibat perdagangan global), pusat perdagangan grosir, dan sarana transportasi terintegrasi. Sehingga aerotropolis bisa menjadi destinasi wisata baru, selain menarik investor untuk pengembangan kawasan sebagai penggerak ekonomi baru. Seluruh elemen yang mengintegrasikan menjadi aerotropolis bisa dipenuhi Kota Tangerang. Hanya perlu perencanaan yang matang, kalau tidak maka dikhawatirkan akan menjadi kota (aerotropolis) yang tidak nyaman karena menjadi sumber kemacetan baru, dan nama baik bandara internasional pun dipertaruhkan.
Kembali ke Kota Tangerang, luas wilayah Kota Tangerang 184 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 2,230,000 orang. Sedangkan wilayah Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta menempati luas sebesar 10 persen dari luas wilayah Tangerang, prosentase yang cukup signifikan untuk kawasan sebuah kota. Sehingga Tangerang berpotensi layak disebut sebagai kota bandara dengan segala macam infrastruktur pendukungnya, yang didukung oleh sekitar 20.000 pegawai bandara.
Saat ini pengembangan bandara Soekarno Hatta sudah mencakup perluasan layanan untuk kegiatan di dalam kota bandara untuk meningkatkan pelayanan calon penumpang, di kawasan sekitarnya dibangun pusat-pusat perdagangan, meliputi pertokoan. perkantoran, hotel dan layanan bongkar muat. Disamping itu dibangun pelayanan transportasi publik multi moda, meliputi taxi, bis dan kereta api bandara, serta infra struktur jalan tol baru. Demikian halnya dengan infrastruktur terminal, termasuk perluasan terminal, infrastruktur dasar penghubung antar terminal, meliputi jalan penghubung dan kereta dalam bandara. Kegiatan kawasan sekitar di luar kota bandara, termasuk kawasan bisnis terpadu, penyediaan hotel dan sarana akomodasi lainnya. Kegiatan perdagangan, meliputi pusat perbelanjaan, pusat-pusat kuliner dan rekreasi.
Memang masih ada pembatasan mengenai perumahan, untuk alasan tertentu, saat ini berdasarkan aturan yang berlaku di kawasan penunjang bandara tidak boleh dibangun kawsaan perumahan. Sehingga perlu dibanguan infrastruktur perumahan (pegawai) yang tersambung ke bandara.
Pengembangan menjadi aerotropols ini menjadikan kota (dimana bandara didalamnya) sebagai penggerak pertumbuhan perkotaan dan menjadikan bandara dengan infrastruktur pendukungnya sebagai pusat lapangan pekerjaan yang penting, termasuk kawasan perbelanjaan, perdagangan serta destinasi bisnis, termasuk hiburan dan pariwisata, sehingga aktifitas bisnis tidak semata-mata berkaitan dengan aktifitas lalu lintas bandara, tapi sudah meluas menjadi layanan yang terintegrasi dalam jejaring perkotaan. Aspek pengembangan sumber daya manusia, termasuk sikap dan mentalitas aerotropolis menjadi sangat penting.
Kritik terhadap konsep aerotropolis juga bermunculan, salah satunya adalah kekhawatiran atas kerusahan lingkungan, penggusuran masyarakat lokal, termasuk perubahan fungsi tanah-tanah subur yang secara tradisional menjadi lahan yang penghidupan masyarakat, beserta budaya dan seni yang sudah tertanam di dalamnya. Kerusakan lingkungan, polusi udara yang massif dan terpinggirkannya masyarakat lokal menjadi perhatian utama para pengkritik aerotropolis.
Sangat bijaksana pemerintah juga mendengar kritik dan kekhawatiran ini, paling tidak dengan meminimalkan dampak buruk pembangunan aerotropolis dengan berbagai upaya yang kondusif, seperti perlindungan kawasan budaya, pelestarian kawasan khas lokal, serta pembangunan berbasis kelestarian lingkungan, sehingga diharapkan dapat terhindar dari bencana carut marut perkotaan, bahkan bencana lingkungan yang lebih besar.
Aam Bastaman. Pegiat ‘Place Marketing’ (Uni Trilogi). Senior Editor Gemari.id