Kisah perjalanan menghadiri Konperensi Kependudukan dan Pembangunan

IMG_9396.JPG

Sungguh suatu kebahagiaan yang luar biasa begitu sampai di Ibukota Etiopia dan Kenya, menginjakkan kaki di bumi airport internasionalnya, langsung kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena airport internasional di Cengkareng jauh lebih bagus dan lebih maju dibandingkan dengan airport di Adis Ababa atau di Nairobi. Pelayanan yang diberikan kepada penumpang pesawat juga jauh lebih cepat dan maju sehingga rasa nyaman bagi penumpang yang capai karena penerbangan yang jauh dari Jakarta sampai ke Ibu Kota Etiopia dan Kenya dengan melewati dua lapangan terbang internasional di Singapura dan Adis Ababa. Kita tidak perlu membandingkan Jakarta dengan Singapura yang sangat maju, tetapi kalau kita mampir ke Adis Ababa maka kita harus sabar karena airport internasionalnya juga masih sederhana sehingga kalau kita harus mencopot ikat pinggang di Jakarta, di sana rupanya lebih galak lagi, sepatu harus dilepas dan seluruh isi kantong dikeluarkan tuntas.

Perjalanan dari Jakarta ke Singapura terasa nyaman karena biarpun kita naik pesawat yang tidak populer karena dianggap senior oleh UNFPA PBB, di beri tiket Business sehingga tidak terlalu berdesak dan bisa duduk nyaman. Kesempatan ganti pesawat di Singapura berjalan lancar karena selisih waktu yang singkat dan ruangan VIP yang sangat nyaman. Namun setelah terbang berjam-jam dari Singapura ke Adis Ababa yang sangat melelahkan, biarpun bisa tidur nyaman karena tempat duduknya bisa di ubah menjadi tempat tidur yang nyaman, ternyata fasilitas di airport Adis Ababa masih sangat sederhana. Ada satu ruang tunggu yang sangat besar dengan dua fasilitas seadanya. Salah satunya untuk fasilitas VIP yang dibedakan karena kursinya besar-besar dan fasilitas umum yang kursinya keras yang pastinya akan membuat pantat yang capai akan bertambah menderita. Karena kita mendapat fasilitas VIP maka beruntung bisa masuk ruangan yang dianggap VIP tersebut.

IMG_9404.JPG

Mendadak ada pengumuman bahwa pesawat dari Adis Ababa menuju Nairobi “delay” alias mundur sekitar sepuluh jam, sehingga segera terbayang bahwa kita harus duduk di sofa ruangan yang sangat luas itu untuk waktu selama sepuluh jam. Bayangannya saja mengerikan, tetapi ternyata nyatanya tidak terlalu parah karena ditemani oleh pejabat senior UNFPA Dr. Samidjo yang sangat simpatik dan dua wartawan dari Kompas mas Zaid dan dari Jakarta Post mbak Stevie yang baik hati dan sama-sama menuju Nairobi bertugas meliput Konperensi Kependudukan dan Pembangunan yang sama. Jadinya kita berempat saling ganti berganti mengambil minuman, makanan sampai segala macam makanan dicoba tetapi karena selera yang tidak memadai rasanya juga hambar saja. Sampai akhirnya pesawat yang harus membawa kita ke Nairobi siap terbang dan kembali lagi ritual pemeriksaan yang sangat teliti oleh petugas yang kelihatan rada cuek, termasuk melepas sepatu dan segala yang ada di saku.

IMG_9382.JPG

Penerbangan dari Adis Ababa ke Nairobi relatif pendek sehingga tidak terlalu “sengsara” dibanding perjalanan sebelumnya, tetapi karena sudah kesal harus menunggu di airport Adis Ababa yang sederhana sebelumnya, maka kekesalan itu masih tersisa biarpun kemudian menjadi “obat” karena tiba-tiba pesawat sudah mendarat di lapangan terbang Nairobi. Secara kebetulan Duta Besar RI di Nairobi, Doehardjono Sastromihardjo  sangat baik hati memberi tugas kepada stafnya untuk menjemput sampai ke dalam ruangan airport sehingga persoalan formalitas mendapat bantuan kemudahan biarpun masih harus mengisi dokumen imigrasi.

Sementara menulis laporan ini ada kabar dari Ibu Lisa bahwa beberapa anggota yang sudah keluar dari Hotel di Nairobi ternyata belum ada kepastian apakah pesawatnya jadi terbang atau tidak sehingga nasibnya terkatung-katung, tidak lagi di Holel tetapi tidak tahu juga apakah pesawatnya terbang atau tidak. Oleh karena itu lain kali apabila ingin memilih pesawat usahakan memilih pesawat yang kredibel bukan yang taripnya ringan karena bisa saja tidak jadi terbang dengan “alasan yang ringan” juga.

Selesai urusan formalitas, didapat kabar bahwa rombongan lain sudah siap sedang menuju kediaman Duta Besar sehingga diputuskan tidak ke Hotel untuk mandi atau ganti pakaian, tetapi langsung bergabung peserta lain menghadiri sambutan Duta Besar Bapak Suhardjono Sastromihardjo yang siap menyambut sekitar 30 tamu peserta dari Indonesia dengan masakan tanah air yang menghibur selera yang selama satu atau dua hari ini diganggu sajian bermacam perusahaan penerbangan dengan makanan standar yang berbeda-beda sesuai selera perusahaannya.

IMG_9532.JPG

Sampai di kediaman resmi, rombongan disambut Dubes dan stafnya yang berpakaian resmi dengan senyum yang melegakan dan utamanya makanan siap saji yang menunggu sambutan dan arahan dari Ketua Delegasi Bapak Dr dr. Hasto Wardoyo serta Dubes yang memberikan peringatan agar hati-hati kalau bepergian sendiri di sekitar Nairobi.

IMG_9516.JPG

Setelah makan enak dan mendengar nasehat dari Dubes, Pak Haryono Suyono yang pernah memimpin Delegasi berjuang di Cairo dan menghasilkan Dokumen yang disepakati bersama oleh peserta dari hampir 200 Negara, mendapat kesempatan memberikan gambaran Konperensi yang akan dibuka esok harinya. Ditegaskan bahwa Konperensi di Nairobi ini adalah Seminar Dunia raksasa dan bukan sesuatu yang mengikat bagi setiap peserta atau setiap negara seperti Konperensi Cairo 1994, maka semua anggota di mohon memberi informasi sebanyak-banyaknya kepada rekan dari negara lain yang bertemu dan sekaligus mengundang mereka ke Indonesia guna melihat kemajuan program di tanah air. Di mohon di lakukan lobi atau diajak agar makin banyak anggota Negara lain bersedia bertukar pengalaman dengan kita di Indonesia.

Keesokan harinya benar-benar “Seminar Raksasa” itu dimulai dengan upacara yang dihadiri oleh Presiden Kenya, Presiden banyak Negara Afrika lainnya, Menteri dan utusan Menteri dari berbagai Negara dan konon lebih dari 6000 peserta yang sejak pagi berderet di muka ruangan yang ditutup khusus dengan rapi untuk keperluan Konperensi besar tersebut. Seperti digambarkan malam sebelumnya, Konperensi ini bukan pertemuan resmi sehingga setelah upacara pembukaan langsung ada panel penyajian dari tokoh ibu sepuh dari India di dampingi tokoh muda dari Filipina yang pengalamannya sesungguhnya kalah dengan pengalaman anak muda dari Indonesia atau kalah jauh dibanding seorang Camat dari Indonesia, hanya kemampuan bahasa Inggrisnya lancar berkat sejak balita bicara dengan sesamanya dalam bahasa Inggris.

IMG_9534.JPG

Setelah itu dilakukan sajian pertama dari para Presiden, Kepala Negara, Menteri atau pejabat atas nama Presiden atau Kepala Negaranya, termasuk Presiden Kenya, umumnya dari Afrika secara bergantian memberikan pidato Komitmen dari Negaranya yang pada umumnya tidak satu pun memberikan komentar langsung atas tiga “No” seperti yang diharapkan oleh UNFPA dan sponsor lainnya, tetapi seakan berkata kepada diri sendiri bahwa di tanah airnya dilakukan penggarapan yang intensif, utamanya melaksanakan dan memajukan dukungan komitmen di Cairo.

Banyak juga Presiden dan Kepala Negara dari Afrika atau pada hari kedua dari Negara lain, termasuk dari Indonesia, menyampaikan pernyataan Presidennya, termasuk dari Indonesia oleh Ketua Delegasi Dr. dr. Hasto Wardoyo yang memberikan gambaran tentang upaya penurunan kematian ibu, KB dan lainnya. Karena alasan regulasi dan lainnya, Ketua Delegasi Indonesia tidak memberi komentar tentang “tiga No” atau menyetujui Dokumen Nairobi. Tidak adanya komentar terhadap “tiga No” tersebut rupanya juga menjadi pendapat Delegasi lain. Upaya menurunkan tingkat kematian ibu hamil menjadi sorotan yang paling tinggi, perhatian terhadap reproduksi remaja perempuan dan wanita mendapat perhatian dan kekerasan terhadap perempuan juga disinggung dalam beberapa pidato yang tidak seseram dugaan banyak kalangan. Komentar terhadap “tiga No” yang diharapkan menjadi perhatian utama banyak delegasi tidak mendapat perhatian yang memuaskan. Di tempat lain konon para remaja menghadirkan debat yang lebih hebat dan bersemangat. Para Ibu, termasuk Ibu Alissa Wahid dan  Ibu Ermalena memberikan sumbangan kepada khalayak dari berbagai negara yang hadir.

IMG_9411.JPG

Sebagai selingan dari acara sidang yang cukup melelahkan, lebih-lebih karena Panitia sangat hemat tidak menyediakan air, teh, kopi atau makanan kecil atau hiburan lainnya, kecuali ada pameran di sana sini, termasuk pameran hasil studi banding utusan Kenya ke indonesia yang melihat dan belajar Program KB dan Gizi di Indonesia yang memamerkan Dacin dan sarung untuk menimbang bayi dalam program Gizi yang digelar oleh BKKBN bekerja sama dengan para dokter Puskesmas dan bidan di desa. Bagi anggota Delegasi Indonesia yang datang lebih awal sempat melihat Safari aneka hewan liar, kerbau, burung, singa, macan yang hidup bebas dan natural dalam habitat aslinya, bukan diatur seperti dalam Kebun Binatang, asli seperti apa adanya di hamparan luas di Padang Rumput dengan, kalau perlu, saling memakan kawan dalam lapangan yang luas.

Acara ikutan yang sangat menarik adalah keliling kota, termasuk menelusuri Kampung Lumuh, melihat Pasar terbuka di pinggir jalan yang ramai dengan pedagang yang buka gelaran terbuka menanti pembeli rakyat dari kampung-kampung kumuh penduduk Ibu kota yang sebagian di tata hidup dalam apartemen atau rumah susun yang konon relatif masih mahal. Yang menjadi salah satu kendalanya adalah “hidup di jalan” karena hampir di semua lini selalu terjadi kemacetan yang panjang. Konon jalan kaki lima belas menit identik dengan naik mobil selama satu jam atau lebih. Para penumpang pesawat terbang bukan harus sampai ke bandara satu jam sebelumnya, tetapi dianjurkan berangkat dari hotel empat atau lima jam lebih awal karena perjalanan lebih banyak “tidak bisa diramalkan” alias tidak bisa diperkirakan di mana dicegat dengan kemacetan karena arus pulang atau alasan pejabat lewat.  Salah satu alasannya adalah jumlah impor mobil bekas dari Jepang diberi ijin sehingga harga mobil bekas ini jauh lebih murah dan rakyat boleh pesan langsung. Sementara di Nairobi belum ada jalan layang seperti banyak di Jakarta atau kota lain di Indonesia.

IMG_9433.JPG

Pasar “Tiban” di Nairobi bukan hanya dalam satu jalur jalan saja tetapi melingkar sambung menyambung meliputi beberapa jalur jalan sehingga praktis di sepanjang jalur itu itu pada pasar tiban penduduk berjualan di halaman rumah atau sebagian rumah yang dirombak menjadi tempat berjualan seperti halnya di pinggir jalan yang lumrah di Jakarta jaman dulu atau di pinggir jalan di kota yang sedang tumbuh di Indonesia. Sedikit berbeda dengan jualan seperti itu di Jakarta tempo dulu, barang yang diperdagangkan bervariasi mulai dari makanan ringan, alat pertanian serta bahan kebutuhan pokok lainnya. Konon dijual juga keperluan bahan baku yang lebih penting lainnya.

Konon kebiasaan seperti itu di masa lalu sukar ditertibkan karena menyangkut pengusaha kecll dan menengah yang jumlahnya sangat banyak biarpun di ibu kota yang konon sedang berkembang. sehingga waktu ditinjau Mall di kota, ternyata Mall hanya penuh dengan aneka macam barang impor yang tidak banyak pembelinya. Kebiasaan belanja di Mall belum menjadi bagian dari budaya baru di Kenya. Belanja di pinggir jalan masih merupakan kebiasaan, upaya atau ciri baru dari penduduk dan keluarga yang masih menikmati hidup sederhana dan gotong royong yang akrab oleh rakyat bayak yang mirip di Indonesia. Dari pengamatan sementara kita mengambil kesimpulan bahwa hidup dan kehidupan di Indonesia jauh lebih bahgia dan sejahtera dibanding kehidupan di Nairobi, Kenya, yang sedang berkembang cepat. Semoga Saudara kita di Kenya segera makin bahagia dan sejahtera. Amin.

Haryono SuyonoComment