Traveler Tic Talk: ‘Ada-Ada Saja’ dalam Perjalanan (2)

 

(1)    Uang Baht versus Dolar Amerika Serikat

Bangkok suatu sore. Usai membeli keperluan rapat kerja dengan mitra Thailand di suatu Mall, saya naik  taksi kembali menuju hotel tempat saya menginap. Lalu lintas  sangat padat, seperti di  Jakarta. Saat sampai di halaman hotel, argo taksi menunjukan angka 40-an mendekati 50, artinya ongkos taksi kalau digenapkan menjadi 50 baht (saya lebihkan).  Saya bayar langsung dengan uang yang ada di dompet, saya pastikan ada angka 50.  Sayapun membayarkan sambil keluar dari taksi  dan berjalan menuju lobi hotel. Menjelang sampai lobi hotel saya baru menyadari  tadi  uang yang diberikan kemungkinan uang US Dollar 50, bukan 50 Thai  Baht. Saya cek di dompet benar saja. Angka  50 nya Baht mirip dengan 50 US Dollar, apalagi saya belum familiar benar dengan  uang Baht.

Waduh, rugi besar, saya pikir, berarti saya membayar lebih dari  enam kali lipat (kurs  waktu itu), pantesan sopir taksi sempat memandang saya seperti mau nanya tapi tidak jadi,  saat saya keluar dari mobil dan berjalan menuju hotel. Tapi kemudian dia kabur, menyadari dapat uang US Dollar yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan Baht.

Sopir taksi disamping banyak  yang jujur,  juga ada saja yang tidak jujur. Tapi juga ini karena keteledoran saya. Pelajaran.

 

(2)    Tiga Gadis Iran Minta Selfie

Mashhad Iran, usai semua pemakalah melakukan presentasi makalahnya masing-masing  pada  sebuah konferensi Internasional, maka acarapun ditutup. Usai penutupan oleh session chair dari panitia  konferensi, tepuk tangan sebagai tanda apresiasi peserta terdengar. Saya keluar ruangan bersama  para pemakalah lainnya dari berbagai negara. Melewati pintu keluar,  kemudian tiga dara Iran (saya kira mahasiswi Mashhad University of Medical Sciences), salah satu universitas penyelenggara konferensi, menghampiri, “Can we take a picture with you?” ujar salah satu diantaranya.  “Sure”, saya jawab dengan  senang.

Rencananya photo selfie, tapi kemudian salah satu dari mereka meminta seorang yang mereka kenal kebetulan sedang lewat  untuk mengambil photo. Saya berdiri di tengah,  diapit kiri kanan bersama ketiga mahasiswi tersebut.

Dua mahasiswi menggunakan kerudung ala  bu Sinta Abdurrahman Wahid, rambut depannya kelihatan, berpakaian modis, bersepatu hak tinggi. Yang satunya lagi memakai hijab warna hitam, dengan badan ditutup coat yang tebal, namun tidak dikancing, sehingga pakaiannya yang modis juga kelihatan. Wanita Iran cantik-cantik dan ramah, disamping itu sangat memperhatikan penampilan, terutama pakaian. Mungkin dulu pengaruh gaya busana  Amerika Juga. Iran memang sempat menjadi sekutu Amerika di  era  Shah Reza Pahlevi.  Kini sebaliknya menjadi musuh Amerika.

Usai diphoto  mereka  bilang, “Thank you”.

“By the way where are you  from?” Tanya salah satu dari mereka.

Saya jawab dari Indonesia.

“Oh, Indonesia!” Pekik mereka.

“Thank you.” Ujarnya lagi berbarengan, tersenyum dan kemudian mengulurkan tangan, bersalaman.

Saya kira mereka tadi menyimak saya dari Indonesia, rupanya mereka tidak tahu saya dari Indonesia.

 

(3)    Antri di Imigrasi Bandara Heathrow

Tiba di Bandara Heathrow, keluar dari pesawat Cathay Pacific, langsung menuju area pengecekan imigrasi. Para penumpang  membludak, antrian pun panjang, lama tidak bergerak, saya menghitung lebih dari satu jam, belum juga sampai ke meja petugas untuk pemeriksaan dan cap paspor. Beberapa penumpang sudah mulai mengeluh,  dan mempertanyakan lamanya antrian.

Para petugas imigrasi Inggris, yang rupanya banyak juga keturunan Afrika, India  dan Mesir sibuk mengatur barisan. Rupanya banyak  meja  petugas yang kosong. Lho, kenapa? Pantesan antriannya lama.  Ada selentingan kabar, di belakang saya seorang penumpang asal India yang bekerja di London, mengatakan ini hari libur,  banyak petugas yang tidak  masuk kerja. Kenapa tidak diantisipasi ya? Bukannya hari libur merupakan hari  tersibuk  di  Bandara? Bukannya ini  sama  saja dengan  tidak memprioritaskan hari-hari penting Bandara, karena  alasan hari libur? Wah.

Terus terang saya tidak tahu kebenarannya. Lewat satu jam setengah baru saya bisa berada di depan meja petugas imigrasi.

“Hallo!“ Sapa petugas. Kelihatannya orang Inggris asli. “Purpose of visit?” Tanyanya, sambil melihat lembar identitas dan visa saya yang tercetak di paspor. Tapi kemudian tangannya memegang cap dan menempelkan pada lembar visa di paspor saya.

Saya jawab tujuan saya ke  London, mewakili penerbit Perguruan Tinggi Indonesia, keperluan bisnis, ya sambil belajar dan wisata juga. “Oke. Thank you.”  Ia memberikan paspor saya dan mempersilahkan saya lanjut keluar.

 Ah,  akhirnya bisa keluar Bandara Heathrow. Andai apa yang dikatakan orang India itu benar, sangat disayangkan sebagai Bandara tersibuk di dunia, tidak  mengantisipasi jumlah pelancong yang membludak di hari libur, yang datang dari berbagai penjuru dunia.  Bos Amerika saya dulu selalu mengatakan, ”Anything, any problem  in the organization is management problem”.

Kesimpulannya dimanapun management problem dimungkinkan bisa terjadi. Di negara maju sekalipun. Tapi yang apa terjadi di Heathrow barusan persisnya  saya tidak tahu, karena tidak ada kesempatan bertanya lebih lanjut. Mungkin betul banyak petugas yang cuti.

 Aam Bastaman. Senior Editor Gemari.id. Penulis Buku Serial Traveler Tic Talk.

Photo: Istimewa

Travel 1.jpg
Aam BastamanComment