Refleksi: Mengapa Orang-Orang Baik Korupsi?
Menjenguk teman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, LP elit di Bandung. Suasana seperti tidak mencerminkan kawasan penjara. Saat saya datang usai Hari Raya Lebaran banyak keluarga dan kerabat penghuni LP datang menjenguk. Keluarga-keluarga yang datang layaknya rombongan para artis, berpenampilan baik, bersih, cakep-cakep. Bukan tipikal keluarga kriminal biasa. Maklum juga para penghuni di LP Sukamiskin adalah orang-orang terpandang di Republik ini. Ada mantan Menteri atau Wakil Menteri, Kepala Badan, Ketua Lembaga, pembesar Partai Politik, anggota DPR atau DPRD, orang dengan jabatan Guru besar, atau orang dengan sebutan Ustad, pimpinan daerah setingkat Gubernur, Walikota/Bupati atau kerabat dari deretan status terhormat yang telah saya tuliskan di atas.
Orang-orang yang biasa tampil di publik, biasa mengurusi masyarakat banyak, terpandang, kaya, intelektual, nampak baik-baik, dengan posisi penting di Republik ini.Tapi mengapa mereka ada di rumah tahanan (Rutan ini)? Kasus teman saya ini adalah gratifikasi, menerima pemberian dari pihak yang diduga memiliki kepentingan atas tender proyek-proyeknya, dalam kedudukannya sebagai pimpinan puncak sebuah lembaga penting di Tanah Air.
Ia biasa memberi ceramah kegamaan, bahkan kadang menjadi imam dan memberi khotbah. Teman masa kecil di kampung. Tidak ada cacat dalam perjalanan hidupnya, mahasiswa teladan di salah satu Perguruan Tinggi terkemuka di Tanah Air, penerima beasiswa Jerman, menjadi Guru Besar di usia muda. Selanjutnya menjadi pejabat, menjadi wakil Menteri dan kemudian kepala sebuah Badan penting di Tanah Air.
Banyak teman mengatakan ia korban dari sistem yang salah. Tapi ada juga yang bilang ia lagi apes. Namun banyak pula yang bilang salahnya sendiri, lagi khilaf. Angin di atas pohon yang tinggi lebih kencang, kata orang. Menggambarkan semakin besarnya ujian saat seseorang sedang di atas, berupa godaan atau cobaan. Kata orang bijak yang bisa bertahan hanyalah pohon dengan akar yang kuat. Fondasinya kokoh. Barangkali inilah yang disebut kekuatan karakter.
Saat didalam LP Saya bersalaman dengan salah seorang Ketua Partai Politik yang pernah menjadi Menteri yang mengurusi kerohanian umat, dikenalkan oleh teman saya. Di salah satu “gubuk” atau saung, yang banyak terlihat diluar bangunan utama penjara, tapi masih di dalam kompleks LP, tempat penghuni dan pengunjung mengobrol, terlihat penghuni seorang tokoh salah satu partai bergelar Ustad sedang menerima kerabatnya dengan santai. Tidak ada suasana tegang atau “angker”. Malah sempat saya diminta photo bersama oleh teman saya, berlatar belakang gambar gurun pasir dan onta. Kami pun dijempret. Hasilnya pun keluar tidak berapa lama.
Melihat suasana LP Sukamiskin dan bertemu dengan para penghuninya, kembali timbul pertanyaan mengapa orang-orang baik korupsi? Apa kepepet? Mengejar setoran? Atau rakus? Kemudian khilaf dan lupa diri. Banyak analisis mengatakan sistem yang tidak baik akan menyebabkan siapapun yang masuk ke dalam sistem tersebut terpengaruh. Sewaktu saya tanya ke teman seorang konsultan politik, ia mengatakan sistem politik kita memungkinkan orang-orang baik terjerumus. Mereka menjadi korban. Apalagi kalau mereka sangat menginginkan jabatan itu. Tapi memang ada juga yang rakus dan kriminal korupsi dari sononya, kata teman yang sekarang kelimpahan rejeki menjadi konsultan politik, dalam sistem politik yang dianggapnya salah.
Mengakhiri tulisan ini, saya terkesima sewaktu melihat sebuah bangunan baru dikompleks LP tersebut. Terdapat prasasti peresmian bangunan baru tersebut yang ditandatangani oleh Walikota dimana LP ini berada. Ironisnya Walikota yang menandatangi gedung itu kini menjadi penghuni didalamnya karena kasus korupsi juga. Ada-ada saja (aya-aya wae, kata orang Sunda).
Aam Bastaman, Penulis dan Pelancong. Menulis buku serial Traveler Tic Talk.