Manajemen: ‘Blue Economy’
Perkenalan pertama saya dengan konsep dan paradigma Blue Economy (ekonomi biru), berasal dari Prof. Haryono Suyono, saat awal perubahan status kelembangaan STEKPI (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia) menjadi Universitas Trilogi. Nama Universitas Trilogi diambil dari konsep pembangunan Pak Harto - Trilogi Pembangunan: Stabilitas, Pertumbuhan, Pemerataan. Namun gagasan para pendiri Trilogi sebagai universitas dengan melakukan adaptasi dan penyesuaian konsep Trilogi sesuai kebutuhan dan tantangan masa kini, mejadi – Keteknopreneuran, Kolaborasi dan Kemandirian. Ekonomi Biru menjadi salah satu inspirasi pembangunan Universitas Trilogi.
Kebetulan sewaktu menjabat Pjs. Rektor, kami mendapatkan kesempatan bekerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dalam menyelenggarakan konferensi internasional mengenai ekonomi biru. Suatu peluang yang luar bisa untuk menggali lebih dalam lagi konsep dan pendekatan pembangunan ini dari sang inisiator, Prof. Gunter Pauli. Prof Gunter Pauli, kemudian kami biasa memanggilnya Pak Gunter, atas bantuan Asian Productivity Organization (APO) bersedia menjadi nara sumber pada konferensi tersebut selama dua hari penuh.
Beruntung pula, kami dapat bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang memiliki komitmen yang sama untuk menumbuh kembangkan gagasan Ekonomi Biru di Tanah Air, seperti Yayasan Ekonomi Biru Indonesia, yang dinakhodai oleh Ibu Dewi Smaragdina, dan Pak Rossalis Adenan (Sekarang Dubes RI di Sudan) sebagai penasihat.
Dalam konferensi internasional tersebut, yang dihadiri ratusan perwakilan dari berbagai orgnisasi baik universitas, pemerintahan, dunia usaha maupun LSM, Pak Gunter memberikan inspirasi mengenai konsep pembangunan di Indonesia melalui pendekatan Ekonomi Biru (Dalam beberapa kesempatan disebut pula sebagai model bisnis). Meskipun bukunya: Blue Economy, 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs, telah terbit beberapa tahun yang lalu, namun mendengarkan dan turut aktif dalam interaksi serta dialog mengenai penerapan pendekatan pembangunan Ekonomi Biru menambah pemahaman makna yang makin mendalam tentang pentingnya pendekatan pembangunan ini di Tanah Air.
Ekonomi Biru seperti yang dituturkan Pak Gunter pada dasarnya mengedepankan pendekatan belajar dari bagaimana alam bekerja, untuk menjaga keberlangsungan ekosistem dari gerusan roda pembangunan yang cenderung eksploitatif, sehingga pada akhirnya menyengsarakan umat masnusia itu sendiri.
Dilain pihak konsumsi yang masif selain manusia cenderung menjadi rakus namun juga bersifat ‘menghabisi’ sumber daya alam, juga menyisakan kerusakan, sampah dan sisa buangan yang menjadi persoalan semakin berat. Akibatnya daya dukung alam untuk keberlangsungan kehidupan manusia menjadi berkurang. Salah satu dampak yang kita rasakan adalah pemanasan global, dan bencana alam akibat keseimbangan alam terganggu.
Ekonomi biru mencoba menyempurnakan konsep dan pendekatan ekonomi hijau yang bertujuan baik, yaitu menjaga kelestarian lingkungan melalui pengurangan emisi karbon; menjaga bumi tetap lestari dan mengurangi dampak yang diakibatkan pemakaian kimia berlebih, dengan penciptaan produk-produk yang ramah lingkungan. Sayangnya, seringkali ekonomi hijau berbiaya mahal dan cenderung ekslusif.
Salah satu permasalah yang dihadapi adalah bagaimana dengan perlakukan terhadap sampah (waste) yang semakin lama menjadi ancaman terhadap keberlangsungan ekosistem. Dengan ekonomi biru waste bisa dimungkinkan zero atau mendekati zero (zero waste), karena sampah bisa dimanfaatkan sebagai sumber produksi baru yang dapat menghasilkan produk baru dan memberikan nilai tambah.
Itu salah satu prinsip saja dari pendekatan ekonomi biru. Prinsip yang lainnya adalah, pelibatan masyarakat lokal (inklusif), pemanfaatan sumber daya lokal, diartikan bekerja dengan apa (sumber daya) yang kita punya, disamping hasil produksi yang bersifat multi hasil, dengan memanfaatkan produksi turunannya, tentu saja dengan campur tangan kreatifitas dan inovasi.
Ekonomi biru bukan hanya sebuah gerakan yang parsial, tapi memerlukan gerakan bersama berbasis lokalitas dan kearifan lokal. Oleh karena itu penciptaan lapangan kerja baru, seperti yang disampaikan pak Gunter sangat dimungkinkan.
Muatan kewirausahaan Ekonomi Biru juga sangat besar, karena bertumpu pada pendekatan pemberdayaan, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia lokal. Diharapkan dengan pendekatan dan paradigma ini dapat menjaga laut dan langit tetap biru. Tentu saja itu ungkapan, harapannya adalah terjaganya ekosistem lingkungan yang berkelanjutan (laut dan langit tetap biru), karena penerapan Ekonomi Biru bukan hanya untuk pemberdayaan sumber daya kelautan semata, tapi dapat diterapkan di hampir semua bidang kehidupan, baik sosial maupun bisnis.
Mari berpikir zero waste (nir limbah) dalam setiap aktifitas produksi dan konsumsi, dan mempraktekkannya dalam keseharian, tentu saja.
Aam Bastaman. Penulis. Pegiat Ekonomi Biru.