Tahapan Peradaban dan Bonus Demografi Indonesia, Peluang atau Bencana ?
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Sejarah peradaban manusia selalu bergerak. Setiap tahap lahir dari dinamika sosial, budaya, dan teknologi yang membentuk cara hidup masyarakat. Indonesia kini berdiri di persimpangan penting: memasuki era bonus demografi di tengah revolusi digital dan ketidakpastian global. Pertanyaan besarnya, apakah momentum ini akan menjadi berkah yang mendorong lompatan maju, atau justru bencana yang menggerus masa depan?
Tahap awal peradaban ditandai dengan masyarakat tradisional yang kehidupannya bersandar pada ajaran agama dan dogma. Apa yang digariskan teks suci dijalankan tanpa ruang kritis. Namun, dalam kesederhanaannya, masyarakat tradisional kaya kearifan lokal. Nilai budaya mengajarkan harmoni dengan alam, hidup secukupnya, dan menjunjung persaudaraan. Hidup berlangsung damai dan guyub, meski terbatas dalam kerangka pakem budaya.
Seiring waktu, lahir masyarakat membaca yang lebih antusias menggali pengetahuan. Bila tahap sebelumnya menekankan “mendengar dan melihat”, maka tahap ini ditandai dengan “membaca dan meneliti”. Komunikasi dan perdagangan berkembang, ilmu pengetahuan dipraktikkan, teknologi sederhana diciptakan. Namun bersamaan dengan itu, lahir kerakusan. Sumber daya dieksploitasi besar-besaran, kolonialisme dan perang merebak, serta lahir sistem ekonomi dunia yang kerap timpang. Lembaga internasional seperti PBB pun sering terkooptasi kepentingan negara besar, sehingga gagal menjalankan mandat mulia secara netral.
Memasuki era modern, revolusi digital melahirkan dunia tanpa batas. Hubungan manusia berlangsung lintas negara dalam hitungan detik, dan hampir semua sistem kehidupan terguncang oleh disrupsi. Pendidikan formal kehilangan pamor; ijazah tidak lagi menjamin masa depan, karena yang dibutuhkan adalah keterampilan praktis yang bisa diperoleh melalui platform digital. Artificial Intelligence (AI) mengguncang tata cara produksi, pemerintahan, bahkan kreativitas manusia. Peristiwa tak terduga atau black swan—seperti krisis 1997/98, pandemi Covid-19, hingga kerusuhan Agustus 2025 yang dipelopori Generasi Z—menjadi bagian keseharian global.
Berbagai teori dapat membantu membaca dinamika ini. Alvin Toffler menyebut sejarah peradaban sebagai tiga gelombang: agraria, industri, dan informasi. Indonesia kini berada di pusaran transisi antara gelombang kedua dan ketiga, belum tuntas dalam industrialisasi namun sudah diterpa digitalisasi. Nassim Nicholas Taleb mengingatkan pentingnya resiliensi menghadapi black swan. David Bloom menekankan bahwa bonus demografi hanya menjadi berkah bila pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja tersedia. Sementara Francis Fukuyama menegaskan pentingnya institusi yang kuat dan kepercayaan sosial sebagai pilar peradaban modern.
Di sinilah konteks Indonesia menjadi krusial. Menurut proyeksi BPS 2025, jumlah penduduk Indonesia mencapai 281 juta jiwa, dengan sekitar 70% berada pada usia produktif (15–64 tahun). Itu berarti hampir 190 juta penduduk siap bekerja. Bahkan kelompok usia muda 15–34 tahun—Generasi Z dan milenial—mencapai lebih dari 90 juta jiwa. Puncak bonus demografi diperkirakan berlangsung hingga 2035–2045. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Namun jika gagal, ancamannya adalah pengangguran massal, kesenjangan sosial, dan instabilitas politik.
Sejarah dunia memberi pelajaran. Jepang dan Korea Selatan berhasil memanfaatkan bonus demografi melalui pendidikan berkualitas dan industrialisasi yang inklusif, sehingga mampu meloncat menjadi negara maju. Sebaliknya, banyak negara di Afrika gagal mengelola bonus demografi sehingga terjebak dalam konflik, kemiskinan, dan instabilitas. Indonesia harus memilih jalannya.
Apa yang perlu dilakukan? Pertama, reformasi pendidikan menjadi agenda mendesak. Orientasi harus bergeser dari sekadar ijazah menuju keterampilan abad 21: berpikir kritis, literasi digital, kewirausahaan, serta keahlian teknis melalui pendidikan vokasi. Kedua, penguatan ekonomi kreatif dan UMKM. Generasi muda harus diarahkan ke sektor digital, startup, pertanian cerdas, dan industri kreatif agar mampu bersaing global. Ketiga, investasi besar dalam riset dan inovasi. Indonesia tak boleh hanya jadi pasar, tapi harus menjadi produsen teknologi dengan pendekatan green economy dan circular economy. Keempat, institusi politik dan negara harus adaptif. Partai politik perlu memberi ruang bagi generasi muda digital native, sementara pemerintah harus membangun platform digital transparan untuk partisipasi rakyat. Kelima, pembangunan sosial dan kesehatan tidak boleh diabaikan. Pencegahan stunting, layanan kesehatan reproduksi, dan jaminan sosial inklusif adalah fondasi kualitas SDM. Keenam, Indonesia perlu membangun resiliensi nasional menghadapi black swan dengan menyiapkan cadangan pangan, energi, dan keamanan digital.
Indonesia sedang berada di titik krusial sejarah. Bonus demografi adalah peluang emas yang hanya datang sekali, tetapi juga bisa menjadi bencana bila disia-siakan. Peradaban baru yang ditopang teknologi menuntut keberanian besar untuk meninggalkan sistem lama yang kaku dan membangun tata kehidupan baru yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Pertaruhan abad ini bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga masa depan peradaban bangsa. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan
 
          
        
      