Rekonsiliasi : Menyatukan Pemikiran di Era Prabowo Menuju Kejayaan Indonesia
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Delapan puluh tahun merdeka, bangsa Indonesia memang terbebas dari penjajahan fisik. Namun, apakah kita sungguh telah menikmati arti kemerdekaan? Jawabannya: belum. Kekayaan alam yang seharusnya dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat justru dikuasai segelintir orang. Sistem ekonomi berjalan bukan dengan asas kekeluargaan sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945, melainkan dengan wajah individualistik dan superliberal. Akibatnya, kemiskinan bukannya berkurang tetapi justru melebar. Kesenjangan kaya-miskin tampak kasat mata, meski sering disamarkan oleh angka statistik yang menyesatkan.
Indonesia bercita-cita menuju Indonesia Emas 2045, dengan target antara lain, pendapatan per kapita 22–30 ribu dolar AS, kemiskinan hampir nol, dan indeks pembangunan manusia setara negara maju. Namun, pendapatan per kapita kita saat ini baru sekitar 4.900 dolar AS. Bonus demografi yang sedang berlangsung bisa menjadi peluang emas, namun juga bisa berbalik menjadi bencana bila tidak tersedia lapangan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi tidak menembus 8% atau bahkan dua digit, kita akan menghadapi beban aging population dengan konsekuensi sosial yang sangat berat.
Ambiguitas di Era Prabowo
Dalam konteks ini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membawa harapan sekaligus tanda tanya. Visi besar Asta Cita—delapan tujuan strategis pembangunan—tampak sangat menjanjikan, meski "ambisius". Dalam banyak pidato, Presiden menegaskan tekad membangun kemandirian pangan, memperkuat pertahanan, meningkatkan kualitas pendidikan, hingga mengangkat derajat rakyat miskin. Narasi itu sejalan dengan cita-cita Indonesia Emas.
Namun di sisi lain, langkah-langkah politik dan kebijakan yang diambil kerap menimbulkan ambiguitas. Ada kesan bahwa antara ucapan dan tindakan tidak selalu konsisten. Misalnya, komitmen memperkuat demokrasi justru berjalan bersama kebijakan yang mempersempit ruang partisipasi publik. Narasi tentang kemandirian ekonomi kadang berjalan beriringan dengan kompromi pada kepentingan konglomerasi. Juga soal pemberantasan korupsi. Mungkin masyarakat belum paham apa yang ada di back mind Prabowo, sikapnya terkesan dan dilihat seperti bertolak belakang dan membuat rakyat bingung, bahkan menimbulkan keraguan apakah Asta Cita dapat sungguh menjadi kompas pembangunan bangsa.
Ambiguitas ini hanya bisa diatasi bila pemerintah dan elite melakukan "Rekonsiliasi Pemikiran" : menyatukan visi, mengharmoniskan kata dengan tindakan, serta menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Semua elites berpikir yang sama bahwa negeri punya masalah besar dan semua bertekad menjadikan itu.musuh bersama dan sepakat membuat solusi bersama mendahulukan yang itu sebagai top priority.
Rekonsiliasi Pemikiran: Fondasi Persatuan
Rekonsiliasi bangsa yang kita butuhkan bukan sekadar penghentian konflik antar-kelompok. Rekonsiliasi sejati adalah rekonsiliasi pemikiran—kesediaan untuk mengakui musuh bersama bangsa ini adalah perpecahan, ketidakadilan, dan ketertinggalan.
John Paul Lederach menyebut rekonsiliasi sebagai penciptaan shared future, masa depan bersama yang disepakati semua pihak. Habermas menekankan perlunya komunikasi deliberatif—ruang dialog jujur antara elite dan rakyat—agar politik tidak terjebak menjadi kebisingan kekuasaan. Benedict Anderson mengingatkan, bangsa hanyalah mungkin bertahan jika warganya punya narasi kolektif yang sama. Tanpa narasi itu, persatuan tinggal “unity of space”, bukan “unity of purpose”.
Lebih jauh, teori kontrak sosial dari Rousseau, Locke, hingga Hobbes menegaskan bahwa sebuah negara hanya sah bila ada kesepakatan bahwa kekuasaan digunakan demi kepentingan rakyat. Bila elite menyalahgunakan mandat itu, kontrak sosial rapuh, legitimasi hancur, dan bangsa pun terancam bubar.
Pelajaran Sejarah
Sejarah dunia penuh contoh kehancuran bangsa karena elit gagal melakukan rekonsiliasi pemikiran: Romawi Kuno runtuh bukan semata karena serangan Barbar, tetapi karena elite sibuk memperkaya diri dan kehilangan visi bersama. Yugoslavia pecah pada 1990-an karena elite lebih memilih memainkan politik identitas ketimbang rekonsiliasi antar-etnis. Uni Soviet bubar pada 1991 akibat pertarungan ideologi internal yang tidak terselesaikan, hingga kontrak sosial sosialisme runtuh. Di Nusantara, Sriwijaya dan Majapahit melemah lalu runtuh karena perebutan kekuasaan internal, bukan semata serangan luar. Semua itu mengajarkan, tanpa rekonsiliasi pemikiran elite, sebuah bangsa atau imperium sebesar apa pun bisa hancur.
Jalan ke Depan
Indonesia kini berada di persimpangan. Kita punya visi besar (Asta Cita), bonus demografi, dan momentum menuju Indonesia Emas 2045. Tetapi semua itu bisa menjadi ilusi jika ambiguitas kepemimpinan tidak segera dijawab dengan rekonsiliasi pemikiran. Rekonsiliasi ini berarti menyatukan ucapan dan tindakan, menghubungkan elite dengan rakyat, dan mengikat semua komponen bangsa dalam tekad yang sama: menghapus kemiskinan, memperkecil kesenjangan, memperkuat kedaulatan, dan menjaga martabat bangsa.
Hanya dengan rekonsiliasi pemikiran, Indonesia dapat melangkah dari persatuan semu menuju persatuan sejati—dari unity of space menuju unity of purpose.
Dan hanya dengan itulah kita dapat mewujudkan cita-cita leluhur seperti yang dimuat dalam tembang macapat Dhandanggula: "Nuswantara panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja, tinandur tuwuh tinemu luwih, segara gunung paring berkah, sandhang pangan murah, rahayu raharjaning praja, ngupaya mulyaning bangsa, iku wus dadi sesanti leluhur, tumekaning anak putu". Negeri Nusantara luas dengan gunung dan lautnya, subur makmur, rakyatnya tentrem sejahtera, apa yang ditanam tumbuh berlipat, kebutuhan hidup tercukupi, negara diberkahi, dan semua itu adalah sesanri leluhur yang diwariskan bagi anak cucu. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan