Ketika Pejuang KB di Persimpangan Jalan
H Nursyaf Arief, SE, MPA
GEMARI.ID-PEKANBARU. Pejuang KB sudah sukses menjalankan dan melewati the First Demographic Transition, yaitu dengan penurunan angka kelahiran dan kematian selama 50 tahun terakhir, terlihat dari penurunan TFR = 5,76 tahun 1971 menjadi 2,34 tahun 2020 dengan rata2 penurunan 1,4 pertahun selama pemerintahan orde baru, yang kemudian dilanjutkan di era reformasi hingga mencapai TFR= 2,1 tahun 2025 dengan rata2 penurunan sebesar 0,01 pertahun selama 25 tahun terakhir.
Capain tersebut dihitungkan jumlah kelahiran yg dapat dicegah (birth averted) sebanyak 100 juta kelahiran hingga tahun 2000 setelah dibandingkan dengan hasil proyeksi penduduk. Capain tsb juga krn semakin meningkatnya kesadaran dan partisipasi penduduk ber KB, meningkatnya status perempuan di bidang pendidikan dan pekerjaan. Terakhir selalu disebut2 istilah istilah "bonus demografi" atas keberhasilan program KB akibat semakin menurunnya "dependency ratio" yang berlangsung pada periode 2020-2035.
Saat ini tahun 2025 dengan TFR 2,1 NRR=1 dgn pertumbuhan penduduk sekitar 1% pertahun, maka misi pejuang KB "2 anak cukup" sepertinya telah terealisir tercermin dari struktur penduduk yg stabil.
Sampai dititik ini, muncul pertanyaan bagi pejuang KB yg dikelola oleh lembaga Bkkbn/Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, apakah program pengendalian penduduk akan berlanjut mengikuti "the Second Demographic Transition" yaitu proses penurunan kelahiran dengan TFR<2,1 NRR<1 yang disebut dengan istilah "Baby bust"?.
Sepertinya akan demikian, tergambar dari gerakan pelayanan "sejuta akseptor KB" dan penurunan angka "unmetneed" oleh Bkkbn.
Namun, fenomena yang terjadi di beberapa negara maju saat ini adalah munculnya gelombang menurunkan kelahiran melalui praktik "resesi sex" misalnya para suami isteri mengurangi frekuensi hubungan intim, wanita sengaja menunda perkawinan, meningķatkan usia nikah, tidak mau hamil dan tidak mau memilki anak (childfree) d bahkan tidak mau nikah (yang memunculkan praktik kumpul kebo) demi mengejar karir, serta akibat ketidak pastian pekerjaan dan situasi ekonomi yg belum stabil yg membuat mereka cemas karena ruwetnya membangun keluarga yg secara ekstrim memunculkan istilah "family is dying".
Pertumbuhan ekonomi yg lesu menjadi momok yang menakutkan bagi generasi Z hasil bonus demografi apalagi dengan keterbatasan kualitas dan skill yang dimiliki oleh generasi Z plus kurangnya investasi, sehingga membust terbatasnya lapangan pekerjaan yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran plus maraknya PHK. Kondisi ini telah menyurutkan keinginan untuk membangun keluarga apalagi memiliki anak karena terbatasnya kemampuan keuangan generasi Z.
Perlu diingatkan kepada pengelola program KB dan kependudukanb di Indonesia, bahwa berlanjutnya proses penurunan angka kelahiran akan membawa dampak yg serius dalam berbagai aspek.
Tantangan pertama nanti yg dihadapi adalah meningkatnya proporsi lanjut usia yg membutuhkan biaya pemeliharaan kesehatan, akan mengecilnya kelompok usia produktif (squeeze demoghraphy) krn rendahnya kelahiran, kekurangan siswa dan kekosongan lokal di sekolah2.
Makanya di negara2 spt China dan Jepang saat ini sudah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif kepada penduduknya untuk mau nikah dan punya anak. Bagi negara spt Amerika misalnya membuka pintu migrasi masuk untuk kebutuhan kekurangan penduduk akibat menurunnya angka kelahiran.
Dari informasi terakhir (Harian Republika, 3-7-2025) menulis bhw 20% penduduk Indonesia masih ingin anak, 70% ingin anak 2 atau lebih, 17% ingin punya anak sedikit, 20% penduduk usia dibawah 50 tahun tidak mencapai jumlah anak yg diinginkan, 40% penduduk diatas 50 tahun tidak memiliki jumlah anak yg diinginkan. Kondisi ini akibat kesulitan keuangan, ketidak pastian pekerjaan dan kekuatiran situasi ekonomi dan politik.
Proporsi keluarga yang memilki anak sedikit di Indonesia sebesar 40%, yang memilki anak lebih banyak sebesar 8%, hanya 38% keluarga memiliki anak yg ideal.
Selanjutnya dari informasi lain menyebutkan bahwa Para penulis tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk spt Adler, Wan Peterson dan Farka menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan membutuhkan pertumbuhan penduduk yang akan melahirkan orang2 dengan ide2 cerdas, inovatif dan kreatif. Pertumbuhan penduduk yg negatif dapat mempengaruhi rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Dengan kondisi diatas, pengelola kependudukan dan KB di Indonesia sebaiknya melakukan reevaluasi, analisis tentang isu kontemporer kependudukan diatas untuk menyusun langkah-langkah baru misalnya apakah akan atau tidak melanjutkan proses penurunan kelahiran, sambil membangun keluarga berkualitas antara lain melalui program ketahanan keluarga, membangkitkan kembali gairah penduduk untuk mau membangun keluarga dan memiliki anak yg ideal. Kondisi ini tentu juga didukung oleh kebijakan pemerintah agar memperbaiki situasi ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan kepastian pekerjaan (misalnya menghapus outsourcing) dan menetapkan upah kerja yang layak. Penulis adalah Ketua Fapsedu Provinsi Riau