Abolisi, Amnesti, dan Kebenaran yang Tersingkir: Prabowo di Persimpangan Sejarah
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Akhir akhir ini publik mulai menaruh perhatian pada arah pemerintahan baru. Di balik wacana program makan bergizi gratis, ketahanan pangan, dan pertahanan kuat, ada desakan lain yang semakin menggema: pembersihan sistem kekuasaan dari kebusukan hukum, birokrasi rente, dan pembungkaman tokoh-tokoh kritis. Kita perlu mengapresiasi langkah awal Presiden Prabowo yang menciptakan kejutan dan harapan baru bagi banyak pihak. Ia tidak hanya menyatukan elemen pendukungnya, tetapi juga berhasil mengembalikan optimisme dari mereka yang sebelumnya ragu, kecewa, atau bahkan apatis terhadap proses demokrasi.
Dengan keberaniannya mempertimbangkan Abolisi terhadap sistem hukum yang bias dan Amnesti bagi tokoh-tokoh yang diduga dikriminalisasi karena perbedaan pandangan politik, Prabowo menunjukkan bahwa ia ingin menyatukan kembali bangsa yang terbelah. Keputusan ini telah menjadi titik balik: dari kebingungan menjadi keyakinan, dari keraguan menjadi kepercayaan, dari kekecewaan menjadi harapan yang menyala kembali.
Di sinilah konsep abolisi dan amnesti menjadi bukan hanya alat hukum, tetapi simbol moral, arah kepemimpinan, dan bukti keberanian negara membela keadilan. Dua nama yang mencuat dalam pusaran ini adalah Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristiyanto. Keduanya, meski dari jalur berbeda, menjadi cermin tentang bagaimana kekuasaan memperlakukan suara-suara yang tak lagi sejalan.
Abolisi dan Amnesti: bersihkan negara bukan sekedar ampuni.
Dalam tradisi hukum Indonesia, abolisi adalah hak presiden untuk menghentikan proses hukum pidana terhadap seseorang, biasanya atas pertimbangan kemanusiaan dan stabilitas nasional. Namun dalam konteks politik dan keadilan sosial, makna abolisi kini telah berkembang: Abolisi bukan hanya tentang menghentikan tuntutan hukum, tapi tentang menghentikan sistem hukum yang sudah kehilangan keadilan. Rakyat tak lagi cukup dengan jargon reformasi hukum. Mereka menuntut tindakan yang nyata: membongkar sistem yang membiarkan korupsi merajalela tapi cepat menangkap lawan politik.
Abolisi dalam konteks ini berarti:
Menghentikan kriminalisasi tokoh-tokoh yang kritis
Membersihkan praktik hukum yang dibajak kepentingan politik
Menghapus sistem promosi pejabat berbasis loyalitas dan rente.
Negara yang sehat tidak akan memusuhi suara rasional. Justru akan mengundang kembali mereka yang berani berbeda demi kebaikan bersama. Di sisi lain, publik menyaksikan bagaimana Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, menghadapi proses hukum yang tampak luar biasa cepat. banyak yang mencium aroma bias politik dalam prosesnya.
Bagaimana tidak? Dalam waktu hampir bersamaan: Kasus mega korupsi timah triliunan rupiah masih berjalan lambat. Berbagai korupsi di BUMN dan proyek strategis belum menyentuh tokoh besar. Penegakan hukum atas pelanggaran masa kampanye minim terpublikasi. Di sinilah wacana amnesti layak dikaji, amnesti bukan berarti membebaskan pelaku kejahatan, tetapi memperbaiki proses hukum yang melanggar prinsip keadilan, memberi sinyal bahwa negara tidak boleh membiarkan pembungkaman politik melalui hokum, menegaskan bahwa perbedaan politik bukan alasan untuk dikriminalkan. Jika kita tempatkan Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto dalam satu kanvas besar, kita melihat dua jalur yang berbeda tetapi sama-sama memperlihatkan ‘rusak’nya sistem:
Yang satu disingkirkan karena idealisme dan profesionalisme. Yang lain dihantam hukum karena berbeda secara politik. Keduanya menunjukkan bahwa negara ini sedang mengalami erosi etika kekuasaan.
Abolisi dan amnesti seharusnya bukan sekadar alat presiden — tetapi simbol pemulihan moral dan keberanian politik. Presiden telah tampil kembali memberi sinyal, berkeinginan: menghapus sistem hukum yang dijalankan secara bias, membebaskan suara rakyat yang dikriminalisasi, memanggil kembali tokoh-tokoh bangsa yang jujur tapi tersingkir. Kini bola ada di tangan Presiden Prabowo. Ia memiliki legitimasi kuat dari rakyat. Tapi legitmasi hanya akan berarti jika digunakan untuk meluruskan perjalanan bangsa — bukan ‘terkesan melanggengkan’ praktik lama, tapi sebagai korektor sejarah. Untuk itu harus kita dorong dan dukung penuh agar:
Ia berani mendeklarasikan “clean-up the country” dan mengembalikan martabat pemerintahan dengan melibatkan tokoh-tokoh profesional, kritis, dan berdedikasi.Kepemimpinan tidak diuji saat meraih kekuasaan. Ia diuji saat dihadapkan pada pilihan untuk mempertahankan status quo atau melakukan pembebasan moral bangsa.
Rakyat butuh pembebas
Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Kita tidak kekurangan program dan rencana. Tapi negeri ini sedang mengalami krisis moral termasuk dalam kekuasaan yang berani membersihkan yang salah, walau itu berada di dekat kekuasaan. Prabowo telah tampil kembali namun berdiri sendiri dengan tekad dan idealismenya yang tidak diragukan. Abolisi dan amnesti bukan hanya soal hukum, tapi soal kemanusiaan, soal kebenaran, dan soal warisan budaya dan peradaban serta persatuan.
Tapi hanya dengan keberanian moral seperti ini, dan dengan dukungan orang orang berintegrity Presiden akan mampu membebaskan bangsa dari kungkungan kerusakan. Bila rakyat merasa bahwa pemimpinnya bukan hanya kuat secara militer dan ekonomi, tapi juga kuat secara moral, maka lahirlah kembali kepercayaan dan harapan kolektif bangsa. Abolisi dan amnesti, jika ditopang oleh niat tulus dan langkah nyata, bukan hanya menjadi instrumen hukum, tapi menjadi jembatan bangsa menuju rekonsiliasi, keadilan, dan kemajuan sejati. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan