Menyoroti Arah Pembangunan Bangsa

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Pidato Kenegaraan  Presiden Prabowo Subianto  di  Sidang Tahunan MPR RI  dan Sidang Bersama  DPR RI dan DPD RI tanggal 15 Agustud 2025 dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 80 dengan sangat jelas dan tegas memantapkan tekadnya untuk membangun bangsa ini memakai Rancang Bangun UUD 45 khususnya pasal 33.  Dengan demikian maka arah kebijakan pembangunan ekonomi  adalah untuk rakyat.

Sejak era reformasi, Indonesia mencatat sejumlah kemajuan dalam demokrasi dan ekonomi. Namun, di balik itu tersimpan tantangan besar: kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar, demokrasi yang terjebak pada politik transaksional, dan arah pembangunan yang kerap tunduk pada logika pasar bebas serta kepentingan modal besar. Pembangunan sering menjadi proyek elite, jauh dari aspirasi rakyat. Padahal, Bung Karno pernah menegaskan bahwa pembangunan harus berakar pada kekuatan rakyat, bukan pada kekuatan modal semata. Inilah esensi gagasan development by the people, for the people—pembangunan oleh rakyat, untuk rakyat.

Pembangunan oleh rakyat dan untuk rakyat .

Pendekatan development by the people menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek. Teori participatory development (Robert Chambers, 1997) menegaskan keberhasilan pembangunan jika masyarakat terlibat sejak perencanaan hingga evaluasi. Model ini sejalan dengan people-centered development yang menempatkan kebutuhan, aspirasi, dan potensi rakyat di pusat kebijakan.

Negara seperti Finlandia dan Korea Selatan membuktikan bahwa investasi pada kualitas manusia (pendidikan, kesehatan, keterampilan) adalah pondasi kemajuan.

Ekonomi Kerakyatan vs Ekonomi Pasar Bebas

Ekonomi pasar bebas menjanjikan pertumbuhan, tetapi di negara berkembang sering memperkuat ketergantungan pada modal asing, mematikan usaha kecil, dan memperbesar ketimpangan. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, mengingatkan bahwa unfettered free markets justru merugikan negara berkembang jika tanpa regulasi pro-rakyat.

Sebaliknya, ekonomi kerakyatan—sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945—mengutamakan penguasaan cabang produksi penting oleh negara demi kemakmuran rakyat. Fokusnya pada koperasi, UMKM, pertanian rakyat, dan industri berbasis sumber daya lokal. Jepang pasca-Perang Dunia II menjadi contoh: melindungi industri domestik, memberdayakan petani, lalu membuka pasar secara bertahap.

Demokrasi Substansial dan Musyawarah Mufakat

Demokrasi kita kini cenderung prosedural, mengandalkan pemilu sebagai tolok ukur utama. Robert A. Dahl membedakan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substantif—yang memastikan hasilnya mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan kualitas kepemimpinan.

Musyawarah mufakat, yang menjadi ciri demokrasi Indonesia, menghindari polarisasi ekstrem. Pemimpin yang lahir dari tradisi ini mengandalkan integritas dan kapasitas, bukan hanya popularitas atau modal besar.

Peran Pemerintah Yang Pro Rakyat

Pemerintah pro-rakyat mengutamakan kepentingan mayoritas, rakyat. Prinsipnya:

  1. Kebijakan fiskal pro-UMKM – insentif pajak, kredit murah, perlindungan pasar domestik.

  2. Pembentukan 80 ribu  koperasi merah putih sebagai kekuatan ekonomi kerakyatan

  3. Reformasi politik anti-politik uang – pembiayaan partai transparan, seleksi kader berbasis integritas.

  4. Penguatan desa – dana desa produktif dan partisipatif.

  5. Proteksi sumber daya strategis – energi, pangan, dan air untuk rakyat.

  6. Pengelolaan sumber daya alam  dan asset negara sebesar besarnya untuk kepentigan rakyat dengan penataan tatakelolanya.

Teori welfare state (Titmuss, 1974) mengajarkan bahwa negara wajib memastikan kesejahteraan warganya, bukan sekadar menjadi wasit di pasar bebas.

Pelajaran Dari   Sejarah

  • Orde Lama (1945–1965)

    • Keberhasilan: Mobilisasi rakyat, penguatan industri awal, semangat persatuan.

    • Kegagalan: Inflasi tinggi, manajemen ekonomi lemah.

  • Orde Baru (1966–1998)

    • Keberhasilan: Swasembada pangan, infrastruktur, pertumbuhan ekonomi tinggi.

    • Kegagalan: Ketimpangan sosial, ketergantungan pada utang luar negeri, otoritarianisme.

  • Era Reformasi (1998–sekarang)

    • Keberhasilan: Kebebasan pers, partisipasi politik, dana desa.

    • Kegagalan: Politik uang, fragmentasi politik, ketergantungan pada modal asing.

Pembangunan oleh rakyat, untuk rakyat adalah jalan mengembalikan kedaulatan bangsa. Ekonomi kerakyatan menjadi pondasi, demokrasi substansial menjadi mekanisme politik, dan pemerintah pro-rakyat menjadi pengarah kebijakan. Sejarah membuktikan, negara kuat adalah negara yang rakyatnya berdaya dan merasa memiliki negaranya. Kini saatnya menegakkan amanat kemerdekaan: berdaulat di politik, berdikari di ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment