80 Tahun Merdeka Pertiwi Masih Menangis
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Tepat delapan dekade sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia masih menghadapi kenyataan getir: makna sejati kemerdekaan belum benar-benar dirasakan seluruh rakyat. Para pendiri bangsa sudah mengantar kita ke pintu gerbang kemerdekaan. Namun, 80 tahun berlalu, kita belum mampu membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan sosial.
Kita melihat Kemiskinan dalam Angka dan Fakta, bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024 mencatat jumlah penduduk miskin 27,5 juta orang. Namun, definisi garis kemiskinan versi BPS masih terlalu rendah: sekitar Rp20 ribu per hari per orang. Bandingkan dengan standar Bank Dunia untuk negara berpenghasilan menengah atas, yaitu $8,3 per hari (sekitar Rp135 ribu per hari). Jika standar ini yang digunakan, maka jumlah penduduk miskin bisa mencapai lebih dari 190 juta jiwa. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: benarkah kita telah merdeka dari kemiskinan? Atau hanya merdeka di atas kertas statistik?
Ekonom senior Faisal Basri pernah menyindir, “Rakyat miskin bukan diangkat dari kemiskinan, tapi garis kemiskinan yang diturunkan agar angka terlihat baik.”
Ketimpangan dan Oligarki
Pendapatan per kapita Indonesia saat ini sekitar $4.960 (Rp78,6 juta per tahun). Namun ini hanya angka rata-rata. Kenyataannya, kekayaan 1% orang terkaya menguasai lebih dari 50% total kekayaan nasional, menurut laporan Oxfam Indonesia.
Oligarki ekonomi masih mencengkeram sektor-sektor strategis: pertambangan, sawit, energi, bahkan media. Sementara itu, jutaan rakyat masih hidup tanpa akses pendidikan berkualitas, gizi memadai, dan layanan kesehatan yang layak.
Warisan Masalah, Beban Pemerintahan Baru
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mewarisi segudang persoalan struktural: utang negara yang hampir menyentuh Rp10.000 triliun, korupsi masif di berbagai sektor (kasus PT Timah, LNG, Pertamina, Duta Palma, BLBI, PT TPPI, PT Àsabri,Jiwasraya, Dawiit CPO dan lahan illegal dll) ketimpangan pembangunan, hingga proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang membebani fiskal.
Di tengah tantangan itu, Presiden Prabowo menetapkan target ambisius:
Kemiskinan turun hingga separuh pada 2029 menjadi sekitar 4.5-5%
Stunting 14.2%
Pertumbuhan ekonomi 8%
Income per kapita $8.000
Apakah mungkin tercapai? Bisa, jika dua syarat mutlak dipenuhi: korupsi diberantas total dan reformasi birokrasi dilakukan secara serius, tata kelola lahan sawit dan sumber daya alam serta asset negara
Program Prioritas: Harapan Baru
Prabowo membawa sejumlah program unggulan: makan bergizi gratis bagi 82 juta anak, balita, dan ibu hamil, pembangunan 80 ribu koperasi Merah Putih, dan penciptaan Sovereign Wealth Fund “Danantara” untuk memperkuat investasi strategis negara.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah langkah dan tekad Prabowo untuk merampas kembali jutaan hektare lahan sawit ilegal dari para konglomerat yang merambah hutan tanpa izin. Ini bukan perkara kecil—KPK mencatat lebih dari 3 juta hektare sawit ilegal, sementara LSM lingkungan menyebut angkanya bisa mencapai 20 juta hektare.
Saatnya Jujur: Pertiwi Sedang Menangis
Refleksi 80 tahun kemerdekaan ini tidak boleh berhenti pada upacara dan simbol. Harus ada kejujuran kolektif bahwa negeri ini belum benar-benar merdeka. Belum merdeka dari kemiskjnan, kelaparan, kebodohan, korupsi, dan ketidakadilan.
“Kemerdekaan hanyalah jembatan emas,” kata Bung Karno. Tapi kita belum menyeberanginya. Kita masih tertinggal di sisi yang penuh duka, ketika anak-anak stunting mengantri bantuan gizi, petani kehilangan lahannya, dan buruh kehilangan pekerjaannya. Ini bukan era pertiwi tersenyum, ini era pertiwi menangis dan tangisan itu adalah panggilan untuk bertindak. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan