Pendidikan Indonesia: Antara Komodifikasi dan Kehilangan Tujuan Mendasar

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Masih dalam suasana memperigati Hari Pendidikan Nasional beberapa hasil perenungan melihat persoalan   selama ini, nampaknya  pendidikan di Indonesia semakin kehilangan arah. Di saat negara-negara lain berlari menyederhanakan sistem pendidikan agar lebih manusiawi dan adaptif terhadap kebutuhan abad 21, Indonesia justru sibuk berkutat pada masalah kurikulum yang substansinya tidak menyentuh akar masalah.

1. Kurikulum Terlalu Padat, Hilang Arah
Kurikulum di pendidikan dasar dan menengah sudah seharusnya dikurangi setidaknya 50%. Anak didik kita terlalu dijejali muatan pelajaran yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka maupun konteks zamannya. Padahal, dunia pendidikan modern mengarah pada personalized learning, di mana anak dibimbing menemukan bakat dan passion-nya sejak dini.
Finlandia, misalnya, hanya memberi beberapa mata pelajaran inti, sisanya adalah proyek lintas disiplin yang merangsang kreativitas dan minat belajar. Indonesia perlu meniru semangat ini.

2. Hilangkan Ujian Akhir, Fokus pada Proses Belajar
Ujian nasional sudah dihapus, tetapi budaya mengukur kecerdasan melalui tes masih dominan. Padahal, hakikat pendidikan bukanlah hasil tes, melainkan proses belajar harian yang bermakna. Pembelajaran semestinya menjadi tanggung jawab bersama antara murid, guru, orang tua, dan sekolah sebagai komunitas belajar. Evaluasi harus berbasis portofolio, proyek, dan pengamatan menyeluruh.

3. Reformasi Sistem Sekolah: Full Day School, Free Lunch, dan Psikolog Sekolah
Sekolah harus menjadi tempat tumbuh kembang anak secara utuh: intelektual, emosional, sosial. Maka, sistem full day school yang dilengkapi makan siang gratis sangat diperlukan, tidak hanya untuk menyehatkan fisik tetapi juga untuk menciptakan kesetaraan gizi dan daya tangkap.
Sekolah juga wajib memiliki tenaga psikolog untuk mendampingi kesehatan mental anak didik. Laporan WHO (2022) menyebutkan bahwa 1 dari 7 anak usia 10–19 tahun mengalami gangguan mental—suatu alarm yang harus dijawab dunia pendidikan.

4. Dana Pendidikan Harus Tepat Sasaran
Anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak boleh habis hanya untuk birokrasi. Penggunaannya harusnya memakai prinsip ‘focus demand sacrifices’ jadi seyogyanya fokus pada:

  • Kesejahteraan dan pelatihan berkelanjutan guru

  • Penyediaan alat dan fasilitas belajar yang memadai

  • Makanan bergizi harian

  • Pendampingan psikologis

  • Penyediaan tenaga pengajar di daerah tertinggal

5. Swasta Harus Terlibat dalam Pemerataan
Sekolah swasta, sebagai mitra negara dalam pendidikan, harus diwajibkan menampung minimal 40% siswa dari kalangan tidak mampu. Negara dapat menyalurkan subsidi langsung untuk mendukung ini. Tanpa itu, ketimpangan pendidikan akan semakin menganga dan bertentangan dengan semangat keadilan sosial.

6. Guru dan Dosen Wajib Mengajar Berbasis Rotasi Nasional
Sebagaimana wajib militer di banyak negara untuk bela negara, Indonesia perlu mencanangkan wajib mengajar bagi guru dan dosen. Setiap satu tahun, mereka ditempatkan secara bergiliran ke sekolah atau perguruan tinggi lain—lintas provinsi, lintas status, dan lintas zona. Ini akan mempercepat pemerataan kualitas pendidikan, memperluas pengalaman pedagogik, dan memperkuat solidaritas antar daerah.

Penutup: Membangun Pendidikan Berbasis Jiwa Bangsa
Indonesia tak hanya butuh sistem pendidikan yang modern, tapi juga yang membentuk manusia seutuhnya. Pendidikan harus menyentuh mind, heart, and soul—akal sehat, empati sosial, dan semangat kebangsaan. Tanpa itu, lulusan hanya akan menjadi pekerja kognitif yang rapuh, kehilangan arah, dan tak punya daya juang untuk membangun bangsanya sendiri. Kita berharap banyak kepada  Presiden Prabowo untuk memastikan arah dan kebijakan pendidikan nasional mampu menjawab kebutuhan sumber daya manusia bangsa  ini kedepan dengan mengutamakan pendidikan yang  menyentuh mind, heart and soul setiap anak didik. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan