Kembalinya Bayang-Bayang Dwifungsi: Ancaman Bagi Supremasi Sipil

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Pola sikap dan pola tindak seseorang dibentuk oleh background dan pengalamannya. Masuknya kembali perwira aktif TNI dan Polri ke dalam jabatan-jabatan sipil secara masif menandai kemunduran serius dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Praktik ini tidak hanya melanggar semangat reformasi 1998 yang dengan tegas menghapus dwifungsi ABRI, tetapi juga merusak prinsip dasar supremasi sipil dalam sistem demokrasi modern.

Pasal 7 UU TNI menyatakan bahwa keterlibatan militer dalam urusan nonmiliter hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat dan bersifat tidak permanen. Namun, saat ini kita menyaksikan pengangkatan perwira aktif secara sistematis dan permanen dalam jabatan sipil strategis. Ini bukan kebijakan darurat—ini agenda kekuasaan yang mengembangkan militerisme di tubuh birokrasi sipil.

Menjadi pertanyaan serius: apakah Presiden Prabowo tidak percaya pada kapasitas sipil dalam mengelola negara? Atau ini bagian dari agenda  untuk membentuk pemerintahan semi-militer?   Langkah ini jelas mengganggu sistem meritokrasi dan rasa keadilan bagi para ASN yang telah meniti karier puluhan tahun.

Perlu diingat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—yang merupakan purnawirawan jenderal TNI—selama dua periode pemerintahannya (2004–2014), tidak serta-merta menempatkan perwira aktif dalam jabatan sipil. Justru SBY mendukung penuh reformasi internal TNI agar menjadi kekuatan pertahanan yang profesional, modern, dan tidak ikut campur dalam urusan sipil yang berada di luar tugas pokok dan fungsi militer. Langkah itu mencerminkan sikap kenegarawanan yang menempatkan militer pada jalur konstitusionalnya.

Bandingkan dengan hari ini: pengangkatan perwira aktif ke dalam birokrasi sipil tidak hanya merusak sistem karier ASN, tetapi juga mengganggu independensi institusi sipil. ASN yang telah bertahun-tahun bekerja, mengikuti pelatihan, dan membangun kompetensi, tiba-tiba dipotong jalurnya oleh prajurit aktif yang dunianya berbeda dengan sistem birokrasi sipil.

Apa yang mungkin akan terjadi kedepan :                            

1. Matinya Supremasi Sipil: Ini tanda negara berada dalam keadaan darurat demokrasi. Bila dibiarkan, maka negara sipil akan berubah menjadi negara komando.

2. Represi terhadap Kritik: Militerisme cenderung menolak perbedaan dan kritik, sementara demokrasi menuntut keterbukaan dan partisipasi.

3. Turunnya Kinerja Birokrasi: Militer bukan lembaga yang dilatih untuk pelayanan publik. Kultur komando tak cocok dengan kultur manajemen sipil.

4. Diskriminasi ASN: ASN yang loyal dan profesional terpinggirkan oleh penunjukan politik berbasis seragam, bukan kompetensi.

Pelajaran dari Negara Lain:      

Kita harus belajar dari Myanmar, yang sejak kudeta 2021 kehilangan seluruh pondasi demokrasi karena militer mengambil alih pemerintahan. Kekerasan, represi, dan kemunduran hak sipil adalah akibat langsung dari dominasi militer dalam politik. Di Mesir, kudeta oleh Jenderal Sisi mengubah negara itu menjadi otoriter dengan pembungkaman terhadap media, oposisi, dan masyarakat sipil. Thailand pun mengalami ketidakstabilan demokrasi akibat campur tangan militer yang berulang.

Indonesia tidak sedang dalam kondisi genting seperti itu. Maka, tidak ada alasan konstitusional maupun praktis untuk membenarkan terjunnya militer dalam ruang sipil. Satu satunya alasan adalah mengacu pada penggalan kutipan diatas,  diawal tulisan ini untuk mengerti dan memahami kenapa Prabowo mengambil langkah seperti ini. Pola sikap dan pola tindaknya  jelas dibentuk oleh background keluarga yang kuat, kaya,  selesai dengan dirinya, kepedulian kepada orang lain sangat besar, karena ayahandanya seorang begawan ekonomi  yang beraliran ‘sosialis’,  kemudian pendidikan ditempuh pada  sekolah diluar negeri, yang membuatnya sangat ktitis serta  pengalamannya  tidak saja sebagsi prajurit istimewa tetapi juga sebagai  pengusaha,  itulah yang membentuk pola sikap dan pola tindaknya. Prabowo sangat paham  persoalan pokok bangsanya dan  ingin segera  melaksanakan kebijakannya  dengan cepat, lugas dan dengan system kepemimpinan militer,  komando. Disinilah letak permasalahannya yang krusial karena akan berbenturan dengan prinsip demokrasi yang universal  serta hak hak sipil yang harus dihormati. Namun kita percaya  bahwa Prabowo dengan dedikasi serta ketulusannya yang tinggi serta  petarung yang tangguh  akan mampu me-manage dan mengatasi berbagai persoalaan yang multidimensional dan hampir sempurna ketidak beresan yang terjadi.

Prospek ke Depan:               

 Jika tren ini berlanjut, kita sedang menuju kehancuran demokrasi secara perlahan namun pasti. Solusi atas birokrasi lemah,  bukan militerisasi, melainkan perbaikan tata kelola, penguatan institusi sipil, dan keberanian politik untuk mencopot menteri atau pejabat sipil yang tak kompeten.

Kita tidak kekurangan talenta sipil yang bersih dan kapabel. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk menempatkan orang tepat di tempat yang tepat—bukan orang berseragam atas nama stabilitas semu.

Demokrasi hanya akan tumbuh jika sipil memegang kendali. Militer kembali ke barak. ASN diberi ruang untuk berkiprah berdasarkan kinerja dan integritas. Jika ini diabaikan, maka sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan ini membawa bangsa mundur ke era yang seharusnya sudah kita tinggalkan. Ataukah kita harus bisa memahami prinsip pembaharuan Deng Xiaoping yang mengatakan,  tidak peduli system  apapun namanya   yang penting kucing  itu bisa  menangkap tikus. Mari kita  bersama sama  Prabowo, kita kumandangkan “Indonesia First, Bring Your Heart Home- kerumah Pancasila”. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan