Oligarki, Polarisasi, dan Retaknya Solidaritas Nasional
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Indonesia sedang menuju titik rawan. Sinyal-sinyal krisis tak lagi samar: ekonomi dalam negeri melemah, pemutusan hubungan kerja merajalela, dan industri nasional stagnan. Ironisnya, justru sektor perdagangan berbasis impor—khususnya dari Tiongkok—yang tumbuh subur. Ketergantungan terhadap barang impor, termasuk kebutuhan pokok, adalah bentuk nyata kegagalan negara membangun kemandirian ekonomi.
Lebih dari sekadar ekonomi, yang mengkhawatirkan adalah keretakan sosial yang kian membesar. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin makin ekstrem. Polarisasi akibat pemilu masih ada dan memperburuk situasi. Solidaritas sebagai bangsa tergerus, rasa keadilan menipis, dan kecemburuan sosial makin terbuka. Bahkan di lingkup ASN, rasa esprit de corps telah luntur. Aparatur sipil merasa terpinggirkan, karier mereka digeser oleh masuknya personel TNI dan Polri ke jalur-jalur jabatan sipil yang sebelumnya steril.
Sementara itu, penyalah gunaan kekuasaan makin marak disemua kementerian/ lembaga baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Penguasaan ekonomi oleh segelintir elite kian masif. Mereka mengendalikan seluruh rantai nilai—dari sumber daya alam hingga distribusi ritel modern. Akibatnya, pasar-pasar tradisional dan ekonomi rakyat nyaris kehilangan ruang hidup. Ini bukan sekadar soal persaingan, melainkan proses sistematis menggeser rakyat dari panggung ekonomi bangsanya sendiri, tradisi yang disebut ‘panca wara’ pasar yang diatur mekanismenya oleh rakyat seperti pasar senin, pasar sabtu, pasar kliwon dan sebagainya telah punah tinggal catatan dalam buku sejarah.
Yang lebih mencemaskan adalah persaingan laten antara TNI dan Polri dalam menguasai ekonomi, baik legal maupun ilegal. Kembalinya TNI ke ruang bisnis atas nama regulasi justru membuka potensi konflik baru dengan Polri, yang selama ini sudah lebih dahulu menguasai jalur-jalur ekonomi—termasuk ekonomi abu-abu. Jika dibiarkan, ini bisa memicu gesekan serius di lapangan.
Di sisi lain, gejala rapuhnya penegakan hukum terlihat dari tumbuhnya ormas-ormas liar dan sebagai kedok untuk meminta sumbangan paksa, hingga maraknya prostitusi terselubung. Fenomena ini bukan sekadar persoalan moral, melainkan indikator tekanan ekonomi dan lemahnya kehadiran negara. Bantuan sosial dari luar negeri yang sempat meringankan beban rakyat bawah justru dihentikan oleh pemerintah karena masalah sertifikasi biometrik retina. Ironis, karena justru teknologi itu bisa menjamin ketepatan distribusi bantuan dan mencegah manipulasi, mencegah orang berbuat yang ingin mengambil yang bukan haknya. Oleh karena itu seharusnya segera dikaji ulang.
Kita sedang berada di tengah pusaran ketidakpastian. Negara tidak boleh hanya menjadi penonton. Ia harus segera mengambil posisi: berpihak pada rakyat, mengembalikan keadilan sosial, dan menghentikan dominasi oligarki yang kian membunuh semangat kebangsaan. Kalau tidak, persatuan bangsa hanya tinggal slogan. Dan kita akan menyaksikan sebuah bangsa besar—perlahan tapi pasti—terbelah dari dalam.
Namun kita punya Presiden Prabowo seorang petarung yang telah selesai dengan dirinya, dan patut didukung dan didorong secara bersama sama agar berani tampil dan mengambil langkah nyata untuk membersihkan negeri dari segala macam ketidak beresan dalam kehidupan masyarakat sehingga negeri ini menjadi negeri yang kokoh persatuan dan rasa solidaritas kebangsaannya. Prabowo harus tampil untuk mengajak semua punya tekad untuk ‘Indonesia first, bring your heart home, ke rumah Merah Putih’. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan