Ujian Awal Kepemimpinan Prabowo Subianto, Komando atau Tata Kelola
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Konsep pembangunan yang dibawa Prabowo Subianto di atas kertas tampak ambisius dan menjanjikan. Namun, seperti pepatah lama, the devil is in the detail. Tantangan terbesar tidak terletak pada visi besar, melainkan pada pelaksanaan di lapangan yang kerap lamban, birokrasi yang kurang inovatif, serta program-program yang terlalu berbasis anggaran tanpa daya tahan eksekusi saat pendanaan tersendat. Dalam situasi ini, kreativitas birokrasi tak berkembang dan tata kelola menjadi lemah.
Pertanyaannya, bagaimana Prabowo dapat merealisasikan target-target besar jika warisan masalah dari pemerintahan sebelumnya belum selesai, dan dalam beberapa hal justru tercipta persoalan baru? Ia tampak tumpul terhadap isu mendasar seperti korupsi, oligarki, dan integritas kabinet. Tanpa penanganan serius terhadap hambatan struktural ini, seluruh program akan kehilangan daya dorong. Terlebih, dukungan masyarakat pun tidak solid—kepercayaan publik masih rendah.
Masalah paling mendasar justru terletak pada karakter kepemimpinan itu sendiri. Gaya yang ditampilkan cenderung bersifat ownership alih-alih stewardship. Kepemimpinan seolah dipraktikkan sebagai kepemilikan terhadap kekuasaan, bukan pengelolaan amanah rakyat. Hal ini membawa implikasi sistemik: birokrasi berubah menjadi pelayan kekuasaan, bukan pelayan publik; kebijakan lebih didorong oleh loyalitas dan kepentingan politik dibandingkan kebutuhan rakyat.
Lebih jauh, gaya komando semi-militeristik yang diadopsi membuka ruang luas bagi militer dan polisi untuk masuk ke dalam birokrasi sipil. Ketika militer dan aparat keamanan aktif dalam jabatan sipil, terjadi kompetisi internal dalam memperebutkan ruang kekuasaan. ASN sebagai aktor utama dalam pemerintahan sipil justru menjadi penonton, bahkan merasa ruang kerjanya terusik.
Padahal, pembangunan hanya mungkin berjalan jika tata kelola ditegakkan secara disiplin. Perlu penegasan peran: militer sebagai penjaga kedaulatan, polisi sebagai penegak hukum profesional, dan ASN sebagai tulang punggung pelayanan publik. Supremasi sipil dalam demokrasi tidak boleh ditawar.
Prabowo kini berada di persimpangan sejarah. Apakah ia akan menjadi bagian dari solusi atau justru terjebak menjadi bagian dari masalah? Saat ini, ia tampak hanya banyak berbicara tanpa aksi konkret. ‘No Action Talk Only’ , Omon-omon menjadi citra yang pelan-pelan melekat. Program-programnya besar dalam slogan, namun minim rincian teknis, tanpa roadmap yang meyakinkan.
Momentum semester satu bulan April ini menjadi ujian awal. Jika ia ingin memulai perubahan, maka harus dimulai dari struktur paling dasar: desain ulang kabinet. Kekuatan politik yang kini dikendalikan sepenuhnya bisa digunakan untuk membentuk kabinet yang bersih, profesional, dan fokus pada tata kelola. Sinyal keberanian akan terlihat dari siapa yang dipilih, dan siapa yang disingkirkan.
Jika ia gagal melakukan koreksi sejak awal, maka kemungkinan besar Prabowo hanya akan mengulang pola lama. Ujian ini bukan semata-mata soal sukses tidaknya sebuah program, tapi tentang apakah pemimpin ini benar-benar siap mengelola amanah atau hanya menambah daftar panjang pemimpin yang gagal membaca momentum. Namun masyarakat pendukung dan pengagumnya juga yang lainnya masih menaruh harapan ke Prabowo untuk bertindak seperti Prabowo yang mereka kenal. Sejarah sedang menunggu jawabannya. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan