Prabowo Dalam Bayang-bayang Indonesia Gelap
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Model executive communications Prabowo Subianto/PS yang tegas dan lugas, terbuka serta boros kata kata, disatu sisi amat positif tapi disisi lain seperti membangun jebakannya sendiri-self trap. Seyogyanya executive communications yang dipakai lebih strategik memakai pola ‘less is more’. Bukankah setiap kata, ucapan Pemimpin Tertingi itu bertuah, bisa dimaknai sebagai rule and policy yang harus dijalankan dan bisa ditagih hasilnya. Beda dengan executive communications para Raja dan Sultan yang selalu ‘irit’ bicara, karena ada pakem yang menuntun bahwa setiap kata itu adalah petunjuk, perintah dan hukum, sabdo pandito ratu.
Pola executive communications PS, membuka celah membuatnya dalam situasi ditagih untuk membuat keputusan sebagai pelaksanaan dari kata kata dan ungkapannya itu. Hal itulah yang dituntut oleh berbagai kalangan termasuk mahasiswa berdemo bertema Indonesia Gelap, intinya sebagai ungkapan kekecewaan, menuntut sikap dan langkah nyata PS untuk melakukan perubahan dan pemberantasan korupsi serta upaya memperbaiki berbagai permasalahan bangsa.
Perkembangan situasi sampai saat ini, terkesan bahwa kebijakan belum berjalan dan apa yang diharapkan masyarakat seperti tidak sesuai dengan harapan. PS terkesan dalam situasi mendapat hambatan bahwa dalam birokrasi terjadi adanya dua matahari kembar kepemimpinan, yang diduga pengaruh pendahulunya masih membayangi, serta posisi strategik dalam birokrasi didominasi oleh kelompok yang orientasinya berbeda dengan arah yang diinginkan oleh PS. Namun hal itu bukan hal unique, karena sejarah mencatat peristiwa transisi kekuasaan antara Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto pada tahun 1966-1967, terjadi perbedaan interpretasi mengenai Surat Perintah 11 Maret, sebagai penyerahan kekuasaan penuh atau hanya sebagai perintah pengamanan. Perbedaan pandangan ini menciptakan dualisme kepemimpinan yang mempengaruhi efektivitas pemerintahan.
Dalam konteks kekinian, meskipun berbagai inisiatif perubahan dan antikorupsi telah dicanangkan dengan lantang oleh PS, tapi implementasinya belum nampak, mjngkin terhalang oleh pengaruh politik dan dominasi kepemimpinan tertentu dalam kabinet . Pelaksanaan kebijakan efektivitasnya terhambat oleh dinamika politik internal dan struktur kekuasaan yang kompleks. Tapi fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Sejarah mencatat terjadinya dualisme kepemimpinan ketika posisi strategik dalam pemerintahan didominasi oleh individu-individu serta adanya pengaruh lain.
Tsar Nicholas II Rusia 1894-191 menghadapi dualisme kekuasaan antara dirinya dan parlemen (Duma), yang mulai mendapatkan pengaruh sejak Revolusi 1905. Selain itu, Rasputin dan kelompok bangsawan lainnya memainkan peran besar dalam pemerintahan, sering kali menentang kebijakan Nicholas sendiri.Lemahnya kontrol terhadap pemerintah, korupsi yang merajalela, dan ketidakpuasan rakyat akhirnya memicu Revolusi Rusia 1917, yang menggulingkannya.
Kaisar muda Guangxu Dinasti Qing 1875-1908 berusaha melaksanakan ‘Reformasi Seratus Hari’ pada tahun 1898 untuk membersihkan korupsi dan memodernisasi China. Namun, kekuasaannya dibayangi oleh dominasi Ibu Suri Cixi, yang pada akhirnya menggagalkan reformasi dan menahannya dalam tahanan rumah. Perubahan gagal, dan Dinasti Qing semakin melemah hingga akhirnya runtuh pada tahun 1911.
Dari gambaran diatas, agar tidak kehilangan momentum, PS perlu segera mengambil langkah-langkah strategis baik dalam politik, pemerintahan, maupun komunikasi publik, seperti: PS perlu secara bertahap mengganti atau menyeimbangkan posisi menteri dan pejabat strategis yang terlalu berpihak pada kepentingan pendahulunya atau kelompok lain. Memastikan partai-partai yang pedukung tetap solid dan tidak terpecah belah oleh pengaruh pendahulunya. Bila perlu menginisiasi kelompok baru berbasis pada partai partai yang tidak ikut dalam pemerintahan.
PS harus menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin yang memiliki legitimasi penuh dan tidak hanya sekadar penerus. Memperkuat dan membenahi KPK, Kejagung dan Polri serta membentuk badan khusus yang benar-benar bisa bekerja secara independen. Menggunakan media sosial dan media massa untuk membentuk persepsi bahwa PS adalah pemimpin yang kuat dan berdaulat. Membangun trust dengan menunjukkan hasil nyata dari kebijakannya, seperti perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Memastikan militer dan kepolisian tetap setia padanya, sekaligus membatasi peran TNI Polri dalam jabatan sipil yang mulai merebak.
PS harus menyeimbangkan antara ketegasan dalam kepemimpinan dan kecerdasan dalam strategi politik untuk mendapatkan peluang mengendalikan pemerintahan sepenuhnya, oleh karena ada lessons learned bagaimana pemimpin dunia menghadapi tantangan serupa diawal pemerintahannya.Vladimir Putin, saat pertama kali menjabat Presiden Rusia pada tahun 2000, menghadapi dominasi oligarki dan pejabat era Boris Yeltsin yang masih berkuasa di ekonomi dan politik Rusia, membuat kekuatannya terbatas, dan kebijakan reformasinya sering terganjal oleh elite lama. Putin menggunakan pendekatan memecah kekuatan lawan politiknya-devide and rule, dan secara bertahap mengganti pejabat penting dengan loyalisnya. Selain itu, mengendalikan media untuk membentuk opini publik bahwa dia adalah pemimpin yang tegas.
Recep Tayyip Erdogan saat menjadi Presiden tahun 2003 menghadapi perlawanan dari militer dan elite sekuler yang masih kuat. Banyak kebijakan Islamisasi dan reformasi ekonominya ditentang oleh lembaga dan kekuatan lama yang pro-status quo. Erdogan membangun aliansi politik dengan kelompok yang memiliki kepentingan serupa sehingga secara perlahan-lahan melemahkan pengaruh oposisi, termasuk militer. Erdogan menyingkirkan lawan-lawannya secara hukum dan menggunakan isu nasionalisme serta pembangunan ekonomi untuk meningkatkan popularitasnya.
Xi Jinping ketika menjadi Sekjen Partai Komunis China tahun 2012, Xi menghadapi tantangan dari elite lama yang masih berpengaruh, termasuk mantan Presiden Jiang Zemin yang masih memiliki loyalis di pemerintahan dan militer. Xi
meluncurkan kampanye anti-korupsi besar-besaran untuk menyingkirkan pejabat yang tidak loyal, mengamankan posisi sekutunya di struktur partai, militer, dan ekonomi. Serta memperkuat legitimasinya dengan dengan meningkatkan kontrol terhadap media dan propaganda.
Jika PS mampu menerapkan strategi dengan tepat, maka peluang untuk benar-benar mengendalikan pemerintahan dan menjalankan program-program yang dijanjikan dalam kampanyenya akan menemukan momentumnya kembali. Tentu PS mampu melakukan itu, karena PS adalah patriot dan petarung yang tangguh, memiliki extraordinary capital yaitu ketulusan dan niat baik mengabdi untuk rakyat, serta PS sudah selesai dengan dirinya. Modal yang kuat untuk membuat Indonesia Gelap menjadi Terang Benderang kembali. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan