Leadership is Not Only a PR Game

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Kabinet Merah Putih yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto/PS  sudah mulai bekerja sejak dilantik walau belum efektif, antara lain  karena Kementerian dan Lembaga/KL menghadapi berbagai hambatan birokratis termasuk masalah anggaran. Anggaran yang terbatas dan tidak fokus, mendorong PS mengambil langkah untuk melakukan pemotongan anggaran yang bahasa halusnya melakukan efisiensi sekitar 750 T.Tentu kebijakan ini mengundang berbagai response baik dari kalangan internal birokrasi maupun diluar birokrasi yang terdampak oleh kebijakan pengencangan ikat pinggang tersebut.  Memang akan selalu ada trade of antara upaya untuk efisiensi anggaran dengan dampaknya terhadap penurunan kegiatan ekonomi. Contoh, sektor pariwisata dan perhotelan sangat kehilangan pendapatan dari kegiatan rapat dan seminar K/L, karena memang  government spending itu menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat.

Kinerja 100 hari nampaknya  sudah menjadi budaya politik, walaupun PS tidak pernah membuat statement tentang hal itu. Kinerja 100 hari bisa menjadi jebakan-trap yang ditebar sebagai ‘bagian’  dari kelanjutan kekesalan terhadap ‘Pemimpin’  yang lama dan  juga terhadap proses pemilu dan pilpres yang liwat, ditambah dengan adanya ‘perseteruan’ politik dan terkuaknya praktek praktek business ber ‘lebel’ proyek strategik nasional serta mega korupsi yang makin marak, yang mutakhir  ditahannya  seorang Dirjen Kemenkeu serta beberapa Direksi BUMN. Belum lagi gerak serta langkah beberapa menteri dan pejabat yang kurang ‘pas’ dan tidak  performed seperti, masalah Gas 3 kg,  pelaksanaan serentak program makan bergizi gratis yang masih kacau, rencana 3 juta rumah yang kurang dipahami stakeholders,  dan masalah penggunaan kop surat kedinasan untuk kepentingan kegiatan pribadi, permintaan tambahan dana yang berlebihan dan lainnya.

Masyarakat mulai meresponse dengan demo dan diskusi dan cara lainnya, berimbas kepada PS yang dipertanyakan sikapnya sebagai pemimpin nasional untuk memadamkan burning issues tersebut. Maka,  yang paling mendesak dan strategik adalah mendorong  Presiden segera memberi atensi terhadap berbagai kebijakan yang merugikan rakyat, yang prosesnya ‘fraud’ keliru, tidak lepas  dari indikasi KKN. PS seharusnya memanfaatkan momentum ini  menyatakan sikap dan membuat   keputusan. Belajar dari terobosan birokrasi ketatanegaraan yang dilakukan Donald Trump,   dalam hitungan jam setelah dilantik menanda tangani Executive Orders membatalkan dan memberlakukan berbagai kebijakan yang sejalan dengan kampanyenya.

Pemimpin harus membuat keputusan pada saat yang tepat. Kalau tidak maka  akan membutuhkan waktu dan banyak kendala,  terjadi reataliasi politik karena   pasti ada pihak ingin comfort zone-nya tidak terganggu. Contoh tertundanya pembentukan  BPI Danantara yang tertunda dan akhirnya akan diresmikan pada 24 Februari 2025, yang semestinya sejak pelantikan presiden  badan strategik  harus sudah jalan, bagaimana ujung dari ‘Badan Penerimaan Keuangan Negara’ yang direncanakan malah tidak terdengar lagi. Ditengah goyangnya gelombang politik dan birokrasi yang belum running penuh,  role kepemimpinan-leadership sangat penting  untuk membangun kepercayaan dan dukungan yang luas dari masyarakat yang memang menantikan itu. Oleh karena kepempimpin esensinya adalah:  

Kepemimpinan  bergelut dengan  perubahan-‘Coping with change and nurturing change’.  PS sangat  jelas  ingin melakukan  dan menumbuhkan perubahan. Bagaimana PS ingin para pembantunya dan birokrasi bekerja untuk rakyat, ekonomi untuk rakyat, kekayaan alam untuk rakyat.  Demikian juga perubahan penggunaan APBN yang harus efisien dan efektif. Tapi terkendala pada penjabaran dan implementasi.

Kepemimpinan esensinnya   menjalankan  Leadership bukan Ownership. Prinsip ini penting untuk menghindari perbuatan abuse of power, dan menghilangkan perilaku koruptif. PS bahkan sangat gamblang memperingati jajarannya  agar tidak menyalah gunakan kewenangan untuk berbuat korupsi atau maling. Kepemimpinan bukan sekedar masalah Pencitraan- ‘Leadership is not only a PR game’.  Karena yang dibutuhkan bukan  pemimpin yang populer tetapi pemimpin yang kebijakannya efektif. Bilamana kebijakan dan  programnya efektif dan berdampak kepada kesejahteraan  masyarakat,   pasti pepimpin itu  menjadi populer. Kalau populer saja tapi kebijakan dan kerjanya tidak efektif maka pasti di kecam dan akan hilang popularitasnya. Bill Clinton Gubernur pada Negara Bagian kecil Arkansas menjadi Presiden yang amat populer karena kebijakannya sangat efektif membawa  rakyat Amerika makin sejahtera di-eranya. Para pemimpin sangat suka bahkan setiap langkah dan kegiatan dipergunakan untuk pencitraan diri-PR game demi membangun popularitas.

Kepemimpinan yang efektif  berorientasi pada perkembangan jangka panjang. Coping with Change, Nurturing Change and Make Decisions. Seorang pemimpin tidak hanya harus mampu beradaptasi dengan perubahan, tetapi juga menciptakan perubahan yang positif dalam organisasi atau timnya. Pemimpin yang sukses tidak hanya bereaksi terhadap perubahan, tetapi juga proaktif dalam mengelola dan membentuk masa depan. Dan berani membuat keputusan dalam keadaan yang paling kritis sekalipun dan yang diharapkan rakyat. Melaksanakan Leadership  Bukan Ownership. Leadership berbeda dengan sekadar memiliki atau menguasai sesuatu. Pemimpin sejati bukan hanya fokus pada kepentingan pribadi atau merasa memiliki semua keputusan, tetapi memberdayakan tim dan organisasi untuk berkembang bersama. Leadership lebih tentang tanggung jawab, pengaruh, dan membangun sinergi, bukan sekadar kontrol penuh atassesuatu.

Leadership Is Not Only A PR Game. Kepemimpinan bukan hanya tentang pencitraan atau bagaimana seseorang terlihat di depan publik. Pemimpin sejati bekerja dengan integritas, mengambil keputusan sulit, dan membangun fondasi yang kuat untuk organisasi, bukan hanya berusaha tampil baik di media atau di hadapan orang lain. Jika kepemimpinan hanya sebatas PR, maka dampaknya cenderung dangkal dan jangka pendek. Situasi di Indonesia, pemimpin lahir dari high cost system, demokrasi transaksional yang mahal maka esensi kepemimpinan yang paling menonjol adalah  Pencitraan-PR game, untuk membangun popularitas demi meraih simpati dari masyarakat dan  Ownership-Kepemilikan  berlebihan  di mana pemimpin merasa bahwa jabatan atau kekuasaan adalah miliknya pribadi, bukan amanah publik, sehingga mendorong kearah korupsi kolusi dan nepotisme.   Jadi Ownership dan Pencitraan seperti mata uang dengan dua sisi, saling melengkapi. Yang perlu dikembangkan adalah membangun system demokrasi yang akan melahirkan pemimpin yang  memahami esensi perubahan dan menyemai perubahan ‘coping with change and nurturing change’.  Karena pemimpin yang kaya akan gagasan perubahan dan berani serta  terus  melakukan perubahan, pemimpin seperti itu yang bisa membawa negerinya survive dari berbagai permasalahan dan perubahan itulah yang akan membawa kemajuan dan kesejahteraan. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment