Universitas Koperasi: Paradigma Baru Demokrasi Ekonomi Tropika untuk Menjawab Tantangan Masa Depan
Serial Tropikanisasi–Kooperatisasi (1)
Oleh: Agus Pakpahan
Pendahuluan: Sebuah Kebutuhan akan Paradigma Baru
Kapitalisme, selama berabad-abad, bertindak sebagai arsitek tunggal tata ekonomi global. Di dalam sistem ini, Perseroan Terbatas (PT) berkembang sempurna, didukung oleh seluruh disiplin ilmu—dari hukum dagang hingga manajemen—yang tunduk pada logika akumulasi modal. Tak heran jika ia tidak memerlukan universitas khusus; seluruh ekosistem pengetahuan telah dibentuk untuk melayaninya. Namun, di balik menara pencapaiannya, tersembunyi retakan sosial yang dalam: ketimpangan yang menganga, mulai dari oligarki yang semakin kokoh, kerusakan lingkungan hidup semakin parah, dan peluang krisis global yang berulang seperti ritme yang tak terelakkan.
Dalam ruang hampa inilah koperasi hadir bukan sekadar sebagai alternatif, melainkan sebagai tandingan paradigmatik. Ia menolak reduksi manusia menjadi nomor seri pemodal, dan sebaliknya, menegakkan prinsip demokrasi ekonomi tropika: musyawarah atau satu anggota, satu suara; distribusi keuntungan berdasarkan partisipasi, bukan besaran modal. Namun, sebagai paradigma baru yang masih remaja, koperasi hadir dalam kondisi "yatim piatu ilmu". Ia lahir dari filsafat solidaritas, tetapi tumbuh di tengah gurun pengetahuan yang didominasi logika kapital dan tidak diakuinya sebagai rumpun keilmuan multidisiplin mandiri, padahal selain secara epistemologis, ontologis dan aksiologis ia memenuhi persyaratan menjadi rumpun keilmuan mandiri, Indonesia memiliki Pasal 33 UUD ‘45 sebagai payung utamanya. Karena itulah, kehadiran Universitas Koperasi bukanlah pilihan, melainkan keharusan sejarah. Ia adalah jawaban institusional atas kegagalan paradigma lama dan janji yang belum terpenuhi.
VOC, Kolonialisme, dan Kegagalan Negara Tropika
Untuk memahami urgensi ini, kita harus menengok ke belakang. Kapitalisme tidak jatuh dari langit; di Nusantara, ia tiba dengan kuda besi bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). VOC bukan sekadar perusahaan dagang biasa. Ia adalah prototipe sempurna kapitalisme kolonial—sebuah entitas yang menyatukan kekuatan modal, senjata, dan politik dalam satu kepalan tangan. Melalui monopoli, kerja paksa, dan pemanfaatan struktur feodal yang sudah ada, VOC membangun mesin eksploitasi yang efisien. Hasilnya: kekayaan mengalir deras ke Belanda, sementara bangsa tropika terperangkap dalam kemiskinan struktural.
Warisan kelam ini masih membayangi. Lebih dari 80 tahun pasca kemerdekaan, sebuah fakta pahit harus diakui: tidak ada satu pun negara tropika yang berhasil menjadi negara maju. Kemerdekaan politik ternyata tidak diikuti dengan kemerdekaan ekonomi. Mereka justru terperangkap dalam "jalan buntu paradigmatik"—terus mengadopsi resep ekonomi kapitalis-warisan kolonial tanpa pernah membangun disiplin ilmu dan kelembagaan ekonomi yang autentik, yang mencerminkan jiwa demokrasi dan solidaritas tropika.
Indonesia 1998: Puncak Krisis dan Jalan Pintas yang Menyesatkan
Indonesia adalah miniatur dari tragedi ini. Krisis Moneter 1998 bukan hanya guncangan ekonomi biasa; ia adalah pembongkaran paksa atas kedaulatan ekonomi nasional. Rupiah rontok, perbankan kolaps, dan jutaan rakyat terpelanting ke dalam jurang pengangguran. Di titik nadir ini, Indonesia tidak menemukan jalan transformasinya sendiri, melainkan menyerah pada "obat pahit" IMF yang justru Indonesia kehilangan kedaulatan dan memperdalam ketergantungan.
Pasca krisis, alih-alih membangun fondasi ekonomi baru yang berdaulat, Indonesia malah mengalami detransformasi ekonomi. Privatisasi BUMN, dominasi investasi asing, dan kebangkitan konglomerasi lama terjadi bak sebuah siklus yang tak terputus. Koperasi—yang diamanatkan oleh Bung Hatta sebagai soko guru—direduksi menjadi sekadar "usaha kecil rakyat" yang terpinggirkan. Demokrasi politik mungkin bersemi, tetapi demokrasi ekonomi justru merana. Oligarki menguasai sumber daya, ketimpangan mengeras, dan ekonomi rakyat tak kunjung menjadi arus utama.
Momentum Kebangkitan: Visi Presiden Prabowo Subianto dan Indonesia Emas 2045
Di tengah bayang-bayang kegagalan transformasi itu, muncullah sebuah momentum bersejarah. Presiden Prabowo Subianto telah menempatkan penguatan koperasi sebagai kebijakan sentral, bukan sekadar program sampingan. Visi beliau untuk membangun kapabilitas perekonomian nasional yang berdaulat dan inklusif sejalan sepenuhnya dengan cita-cita konstitusi untuk menegakkan koperasi sebagai soko guru perekonomian. Kebijakan ini bukanlah retorika kosong, melainkan sebuah undangan terbuka untuk melakukan lompatan paradigmatik.
Inilah saat yang tepat untuk mentransformasi koperasi dari konsep yang terpinggirkan menjadi kekuatan utama yang mendorong pertumbuhan berkualitas dan pemerataan yang nyata menuju Indonesia Emas 2045. Untuk mewujudkan ambisi besar ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan dari atas. Dibutuhkan sebuah ekosistem pengetahuan yang mampu mencetak kader-kader pemimpin, inovator, dan penggerak koperasi yang andal. Inilah peran strategis yang harus diisi oleh Universitas Koperasi.
Koperasi sebagai Social Invention dan Peran Universitas
Dalam kegelapan inilah koperasi bersinar sebagai sebuah social invention. Berbeda dengan PT yang lahir dari rahim kontrak legal, koperasi lahir dari rahim filsafat kooperativisme—sebuah jawaban etis atas keserakahan kapital.
Namun, koperasi tidak bisa hanya mengandalkan semangat. Ia membutuhkan ilmu. Di sinilah Universitas Koperasi hadir dengan tiga mandat utama:
1. Sebagai Ilmu Pembongkar: Mengurai mitos-mitos kapitalisme seperti "tangan tak terlihat" dan "persaingan bebas" yang sering kali hanya menjadi kedok bagi dominasi.
2. Sebagai Ilmu Konstruktif: Merancang arsitektur ekonomi baru berbasis solidaritas, dari model governance, akuntansi partisipatif, hingga teknologi yang memerdekakan.
3. Sebagai Ilmu Integratif Tropika: Menyatukan kearifan lokal, ekologi, dan budaya ke dalam sistem ekonomi yang tangguh dan berkelanjutan.
Bukti Empiris: CU Keling Kumang, Sebuah Laboratorium Hidup
Teori tanpa bukti adalah utopia. Keberhasilan Credit Union Keling Kumang di Kalimantan Barat adalah bukti nyata bahwa demokrasi ekonomi tropika bukanlah mimpi. Bermula dari 12 anggota dan modal Rp 291.000 pada 1993, ia telah bertransformasi menjadi raksasa yang lembut dengan lebih dari 232.000 anggota dan aset Rp 2,3 triliun.
Apa rahasianya?
· Rasionalitas Kolektif: Di sini, hukum diminishing returns runtuh. Setiap tambahan anggota justru menciptakan increasing returns to scale melalui jaringan kepercayaan dan solidaritas.
· Ekosistem Kesejahteraan: CU Keling Kumang bukan hanya koperasi simpan-pinjam. Ia telah membangun sebuah ekosistem lengkap—dari pendidikan (ITKK, SMK), ritel (Keling Kumang Mart), hingga hospitality (Ladja Hotel)—yang menyertai anggota dari buaian hingga liang lahat.
· Melampaui Neoklasik: Ini adalah bukti bahwa utility tidak melulu individual; utility kolektif yang dibangun atas dasar kepercayaan memiliki daya dorong yang jauh lebih eksponensial.
Fondasi Filosofis: Merajut Benang Merah Peradaban
Gagasan Universitas Koperasi tidak lahir di ruang hampa. Ia berdiri di atas pundak para pemikir besar:
· Thomas Kuhn: Universitas ini adalah paradigm shift itu sendiri, wujud dari revolusi ilmu dari kapitalisme menuju solidaritas.
· John Dewey: Ia akan menjadi laboratorium tempat demokrasi tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupi dan dialami.
· Bung Hatta & Ki Hadjar Dewantara: Universitas ini adalah kristalisasi dari cita-cita "koperasi sebagai soko guru" dan "pendidikan yang memerdekakan".
· Ha-Joon Chang: Ia menjadi benteng melawan Bad Samaritans—negara-negara maju yang memaksakan liberalisasi pasar sambil melindungi pasar domestiknya sendiri.
Penutup: Menjawab Panggilan Sejarah Menuju Indonesia Emas 2045
Sejarah telah mengajarkan pelajaran berharga: VOC dan kolonialisme adalah dua sisi mata uang yang sama, merajai Nusantara dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat. Lebih dari setengah abad merdeka, Indonesia dan bangsa-bangsa tropika lainnya masih terperangkap dalam pola yang sama—mengais remah-remah dari sistem global yang tidak dirancang untuk kemenangan mereka.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pintu untuk memperbaiki kesalahan sejarah itu terbuka lebar. Visi untuk menjadikan koperasi sebagai sokoguru bukan lagi ilusi, melainkan sebuah perintah kebijakan yang membutuhkan eksekusi yang cerdas dan berkelanjutan. Universitas Koperasi adalah mitra strategis yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi tersebut. Ia adalah pabrik kapabilitas ekonomi nasional yang akan mencetak kader-kader andal dan menghasilkan inovasi model koperasi modern dan tangguh.
Dengan demikian, perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 akan memiliki fondasi yang kuat: sebuah ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga berkeadilan; sebuah demokrasi yang tidak hanya politik, tetapi juga ekonomi. Inilah paradigma baru yang kita tawarkan pada dunia: bahwa kesejahteraan sejati terletak pada solidaritas, dan bahwa masa depan Indonesia yang gemilang dibangun dari bawah, dari koperasi ke koperasi, yang disokong oleh ilmu pengetahuan yang memerdekakan.
Penulis: Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, M.S. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia - Ikopin University).
Editor: Dr. Aam Bastaman (Ketua Senat Universitas Trilogi).