Dari Rahim Ketidakmungkinan: Keling Kumang
Serial Tropikanisasi-Kooperatisasi (2)
Dari Rahim Ketidakmungkinan: Ketika Keling Kumang Menari di Atas Puing Teori Ekonomi Neoklasik
Oleh: Agus Pakpahan
Ada sesuatu yang sedang terjadi di jantung Kalimantan Barat. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kurva permintaan-penawaran Alfred Marshall. Sesuatu yang membingungkan persamaan-persamaan elegan Leon Walras. Di sini, di tapal batas yang sering luput dari peta pembangunan, Credit Union Keling Kumang sedang menulis ulang hukum-hukum ekonomi dengan tinta yang tak terduga.
Bagian 1: Pemberontakan Melawan Rasionalitas Sempit
Teori ekonomi neoklasik berbicara tentang homo economicus—manusia rasional yang selalu memaksimalkan utilitas dalam kerangka the law of diminishing marginal utility. Setiap tambahan konsumsi, katanya, memberikan kepuasan yang semakin menurun. Setiap tambahan input produksi, menurut the law of diminishing returns, memberikan output yang semakin berkurang.
Tapi bagaimana menjelaskan 232.200 orang yang dengan sukarela mempercayakan nasib ekonomi mereka pada sebuah koperasi? Ini bukan rasionalitas individualistik, melainkan rasionalitas kolektif yang justru menghasilkan outcome yang tak terbayangkan dalam model neoklasik. Di sini, setiap tambahan anggota justru menciptakan nilai tambah yang semakin besar—increasing returns to scale dalam kemurniannya.
"Di sini," kata seorang petani karet tua di Sekadau, "kami tidak saling memakan. Kami saling menopang." Kalimat sederhana itu mengandung ledakan filosofis yang mengguncang fondasi mikroekonomi konvensional.
Ketika harga karet jatuh ke Rp 1.000 per kg di tahun 1993, logika neoklasik akan memprediksi kelangkaan, kepailitan, dan migrasi massal. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: 12 orang berkumpul, mengumpulkan Rp 291.000, dan memulai perjalanan yang 32 tahun kemudian akan mengumpulkan aset Rp 2,3 triliun.
Bagian 2: Melampaui Dunia Concave Menuju Jagat Exponential
Ekonomi neoklasik hidup dalam dunia concave—dunia yang melengkung ke bawah, di mana setiap tambahan memberikan manfaat yang semakin kecil. Tapi Keling Kumang bergerak dalam realitas convex—di mana setiap tambahan justru membuka kemungkinan yang semakin besar.
"Setiap anggota baru bukan sekadar tambahan numerik," jelas seorang manager Keling Kumang. "Mereka membawa jaringan sosial baru, potensi usaha baru, ide-ide segar yang justru memperkaya ekosistem kita."
Inilah yang tak terpahami oleh teori konvensional: dalam ekonomi berbasis kepercayaan, marginal utility tidak pernah diminishing, karena setiap transaksi bukan sekadar pertukaran barang, melainkan penguatan jaringan.
Bagian 3: Ekosistem Kesejahteraan yang Menyeluruh
Yang membedakan Keling Kumang adalah kemampuannya menciptakan ekosistem kesejahteraan lengkap bagi anggotanya. Bukan sekadar akses keuangan, melainkan transformasi hidup menyeluruh:
Layanan Keuangan Komprehensif:
· Simpanan berjangka dengan bagi hasil kompetitif
· Pinjaman produktif dengan bunga manusiawi
· Pinjaman konsumtif untuk pendidikan dan kesehatan
· Pembiayaan perumahan dan kendaraan
· Dana darurat untuk situasi tak terduga
Infrastruktur Sosial yang Dibangun:
· Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) - pendidikan tinggi terjangkau di pedalaman
· SMK Keling Kumang - pendidikan vokasi berbasis lokal
· Ladja Hotel - akomodasi dan pelatihan hospitality
· Keling Kumang Mart - akses retail dengan harga wajar
· Koperasi Produsen Agrotani - pemasaran hasil pertanian anggota
Ibu Maria, anggota sejak 1998, bercerita: "Dulu anak saya harus putus sekolah karena tidak ada biaya. Sekarang, berkat pinjaman pendidikan CU, dia sudah sarjana dan mengajar di ITKK. Kami punya rumah dari kredit perumahan, usaha warung dari pinjaman modal, dan yang paling berharga—rasa aman karena ada dana darurat."
Bagian 4: Siklus Hidup yang Terjamin
Yang luar biasa, Keling Kumang menyediakan layanan yang menyertai anggota dari kandungan sampai meninggal:
A[Dalam Kandungan] --> B[Balita & PAUD]
B --> C[Pendidikan Dasar-Tinggi]
C --> D[Memulai Usaha/Karier]
D --> E[Memiliki Rumah & Kendaraan]
E --> F[Menikah & Berkeluarga]
F --> G[Pendidikan Anak]
G --> H[Persiapan Pensiun]
H --> I[Lansia Terjamin]
Pak Andreas, pensiunan guru, menjelaskan: "Sekarang saya menikmati masa tua dengan tenang. Simpanan di CU memberikan penghasilan pasif, ada asuransi kesehatan, dan yang menyentuh—anak saya bisa kuliah di ITKK dengan biaya terjangkau berkat program beasiswa untuk anggota."
Bagian 5: Jatuhnya Template Neoklasik
Mari kita bedah mengapa teori ekonomi neoklasik gagal total menjelaskan fenomena Keling Kumang:
Pertama, asumsi perfect information runtuh di sini. Justru dalam ketidaksempurnaan informasi lah kepercayaan (credere) tumbuh subur.
Kedua, konsep diminishing marginal utility menjadi tidak relevan. Di Keling Kumang, setiap tambahan layanan justru meningkatkan utility secara keseluruhan karena efek jaringan.
Ketiga, hukum diminishing returns ternyata bisa dilompati. Dengan model spin-out dan diversifikasi, Keling Kumang membuktikan adanya increasing return to scale yang berkelanjutan.
Seorang profesor ekonomi dari universitas ternama pernah berkata, "Ini tidak masuk akal." Tapi mungkin yang tidak masuk akal adalah teori yang menolak kenyataan, bukan kenyataan yang menolak teori.
Bagian 6: Ekosistem yang Bernapas dalam Increasing Returns
Yang lebih menakjubkan lagi, Keling Kumang bukan sekadar tumbuh—dia bernafas dalam irama increasing returns. Setiap unit bisnis baru yang lahir—dari institusi pendidikan (ITKK, SMKK), agrowisata, hotel, hingga pusat pelatihan—bukan sekadar diversifikasi, melainkan penguatan ekosistem yang saling menguntungkan.
"Setiap spin-out business bukan memecah kue, melainkan membuat kue yang lebih besar," jelas seorang pengurus. "Layanan pendidikan meningkatkan kapasitas anggota, yang kemudian meningkatkan kinerja usaha, yang kemudian memperkuat koperasi—ini siklus virtuous yang terus mempercepat dirinya sendiri."
Bu Yanti, pedagang pasar, menambahkan: "Saya bukan sekadar menabung dan pinjam. Anak saya sekolah di SMK Keling Kumang, belanja di Keling Kumang Mart lebih murah, hasil kebun dijual ke Koperasi Produsen, dan keluarga sering staycation di Ladja Hotel. Uang berputar di ekosistem kita sendiri."
Bagian 7: Quantum Leap dalam Selang yang Luas
Yang membedakan Keling Kumang bukan sekadar pertumbuhan eksponensial, melainkan kemampuannya mempertahankan pertumbuhan eksponensial dalam selang yang sangat lebar.
Biasanya, organisasi mengalami fase:
1. Eksponensial awal → 2. Linear → 3. Diminishing returns
Tapi Keling Kumang:
1. Eksponensial awal (1993-2000) → 2. Akselerasi eksponensial (2000-2015) → 3. Eksponensial berkelanjutan (2015-2025)
"Ini karena kami tidak melihat batas," kata seorang pengurus. "Setiap pencapaian justru membuka horizon baru yang lebih luas."
Bagian 8: Pelajaran yang Menantang bagi Kebijakan
Bagi Koperasi Desa Merah Putih dan pengambil kebijakan, CU Keling Kumang menyajikan tantangan sekaligus peluang:
Tantangannya: Beranikah meninggalkan mentalitas "project" yang terbatas waktu dan anggaran, dan beralih ke pendekatan "ekosistem" yang organik dan berkelanjutan.
Peluangnya: Semua formula sudah tersedia. Koefisien teknis, model governance, mekanisme spin-out—semuanya bisa dipelajari dan diadaptasi.
Pertanyaannya bukan "bisakah kita menirunya?" tapi "beranikah kita berpikir se-radikal mereka?" Beranikah kita melepaskan diri dari belenggu teori diminishing returns dan memasuki dunia increasing returns?
Penutup: Dari Pinggiran Menuju Pusat Revolusi Paradigma
Keling Kumang mengajarkan pada kita bahwa pusat gravitasi ekonomi mungkin tidak berada di gedung-gedung pencakar langit atau di ruang-ruang perdagangan berjangka. Mungkin pusat gravitasi yang sesungguhnya justru berada di pinggiran—di tempat-tempat di mana manusia masih ingat bagaimana saling percaya.
Fenomena Keling Kumang adalah tamparan bagi ekonomi ortodoks, sekaligus pelukan hangat bagi mereka yang percaya bahwa ekonomi bisa lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih membahagiakan.
Mereka tidak hanya membangun koperasi. Mereka membangun peradaban alternatif—sebuah dunia di mana ekonomi tidak mengasingkan, tapi memanusiawikan. Sebuah dunia di mana the law of increasing returns bukan sekadar teori, melainkan realitas sehari-hari.
Dan dalam dunia itu, teori ekonomi neoklasik hanya bisa berdiri di pinggir, tercengang, sambil bertanya-tanya: "Bagaimana mungkin?"
Mungkin jawabannya sederhana: Karena di sini, ekonomi bukan lagi soal angka, melainkan soal hati. Dan hati, seperti kita tahu, selalu punya logikanya sendiri—logika yang justru semakin kuat dan bermakna seiring dengan pertumbuhannya.
Penulis: Prof. Agus Pakpahan, Ph.D (Rektor Universitas Koperasi Indonesia - Ikopin University).
Editor: Dr. Aam Bastaman (Ketua Senat Universitas Trilogi).