MENGAPA INDONESIA TAK CUKUP DISELAMATKAN OLEH PRABOWO SEORANG DIRI

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Indonesia hari ini berada dalam situasi paradoksal: energi pembangunan luar biasa besar, proyek raksasa bermunculan, slogan kemajuan digemakan setiap hari, namun berbagai indikator justru menunjukkan bahwa bangsa ini stagnan, bahkan bergerak mundur dalam beberapa aspek. Semangat perubahan ada, visi besar ada, presiden memiliki keberanian dan tekad. Namun negara tetap seperti orang berlari di atas treadmill, gerakannya cepat, tetapi tidak berpindah tempat. Kita tampak sibuk, tetapi tidak benar-benar maju. Fenomena ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan melihat kualitas atau niat presiden. Ada struktur masalah yang jauh lebih dalam, yang membuat satu orang pemimpin, betapapun kuat karismanya, tidak mampu memutus rantai kebobrokan tanpa perubahan sistemik.

Salah satu masalah terbesar bangsa ini  adalah kebobrokan sistemik telah "metastasis", bahwa kerusakan tidak lagi bersifat parsial. Ia sudah menjalar sebagai kanker stadium akhir, merembes ke organ-organ vital negara: birokrasi, institusi hukum, pemerintah daerah, lembaga pusat, bahkan budaya politik masyarakat. Birokrasi yang rusak dari hulu ke hilir sudah berjalan selama dua dekade terakhir. Berbagai survei menunjukkan birokrasi Indonesia memiliki tiga masalah utama yaitu integritas rendah, kapasitas lemah, budaya kerja tidak profesional. Fenomena ini tidak mengada-ada. Kita melihat sendiri bagaimana dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 120 kepala daerah terjerat kasus korupsi.

Pegawai pajak, bea cukai, pejabat kementerian, dan direksi BUMN bergantian ditangkap karena suap atau gratifikasi. Jabatan-jabatan strategis ditentukan dan dikendalikan oleh pihak luar birokrasi. Ini bukan lagi masalah oknum. Ini metastasis. Salah satu masalah terbesar adalah korupsi,  yang sudah sistemik, korupsi struktural bukan lagi transaksional. Contohnya: Kasus Asabri dan Jiwasraya yang merugikan negara lebih dari Rp 40 triliun, tetapi mastermind asli yang menggerakkan aliran dana besar dan pemilik jaringan investasi gelap tidak pernah terungkap publik.

Kasus Garuda Indonesia terkait suap pengadaan pesawat dan mesin Rolls-Royce, di mana direktur utama diproses, tetapi supply chain mafia yang mengatur jaringan global tetap tidak tersentuh. Kasus Pertamina, seperti impor minyak yang diduga dimainkan oleh “trader-trader gelap”, memunculkan pertanyaan mengapa otak bisnisnya tidak pernah tersentuh. Alasannya sederhana, mastermind terletak di jaringan yang lebih tinggi daripada pelaku birokrasi yang ditangkap. Dan jaringan itu bisa berupa pemilik modal, politikus senior, kelompok usaha besar, atau mereka yang memiliki pengaruh transnasional.  Yang ditangkap biasanya hanya operasional level, bukan “arsitek” korupsinya.

Secara teori, presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Namun realitas politik kita menunjukkan sebaliknya: banyak kekuasaan substantif berada di tangan pemodal besar dan kelompok kepentingan. Jabatan strategis banyak “dititipkan” sehingga fenomena ini membuat banyak pejabat loyalitasnya  kepada sponsor, bukan kepada negara, takut membuat keputusan yang merugikan oligarki dan  cenderung mengikuti arus kepentingan. Presiden bisa memberi instruksi, tetapi pelaksana kebijakan justru bekerja untuk pihak lain.    

BUMN Indonesia menguasai aset lebih dari Rp 10.000 triliun. Di balik angka besar ini, banyak kasus korupsi BUMN justru terjadi karena BUMN menjadi “persilangan kepentingan” antara pejabat politik, korporasi, dan operator lapangan. Contohnya:  Kasus Jiwasraya & Asabri melibatkan investasi bodong yang berlangsung bertahun-tahun tanpa ada whistleblower internal. Kasus Krakatau Steel, yang sempat dirugikan triliunan karena pengadaan fiktif dan mark-up.K asus Garuda Indonesia, di mana suap lintas negara melibatkan jaringan global.                                                   .Proyek-proyek pelabuhan dan kereta api yang sarat permainan izin, seperti indikasi permainan harga proyek kapal yang membuat negara merugi hingga triliunan. Mengapa mastermind tidak tersentuh? Karena transaksi besar terjadi di ruang yang tidak dapat dijangkau penegak hukum biasa yaitu ruang lobi politik, ruang konsultan global, ruang transaksi finansial lintas negara, dan ruang pengendalian kebijakan.

Kebijakan publik hari ini sering dianggap benar hanya karena “berkasnya lengkap” atau “sesuai prosedur formal”. Padahal banyak kebijakan yang disulap seolah benar, administrasi  menggantikan moralitas,  yang  dampaknya  merugikan negara karena tanpa kajian memadai, demi untuk melayani kepentingan kecil, ddngan cara menyesuaikan atau menyususupkan ketentuan  untuk kepentingan pemodal. Hal ini terlihat  dalam masalah izin tambang, izin perkebunan besar, konsesi energi, proyek perubahan status kawasan hutan dan pengadaan barang dan jasa. Prosedur menjadi tameng pembenaran, bukan alat penjamin transparansi. Dan karena opini publik bisa dimanipulasi, kebijakan cacat bisa dibuat tampak seolah benar. ‘To do what is right, you have to know what is true’ .

Masalah yang mencuat seperti di Morowali, mulai dari bandara ilegal, penggunaan tenaga kerja asing, manipulasi data produksi, hingga skema ekspor-impor yang menguntungkan pihak tertentu. Ketika pemerintah pusat mencoba menertibkan, tingkat resistensi sangat tinggi, karena modal internasional terlibat, pejabat daerah diuntungkan, sebagian pejabat pusat mendapat aliran rente. Inilah sebabnya mengapa negara nampak kalah melawan perusahaan besar. Jadi oligarki seolah sebagai "veto player" kebijakan negara.

Penegakan hukum adalah pilar negara. Namun pilar ini retak, karena aparat penegak hukum tidak solid, loyalitas ganda dan adanya  konflik internal, perebutan kewenangan, intervensi politik, saling sandera kasus.  Inilah yang membuat kasus besar seperti kasus judi online bertahun-tahun tidak menyentuh aktor besar, server judi bisa berpindah kota seperti tidak ada negara, aktor besar di dunia pinjol, narkoba, dan judi online punya proteksi. Contohnya dalam kasus judi online, pola transaksi yang mengalir ke luar negeri mencapai ratusan triliun rupiah, tetapi yang ditangkap hanya operator kecil. Mastermind tetap aman.

Salah satu contoh paling nyata lemahnya negara adalah Papua. Selama 20 tahun, kelompok kriminal bersenjata membakar sekolah, menyerang warga sipil, menyandera pilot, menembak aparat, merusak fasilitas publik. Namun operasi negara selalu setengah hati, karena dianggap sensitif secara HAM. Padahal di banyak negara, kondisi seperti ini ditangani menggunakan Military Operation Other Than War (MOOTW), bukan perang besar-besaran, tetapi operasi terukur untuk menetralkan teroris, mengamankan warga sipil, menghentikan serangan bersenjata, memperkuat kontrol negara. Sudah terlalu lama Papua dibiarkan menjadi “zona abu-abu”. Negara harus hadir, bukan sekedar khawatir citra internasional  tapi perlu memperimbangkan juga national interest.

Presiden Prabowo punya energi bahkan dukungan yang luar biasa besar,  dan  diakui banyak pihak. Namun birokrasi yang menjalankan perintahnya tidak solid, sebagai eksekutor seperti "lame duck". Karena  sebagian pejabat adalah warisan masa lalu, banyak pemimpin lembaga tidak memiliki visi perubahan, sebagian justru menghambat kebijakan demi kepentingan kelompok. Inilah yang menyebabkan gap antara visi dan realisasi. Instruksi presiden yang disampaikan secara tegas sering “menghilang” ketika turun ke pelaksana. Prabowo harus segara bertindak all out untuk menghentikan treadmill bangsa dan mulai :       

.Membersihkan kabinet dan pejabat birokrasi yang menjadi beban.

.Nama-nama yang dipersoalkan publik sudah sangat jelas.

.Mengakhiri politik persatuan semu dalam kabinet, mengajak para professional petarung yang berintegritas. Tidak mungkin semua kelompok mendukung presiden.

. Menjalankan MOOTW untuk Papua & wilayah rawan

.Agar negara hadir dengan penuh wibawa didukung oleh birokrasi  yang bersih dan professional maka perlu  menghentikan dwifungsi terselubung. Baik TNI maupun Polri harus kembali ke fungsi utama.

.Mengawasi elite dan kader partai berkuasa dan pejabat agar tidak  yang bermain dua kaki karena oligarki bisa masuk melalui lingkaran dalam.

Indonesia tidak kekurangan pemimpin yang berani. Yang kurang adalah keberanian memutus rantai lama, kelompok lama, kepentingan lama, dan struktur lama. Jika Prabowo ingin Indonesia benar-benar maju, maka  harus bertindak tegas, cepat, dan tanpa ewuh-pakewuh. Negeri ini sudah terlalu lama berlari di atas treadmill. Sudah saatnya melangkah maju, secara nyata. " In Prabowo We Trust". Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D Prawiro1 Comment