Bencana Kayu Gelondongan adalah Alarm Tuhan
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Banjir besar dan longsor yang membawa kayu gelondongan di beberapa provinsi Indonesia bukan sekadar bencana alam musiman. Ini adalah alarm Tuhan, peringatan keras bahwa manusia telah melampaui batas kerusakan ekologis yang selama ini menjadi penopang kehidupan. Ketika batang-batang kayu raksasa meluncur di tengah arus, menghantam rumah, menimbun sawah, dan menutup sungai, itu pertanda satu hal bahwa hutan telah dirusak secara brutal, dan negara tidak boleh lagi menunda tindakan. Situasi ini bukan waktu untuk investigasi dan penelitian panjang, rapat teknis, atau kajian-kajian yang disiapkan hanya sebagai alasan penundaan. Pemerintah wajib bertindak sekarang, segera membekukan seluruh izin pengelolaan lahan eks-hutan untuk perkebunan dan pertambangan di wilayah terdampak. Kita sedang menghadapi darurat ekologis yang nyata, bukan wacana.
Hutan Indonesia telah melewati titik kritis. Dalam ilmu ekologi dikenal konsep ecological threshold, titik ketika suatu kerusakan tidak bisa diperbaiki oleh alam. Ketika lahan hutan dibuka habis-habisan, pepohonan ditebang, tanah ditelanjangi, dan sungai kehilangan bantaran, maka kemampuan alam untuk menyerap air dan menahan tanah runtuh seketika. Banjir tidak lagi sekadar genangan air, tetapi berubah menjadi arus penghancur. Banjir yang terjadi di provinsi provinsi terdampak menunjukkan pola yang sama yaitu pohon ditebang tanpa sisa, tanah berubah menjadi lumpur licin, sungai penuh kayu gelondongan, desa-desa terkubur material hutan yang dihancurkan.
Setiap kali kayu gelondongan muncul dalam bencana, itu bukti visual bahwa hutan yang seharusnya berdiri kokoh sudah tidak ada lagi. Dalam ajaran agama apa pun, Tuhan dengan jelas melarang manusia melakukan kerusakan atau merusak di bumi setelah Tuhan menciptakannya dengan seimbang. Hari ini, bencana itu menjadi peringatan terbuka, bukan sekedar musibah. “Tragedy of the Commons”, rakyat yang menanggung, korporasi yang untung. Kini Indonesia sedang mengalami apa yang disebut Garrett Hardin sebagai “tragedy of the commons”. Hutan adalah milik publik, tetapi dirusak oleh segelintir kelompok yang diberikan izin oleh negara untuk mengambil manfaat jangka pendek.
Yang menebang hutan dan membuka lahan adalah perusahaan perusahaan besar, korporasi yang memperoleh konsesi lahan, investor yang mengejar keuntungan cepat . Sedangkan yang kehilangan rumah, sawah, dan masa depan adalah rakyat kecil, masyarakat desa yang tinggal di lembah dan bantaran sungai, petani yang tidak pernah menebang sebatang pohon pun. Inilah bentuk ketidakadilan ekologis paling telanjang. Karena itu, tugas negara adalah mengintervensi, menghentikan sumber kerusakan, dan melindungi rakyat, bukan sekadar menjadi fasilitator izin.
Prinsip Kehati-hatian, negara harus menghentikan aktivitas berbahaya. Dalam hukum lingkungan internasional, ada precautionary principle: "Jika ada potensi kerusakan besar dan tidak dapat dipulihkan, negara wajib menghentikan aktivitas tersebut meski bukti ilmiah belum lengkap" . Dalam realita kita, bukti sudah sangat lengkap. Banjir berulang dari tahun ke tahun, kayu gelondongan hanyut dari kawasan yang dibuka, hutan hilang di peta satelit, tanah longsor serentak di banyak wilayah. Menunda hanya akan memperbanyak korban. Menunggu penelitian berarti membiarkan desa-desa kembali hanyut. Tidak bertindak sama dengan menyetujui bencana berikutnya.
Pelajaran dari negara lain menjadi acuan , jangan menunggu korban jatuh lebih banyak. Filipina, Banjir Leyte 2004. Lebih dari 1.000 orang meninggal akibat deforestasi dan pembukaan lahan. Pemerintah baru melarang logging setelah tragedi besar itu terjadi, artinya terlambat. China, Banjir Yangtze 1998. Setelah banjir mematikan, Beijing segera melarang tebang habis, membekukan izin, dan melakukan reboisasi besar besaran. Dalam satu dekade, risiko bencana menurun drastis. Haiti, Kehancuran Bangsa Akibat Deforestasi. Haiti kehilangan hampir seluruh hutannya dan menjadi negara yang terus dilanda banjir serta tanah longsor. Tanpa hutan, sebuah negara kehilangan masa depan. Pelajarannya jelas, bangsa yang gagal melindungi hutannya akan membayar mahal dengan nyawa dan kehancuran sosial.
Mengapa Izin Harus Dibekukan Sekarang?
1 .Karena bencana sudah terjadi secara terbuka.
2.Karena provinsi provinsi terdampak menunjukkan tanda kehancuran ekologi akut.
3 Karena kayu gelondongan adalah bukti paling keras kerusakan hutan.
4.Karena negara wajib menghentikan sumber masalah, bukan menundanya.
5.Karena Tuhan sudah memperingatkan agar tidak merusak bumi.
Tuntutan kebijakan yang mendesak adalah:
Bekukan seluruh izin perkebunan dan tambang di lahan eks-hutan di provinsi terdampak, hentikan seluruh izin baru hingga evaluasi independen selesai, audit legal semua izin yang berpotensi bertentangan dengan tata ruang dan rehabilitasi hutan dan daerah aliran sungai sebagai prioritas nasional.
Banjir dan longsor ini adalah pesan keras dari alam, dari sejarah dunia, dan dari Tuhan bahwa Indonesia sedang menuju kehancuran ekologis bila hutan tak segera diselamatkan. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi negara selain bertindak. sekarang seyogyanya membekukan semua izin perusak hutan, demi rakyat, demi masa depan dan demi amanah Tuhan. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan