Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Membangun Keluarga Tangguh, Menurunkan Kemiskinan

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Tahun Pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebagai fondasi yang menandai babak penting dalam upaya membangun kedaulatan ekonomi rakyat dan memperkuat fondasi sosial bangsa: keluarga, desa, dan kesejahteraan. Arah kebijakan yang diambil Prabowo sejak awal menunjukkan keberlanjutan visi “membangun dari bawah, memperkuat desa dan keluarga sebagai pilar negara”. Dalam masa yang singkat — sekitar satu tahun pertama 2024-2025 — pemerintahan ini dihadapkan pada tantangan besar: pemulihan ekonomi pasca-pandemi, inflasi pangan global, dan penyesuaian fiskal akibat belanja pertahanan dan pangan. Namun, berbagai indikator sosial-ekonomi menunjukkan gerak awal positif, meski belum sepenuhnya mencapai target jangka menengah 2025.

Tulisan ini mencoba melihat capaian dan arah kebijakan pemerintahan Prabowo pada empat bidang utama:

1. Penurunan kemiskinan

2. Penanggulangan stunting,

3. Peningkatan pendapatan rakyat desa, dan

4. Pembangunan keluarga dan kependudukan melalui program BKKBN.

Analisis dilakukan secara objektif, dengan data nasional terkini dan catatan kritis terhadap pelaksanaan program lintas kementerian.

Target dan Capaian 2025: Gambaran Awal

Pemerintah menargetkan berbagai indikator sosial utama dapat menurun atau meningkat secara signifikan pada 2025. Berikut ringkasan target dan capaian terakhir:

Indikator         Target 2025     Capaian Terkini (2025)           Sumber:

Kemiskinan Nasional 7–8 %  8,47 % (Maret 2025)               BPS

Kemiskinan Ekstrem   0 %      0,85 % (≈2,38 juta jiwa)         BPS

Stunting          18,8 % 19,8 % (SSGI 2024)                              Indonesia.go.id

Pendapatan Rakyat Desa       Rp 2 juta per bulan    Data belum komprehensif nasional            DataIndonesia.id

Indeks Pembangunan Keluarga (iBANGGA)  ≥ 65     61,43 nasional (2023) BKKBN

Penggunaan Kontrasepsi Modern (mCPR)    63,41 %           60,9 %. Antaranews

Kelahiran Remaja (ASFR 15-19)         < 35 per 1.000 ≈ 42 per 1.000 (Sulut). Antaranews

Kebutuhan KB tak terpenuhi (Unmet Need)            < 8 %   9–10 % nasional. BKKBN.

Dari tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar capaian bergerak ke arah target, meski belum sepenuhnya tercapai. Kemiskinan dan stunting menurun; kualitas keluarga mulai membaik meski iBANGGA masih di kisaran “cukup berkembang”.

Penurunan Kemiskinan: Arah yang Tepat, Tantangan Belum Usai.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka kemiskinan nasional pada Maret 2025 turun menjadi 8,47 %, setara 23,85 juta jiwa. Angka ini merupakan penurunan dari 9,36 % pada Maret 2023, atau sekitar 1,1 juta penduduk miskin yang berhasil keluar dari garis kemiskinan dalam dua tahun terakhir. Program prioritas seperti Bantuan Langsung Pangan (BLP), Kredit Usaha Rakyat (KUR) Desa, dan revitalisasi Dana Desa produktif memberi dampak langsung pada kelompok miskin pedesaan. Selain itu, program “Desa Makmur” yang menekankan pembangunan infrastruktur pertanian dan distribusi pangan lokal turut memperbaiki daya beli di wilayah-wilayah yang sebelumnya stagnan. Namun demikian, tingkat kemiskinan ekstrem masih bertahan di 0,85 %, atau sekitar 2,38 juta jiwa. Pemerintah masih menghadapi masalah ketimpangan antarwilayah, terutama di kawasan timur Indonesia dan desa-desa non-produktif yang bergantung pada sektor informal. Ke depan, keberhasilan akan sangat ditentukan oleh kemampuan mendorong pendapatan berbasis produktivitas desa, bukan sekadar transfer tunai.

Stunting: Kemajuan Nyata, Tapi Target Masih Di Depan

Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan penurunan prevalensi stunting nasional menjadi 19,8 %, turun signifikan dari 24,4 % pada 2021. Target nasional 18,8 % untuk 2025 kini berada dalam jarak yang realistis, terutama karena koordinasi lintas kementerian semakin baik. BKKBN berperan kunci melalui program “Bangga Kencana” dan integrasi data keluarga berisiko stunting. Selain itu, program Makanan Tambahan Ibu Hamil dan Balita dari Kemenkes serta intervensi pangan bergizi lokal oleh Kementan memperkuat ketahanan gizi di desa-desa. Walau demikian, angka prevalensi di beberapa provinsi masih di atas 25 %, terutama di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Barat. Tantangan utama bukan lagi sekadar ketersediaan pangan, tetapi perubahan perilaku dan edukasi gizi keluarga. Keberhasilan nasional dalam menurunkan stunting kini juga menjadi indikator langsung kualitas keluarga, bukan semata urusan kesehatan.

Pendapatan Rakyat Desa: Dari Bantuan ke Produktivitas

Kementerian Desa menargetkan pendapatan per kapita masyarakat desa mencapai Rp 2 juta per bulan pada 2025. Walaupun belum tersedia data agregat nasional terbaru, indikasi peningkatan terlihat dari turunnya kemiskinan pedesaan serta naiknya indeks ketahanan ekonomi desa dalam survei BPS. Sejumlah program baru pemerintahan Prabowo diarahkan untuk memperkuat ekonomi rakyat desa:

Kredit Mikro Desa melalui BUMDes,

Program Petani Berdaulat, yang menghubungkan produksi pertanian dengan industri pangan lokal, dan Digitalisasi Desa untuk memperluas akses pasar UMKM. Kombinasi kebijakan ini menjadi fondasi penting untuk menurunkan kesenjangan desa-kota. Namun, keberlanjutan hasilnya sangat tergantung pada kapasitas pemerintah desa dalam mengelola dana dan inovasi lokal.

Pembangunan Keluarga: Fondasi SDM Jangka Panjang

Jika kemiskinan dan stunting adalah ukuran kesejahteraan material, maka pembangunan keluarga adalah indikator kesejahteraan sosial dan moral bangsa. BKKBN mencatat Indeks Pembangunan Keluarga (iBANGGA) nasional mencapai 61,43 pada 2023 — masih dalam kategori “berkembang” (target 65). Indeks ini mengukur tiga dimensi:

1. Ketentraman keluarga (ibadah, legalitas, perlindungan sosial),

2. Kemandirian keluarga (pendapatan, pendidikan, kesehatan),

3. Kebahagiaan keluarga (interaksi dan dukungan emosional).

Sejalan dengan itu, penggunaan kontrasepsi modern (mCPR) mencapai 60,9 %, mendekati target 63,4 %.

Namun kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (Unmet Need) masih di sekitar 9–10 %, menandakan masih ada jutaan pasangan usia subur belum terlayani optimal. Angka kelahiran remaja (ASFR 15-19) masih cukup tinggi di beberapa daerah (misalnya 42 per 1.000 di Sulawesi Utara). Masalah ini perlu menjadi perhatian serius, karena berkaitan langsung dengan kemiskinan siklus, pendidikan remaja, dan potensi stunting generasi berikutnya. Program edukasi remaja, Generasi Berencana (GenRe), kini diperkuat oleh BKKBN melalui kurikulum sekolah dan kegiatan digital. Jika konsisten dijalankan, kebijakan kependudukan ini akan menjadi pintu masuk bagi bonus demografi yang produktif, bukan beban sosial baru.

Evaluasi dan Tantangan Lintas Sektor

Satu tahun pemerintahan baru belum cukup untuk menghasilkan perubahan struktural besar, tetapi sudah memberi arah jelas. Meski begitu, ada sejumlah tantangan yang perlu diakui secara jujur

. Sinkronisasi data lintas kementerian masih menjadi kendala. BKKBN, BPS, dan Kemendesa kerap memiliki basis data yang belum sepenuhnya terintegrasi.

. Kesenjangan wilayah antara barat dan timur Indonesia tetap tinggi. Pembangunan desa di Pulau Jawa jauh lebih cepat daripada di NTT atau Papua.

. Kualitas SDM pelaksana di daerah (kader KB, penyuluh desa, tenaga kesehatan) masih bervariasi.

. Ketergantungan pada bantuan tunai harus segera digantikan dengan skema pemberdayaan produktif.

Namun di sisi lain, kolaborasi lintas kementerian menunjukkan peningkatan signifikan. Sinergi antara BKKBN, Kemenkes, Kemendesa, dan Kemensos kini semakin intensif, terutama dalam intervensi keluarga berisiko stunting dan penguatan ekonomi rumah tangga.

Rekomendasi dan Arah ke Depan

Agar capaian tahun pertama menjadi fondasi kuat menuju 2029, ada beberapa langkah strategis yang dapat diambil:

. Perkuat basis data keluarga nasional. Integrasikan data keluarga BKKBN dengan data kemiskinan BPS dan data desa Kemendagri, sehingga setiap program sosial berbasis data mikro, bukan asumsi.

. Fokus pada keluarga berisiko tinggi. Prioritaskan intervensi pada keluarga dengan tiga risiko utama: miskin, remaja menikah dini, dan gizi buruk.

. Dorong produktivitas desa, bukan hanya bantuan. Alihkan sebagian Dana Desa ke program inovasi ekonomi (agroindustri, pariwisata, energi lokal).

. Modernisasi pelayanan KB dan kesehatan keluarga. Gunakan layanan digital, konseling daring, dan kolaborasi dengan bidan serta tenaga kesehatan komunitas.

. Bangun kampanye nasional “Keluarga Tangguh Indonesia”. Kampanye ini bisa menjadi gerakan moral dan edukatif lintas sektor, memperkuat nilai gotong royong, gizi, pendidikan, dan tanggung jawab keluarga.

Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto belum menuntaskan masalah struktural, tetapi telah menunjukkan arah perubahan yang konkret dan terukur. Angka kemiskinan menurun, prevalensi stunting membaik, desa mulai bergeliat, dan pembangunan keluarga mulai mendapat tempat strategis dalam kebijakan nasional. Jika konsistensi kebijakan ini dijaga — dengan koordinasi lintas kementerian, berbasis data, dan didukung oleh partisipasi masyarakat — maka dalam lima tahun ke depan Indonesia berpeluang besar mewujudkan visi besar Prabowo: kedaulatan pangan, kesejahteraan rakyat desa, dan keluarga tangguh sebagai pilar bangsa. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment