Dua Pedang Prabowo : KDM-PYS Fenomena Kepemimpinan Baru Indonesia

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Prabowo Subianto tengah menapaki babak baru kepemimpinan nasional dengan visi besar: menjadikan Indonesia negara maju yang berdiri di atas tata kelola pemerintahan yang bersih, kuat, dan berpihak kepada rakyat. Namun, jalan menuju cita-cita itu tidak mudah. Negeri ini sudah terlalu lama dilingkupi oleh praktik salah urus, birokrasi korup, dan para penikmat kekayaan negara yang lihai membungkus kepentingan pribadinya dengan kata “aturan”. Mereka lupa, to do what is right, you have to know what is true. Yang tampak benar belum tentu betul; yang tampak sah bisa saja culas jika dibuat untuk melanggengkan kepentingan segelintir orang.

Prabowo tahu, untuk menebas semak belukar itu, ia tidak cukup hanya dengan slogan atau moral politik. Ia membutuhkan dua pedang bermata tajam - dua tokoh dengan karakter berbeda yang bekerja dari dua arah: Dedi Mulyadi (KDM) dan Purbaya Yudhi Sadewa (PYS). Keduanya adalah cermin dari strategi besar Prabowo: membangun pemerintahan yang berpihak kepada rakyat dan sekaligus memperkuat tata kelola keuangan negara yang bersih serta efektif.

Dedi Mulyadi: Pemimpin dengan Rasa dan Karsa.

KDM hadir di tengah masyarakat seperti embun di musim kering. Ia bukan pejabat yang sibuk dengan seremonial, bukan pula politikus yang gemar beretorika. Ia memilih hadir di tengah penderitaan rakyat, menyapa petani di sawah, menengok rumah-rumah reyot, berbagi kisah dengan warga yang lapar dan lelah oleh kerasnya hidup. Inilah model kepemimpinan yang berdarah rakyat — memimpin dengan rasa dan karsa, bukan hanya akal dan angka. KDM memanifestasikan gagasan Prabowo tentang development for the people - pembangunan yang berpihak kepada manusia, bukan sekadar infrastruktur dan data statistik.

Dalam dirinya, publik melihat wajah baru politik: pejabat yang tidak berjarak, pemimpin yang bekerja dengan “heart and soul”. Karena itu, KDM cepat menjadi media darling, sosok yang dielu-elukan rakyat karena keberaniannya tampil berbeda dan keberpihakannya yang nyata. Ia bukan “pahlawan di podium”, melainkan “teman dalam penderitaan rakyat”.

Namun seperti pedang yang tajam, KDM pun menimbulkan rasa sakit bagi sebagian elite lama. Empati dan gaya kepemimpinannya yang lugas dianggap tidak lazim, bahkan mengancam kenyamanan mereka yang selama ini bersembunyi di balik tumpukan regulasi. KDM menyingkap wajah asli kekuasaan: bahwa pemerintahan yang benar bukan diukur dari kepatuhan administratif, tetapi dari keberanian membela manusia yang tertindas.

Purbaya Yudhi Sadewa: Antitesa Kapitalisme yang Membelenggu.

Jika KDM menembus hati rakyat, maka PYS menembus jantung sistem. Ia datang tanpa sorotan berlebihan, bahkan sempat diremehkan karena tidak berasal dari lingkar “nama besar” yang sudah mapan di birokrasi keuangan. Namun dalam waktu singkat, PYS membalik persepsi itu. Ia membuktikan bahwa profesionalisme sejati bukan tentang popularitas, melainkan keberanian intelektual dan moral untuk mengoreksi yang salah. Selama ini, wajah kebijakan fiskal Indonesia seolah hanya milik satu figur - Sri Mulyani - yang dielu-elukan sebagai simbol teknokrasi terbaik.

Namun PYS hadir membawa antitesa terhadap paradigma liberal yang sudah terlalu lama mendikte arah ekonomi bangsa. Ia menegaskan bahwa keuangan negara adalah alat kemakmuran rakyat, bukan instrumen kepentingan pasar. PYS bekerja dengan sistematis. Ia memastikan setiap pendapatan negara masuk utuh, tanpa dikorupsi oleh white-collar criminals.  Ia menertibkan celah di pajak, bea cukai, dan lembaga keuangan negara yang selama ini menjadi sarang kebocoran. Ia menarik lebih dari Rp200 triliun dana idle di Bank Indonesia agar dapat segera disalurkan ke bank-bank pemerintah, mempercepat belanja publik, dan menggerakkan ekonomi rakyat.

Kebijakannya yang berani - seperti menahan kenaikan cukai rokok yang sudah berada di level “firaun” - menunjukkan keberpihakan pada industri rakyat, petani, dan pekerja kecil. Ia juga mulai menelisik dalam kinerja BUMN seperti Pertamina dan PLN yang sarat inefisiensi. Bagi PYS, governance yang baik adalah akar kemandirian nasional - bukan sekadar kerapian administrasi, tetapi keberanian moral untuk berkata “tidak” kepada kebijakan yang menjerat rakyat.

Kini PYS mulai dikenal luas sebagai “birokrat selebritas”, fenomena langka di republik ini: pejabat teknokrat yang dicintai rakyat karena ketegasan dan keberpihakan pada kepentingan nasional. Di sisi lain, ia menjadi momok bagi pejabat rakus dan pemain proyek yang selama ini nyaman bermain di area abu-abu. Mereka yang menyerangnya justru tanpa sadar menyingkap dirinya sendiri: para penikmat sistem lama yang kini merasa terancam.

Korupsi dan Salah Urus: Luka Lama yang Ingin Disembuhkan.

Fakta-fakta resmi tidak bisa dibantah. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), potensi kebocoran keuangan negara akibat salah urus, korupsi, dan inefisiensi mencapai Rp2.000 hingga Rp3.000 triliun per tahun. Laporan KPK 2023 mencatat, lebih dari 70% kasus korupsi melibatkan pejabat publik, dengan kerugian mencapai Rp42,6 triliun per tahun. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah bukti bahwa korupsi bukan hanya perilaku, tapi sistem yang cacat secara struktural. Dan Prabowo paham: memperbaikinya tidak bisa dengan cara lama, tidak dengan orang-orang lama, dan tidak dengan cara berpikir lama.

Dua Pedang, Satu Arah

KDM dan PYS adalah dua mata pedang Prabowo. Keduanya bekerja dari arah berbeda, tapi menuju satu tujuan: menegakkan pemerintahan untuk rakyat. KDM menghidupkan kembali roh kemanusiaan dalam pemerintahan, sementara PYS memastikan setiap rupiah uang negara kembali untuk kemakmuran rakyat. Yang satu memimpin dengan empati, yang satu memimpin dengan integritas.

Keduanya adalah wujud konkret good governance dan good corporate governance yang menjadi syarat mutlak Indonesia untuk menjadi negara maju. Tak heran bila kini muncul upaya menggiring opini, memecah, bahkan mengadu domba keduanya. Kehadiran KDM dan PYS telah mengguncang kenyamanan lama. Setiap langkah mereka adalah luka baru bagi mereka yang selama ini hidup dari “kebocoran sistem”. Namun sejarah selalu berpihak kepada yang berani. KDM dan PYS tidak sekadar pejabat — mereka adalah simbol dari kebangkitan paradigma baru kepemimpinan nasional: kepemimpinan yang berhati nurani sekaligus berdisiplin sistem.

Menembus Level Berpikir Lama.

Prabowo tampaknya sangat memahami pesan Albert Einstein: “The problems we face cannot be solved by the same level of thinking that created them.” Masalah bangsa ini lahir dari cara berpikir yang salah — birokrasi yang korup, ekonomi yang dikuasai segelintir, dan pejabat yang jauh dari rakyat.

Untuk menebas semua itu, Prabowo memilih dua pedang bermata tajam: KDM, yang menebas jarak antara pemerintah dan rakyat; dan PYS, yang menebas kebocoran antara negara dan keuangan rakyat. Keduanya kini menjadi fenomena kepemimpinan baru — dua sisi pedang yang menandai peradaban politik baru Indonesia: negara yang kuat, bersih, dan tetap berjiwa manusiawi. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan.

Mulyono D PrawiroComment