Sosialisme Ala Presiden Prabowo Subianto, Jalan Baru Ekonomi Berkeadilan Nusantara

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Secara historis, sosialisme lahir sebagai reaksi terhadap ketimpangan sistem kapitalis yang menempatkan modal sebagai pusat kekuasaan ekonomi. Karl Marx menulis dalam Critique of the Gotha Programme (1875): “Dari masing-masing menurut kemampuannya, kepada masing-masing menurut kebutuhannya.” Prinsip inilah yang menjadi dasar sosialisme—bahwa kekayaan dan hasil produksi tidak boleh hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi harus kembali kepada rakyat sebagai pemilik sejati. Namun, sosialisme ala Indonesia tidak identik dengan komunisme atau sistem negara totaliter. Ia lebih dekat kepada ekonomi sosial berkeadilan — suatu bentuk sosialisme demokratis yang memberi ruang kepada pasar, tetapi dengan pengawasan negara yang kuat dan berpihak pada rakyat kecil.

Pemikir Inggris G.D.H. Cole dalam Social Theory (1920) menyebut sistem ini sebagai “guild socialism”, di mana organisasi ekonomi rakyat seperti koperasi dan serikat menjadi dasar produksi, sedangkan negara bertindak sebagai penjaga keseimbangan sosial. Dalam kerangka modern, Karl Polanyi melalui The Great Transformation (1944) mengingatkan bahwa pasar yang dibiarkan tanpa kendali moral akan menghancurkan tatanan sosial. Oleh sebab itu, negara harus “reembed”(menyematkan kembali) ekonomi ke dalam nilai kemanusiaan, bukan sekadar angka pertumbuhan. Nampaknya inilah arah yang kini coba dihidupkan kembali oleh Prabowo Subianto: ekonomi sosial yang berpijak pada Pancasila dan gotong royong, di mana negara hadir untuk melindungi rakyat dan memastikan bahwa hasil pembangunan dinikmati oleh semua, bukan hanya oleh segelintir elit ekonomi.

Ketimpangan Kekayaan dan Dominasi Ekonomi Kaum Elit.

Realitas hari ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi liberal yang diterapkan sejak reformasi justru memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Berdasarkan laporan Credit Suisse (2022), 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai lebih dari 45% total kekayaan nasional, sementara 60% populasi terbawah hanya menguasai kurang dari 10%. Kondisi ini memperlihatkan terjadinya oligarki ekonomi yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 Asli.  Bung Hatta dalam pidato tahun 1957 menegaskan, “Negara tidak boleh menjadi penonton di tengah rakyat yang menderita; negara wajib ikut serta mengatur dan menjamin bahwa kemakmuran dinikmati oleh seluruh rakyat.” Semangat inilah yang dihidupkan Prabowo: mengembalikan ekonomi ke jalan konstitusi asli, menolak dominasi korporasi besar dan asing, serta memastikan rakyat menjadi pelaku utama ekonomi nasional.

Membangun dari Desa: Ekonomi Rakyat sebagai Fondasi

Prabowo menempatkan desa sebagai pusat gravitasi ekonomi nasional. Ia meyakini bahwa kebangkitan bangsa harus dimulai dari akar rumput, dari rakyat yang bekerja, berproduksi, dan berkreasi di tingkat lokal. Melalui program Koperasi Merah Putih Desa, Prabowo mendorong agar setiap kegiatan ekonomi rakyat—pertanian, peternakan, perikanan, hingga industri rumah tangga—dikelola oleh koperasi desa. Hasil produksi dan nilai tambah dikembalikan kepada masyarakat melalui sistem bagi hasil yang adil.

Model ini sejalan dengan gagasan “ekonomi kerakyatan” Bung Hatta yang menegaskan bahwa koperasi adalah “soko guru perekonomian nasional.” Dengan membangun ekonomi dari desa, rakyat tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi subjek utama yang menentukan arah masa depan bangsanya.

Swasembada Pangan dan Mekanisasi Pertanian.

Kemandirian ekonomi tidak mungkin dicapai tanpa kedaulatan pangan. Prabowo menegaskan bahwa pangan adalah “senjata strategis bangsa.” Negara yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri akan menjadi lemah dan tergantung. Karena itu, kebijakan pangan diarahkan untuk menjamin harga pangan stabil dan terjangkau, memberikan bibit unggul dan pupuk murah, mendorong mekanisasi pertanian modern, dan memastikan  kemandirian petani. Langkah ini adalah bentuk konkret dari prinsip sosialisme: produksi dilakukan bersama, hasilnya dinikmati bersama. Negara hadir memastikan keseimbangan antara petani sebagai produsen dan rakyat sebagai konsumen.

Perlindungan Sosial: Jaminan untuk Keluarga Prasejahyera dan  Miskin.

Dalam kerangka sosialisme ala Prabowo, pemerintah tidak boleh membiarkan rakyat miskin berjuang sendiri. Negara wajib menyediakan jaminan pendidikan dan kesehatan gratis bagi keluarga miskin serta memfasilitasi mobilitas sosial. Ia juga mendorong pendirian Sekolah Rakyat di desa-desa—tempat anak-anak dari keluarga tidak mampu bisa belajar tanpa biaya. Pendidikan, bagi Prabowo, adalah jalan utama membebaskan rakyat dari rantai kemiskinan.

Program MBG (Makan Bergizi Gratis): Investasi Gizi Bangsa.

Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu terobosan besar pemerintahan Prabowo. Program ini menyasar 82 juta anak sekolah, ibu hamil, dan anak-anak stunting. Program ini bukan sekadar bantuan sosial, melainkan investasi sumber daya manusia jangka panjang. Sebab, anak yang bergizi baik akan tumbuh sehat, cerdas, dan produktif—modal utama bangsa untuk menatap masa depan.

Gerakan ALADIN: Rumah Layak untuk Hidup Bermartabat.

Prabowo memahami bahwa kesejahteraan rakyat tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari kelayakan tempat tinggal. Karena itu, perlu didorong agar Prabowo mau melaksanakan  satu gagasan berkaitan dengan papan rakyat yaitu  Gerakan Bedah Rumah Rakyat Prasejahtera dan Miskin dengan program ALADIN (Atap, Lantai, Dinding). Prinsipnya sederhana: tidak semua rakyat miskin perlu rumah baru. Cukup dilakukan renovasi gotong royong terhadap bagian paling vital—atap, lantai, dan dinding—agar rumah menjadi sehat dan manusiawi.

Bila atap bocor, diganti agar tidak lembab; bila lantai masih tanah, disemen agar bersih dan higienis; bila dinding reyot, diperbaiki dengan bahan lokal yang kuat. Kemudian diikuti dengan bantuan penerangan listrik, air bersih dan sanitasi. Pelaksanaan dilakukan melalui gerakan nasional gotong royong: lelang kepedulian untuk pendanaanny,  dari keluarga kaya, CSR dan sumbangan lainnya. Pelaksanaannya oleh masyarakat bersama TNI dan Polri melalui program TNI Masuk Desa, Bakti Bhayangkara, dan kerja sosial lokal lain. Program ALADIN bukan hanya pembangunan fisik, tetapi pembangunan martabat manusia. Ia mencerminkan nilai-nilai sosialisme Nusantara: solidaritas, kebersamaan, dan kemanusiaan yang aktif.

Reforma Agraria dan Nasionalisasi Sumber Daya Alam.

Prabowo berpegang pada prinsip konstitusional bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Karena itu, ia mendorong reforma agraria dan penataan ulang kebijakan kehutanan serta pertambangan. Tanah-tanah yang dikuasai segelintir korporasi besar akan dikaji ulang agar lebih banyak dimanfaatkan untuk petani kecil, koperasi desa, dan masyarakat adat. Langkah ini merupakan koreksi terhadap praktik liberalisasi sumber daya alam yang selama ini hanya memperkaya oligarki dan memperlebar ketimpangan.

Menaikkan Derajat Kaum Rentan dan UMKM.

Prabowo memberi perhatian khusus kepada kelompok rentan seperti petani gurem, nelayan kecil, dan penduduk miskin kota. Mereka akan diberi akses modal, pelatihan, dan sarana produksi murah agar dapat naik kelas menjadi pelaku ekonomi mandiri. Selain itu, UMKM dan pedagang mikro menjadi prioritas utama dalam kebijakan fiskal, dan menghapus tunggakan kredit para UMKM.  Pemerintah memberikan pajak  ringan dan insentif usaha, kredit mikro berbunga rendah serta akses pasar berbasis koperasi dan digital.  Dengan kebijakan ini, negara menegakkan fungsi sosialnya sebagaimana dijelaskan oleh Polanyi: pasar harus dikendalikan oleh nilai kemanusiaan dan keadilan, bukan sebaliknya.

Tantangan: Melawan Pasar Bebas dan Oligarki.

Perubahan sistem ekonomi bukan hal mudah. Dua dekade penerapan pasar bebas telah menumbuhkan oligarki dan budaya hedonistik. Namun Prabowo memahami bahwa kesejahteraan rakyat tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar semata. Ia mulai melakukan switching system dari ekonomi liberal menuju ekonomi sosial berkeadilan. Model ini bisa disebut sebagai “Sosialisme Nusantara” — sistem yang tidak meniru Barat atau Timur, tetapi berpijak pada nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan kemandirian bangsa. Negara hadir aktif sebagai penjaga keseimbangan antara efisiensi dan keadilan.

Kembali ke Amanat Konstitusi Asli.

Arah ekonomi Prabowo pada akhirnya bermuara pada cita-cita untuk mengembalikan semangat UUD 1945 Asli beserta Pembukaannya. Konstitusi hasil amandemen 2002 dinilai terlalu liberal dan membuka ruang dominasi pasar. Karena itu, sejumlah kalangan menilai bahwa “jalan pulang ke UUD 1945 Asli” menjadi syarat agar ekonomi kembali berpihak kepada rakyat, bukan kepada modal. Seperti yang pernah ditegaskan Bung Hatta: “Sosialisme Indonesia adalah sosialisme yang sesuai dengan kepribadian bangsa, berdasar Pancasila dan gotong royong, bukan sosialisme impor.”

Sosialisme ala Prabowo bukanlah ide utopis, melainkan sistem realistis yang berpijak pada jati diri bangsa. Negara hadir aktif sebagai pelindung rakyat. Inilah wajah baru ekonomi Indonesia yang menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan, desa sebagai poros kekuatan, dan keadilan sosial sebagai tujuan akhir. “Kita ingin Indonesia yang kuat, adil, dan makmur. Dan itu hanya bisa terwujud jika rakyat menjadi pemilik sejati tanah airnya sendiri.” Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment