Otonomi Daerah : Solusi atau Beban

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Desentralisasi kewenangan yang melahirkan otonomi daerah adalah buah dari "kebencian" terhadap Soeharto dan rezim Orba. Betapa kuat dan tangguhnya pak Harto sebagai pengendali tunggal kekuasaan dalam pemerintahannya, dan pada periode tertentu  dalam kurun waktu  32 tahun berkuasa, ternyata efektif dan berhasil  membawa berbagai kemajuan pembangunan.  Pak Harto diangkat sebagai Bapak Pembangunan, karena berbagai keberhasilan. Pak Harto berhasil membangun infra struktur jalan, dam dan  irigasi yang membawa kemajuan industri  dan swasembada pangan,  membangun kebutuhan mendasar berupa SD inpres, Puskesmas, Posyandu, serta mengentaskan keluarga pra sejahtera dan keberhasilan dalam pengendalian penduduk dan keluarga berencana.

Hanya saja dalam upaya mewujudkan stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dilaksanakan dengan menyumbat peran serta dan kebebasan, serta suara rakyat sedemikian rupa yang menimbulkan  ekses yang dianggap melanggar hak azasi manusia, dan akhirnya   menimbulkan perlawanan  dengan lahirnya gerakan Reformasi yang tidak saja memaksa pak Harto mundur tetapi juga  membuka kesempatan untuk mengoreksi  berbagai kebijakannya. Desentralisasi dan otonomi daerah serta demokrasi adalah  bentuk system ketatanegaraan dan  pemerintahan yang monumental sebagai antitesa system Orba Soeharto,  berlandaskan UUD 2002 hasil Amandemen.   Setelah sekian lama  pelaksanaan  berbagai system dan kebijakan  kebijakan termasuk demokrasi dan otonomi daerah, muncul pemikiran dan kebutuhan untuk mengevaluasi system yang dilahirkan di era reformasi yang diacu dan berjalan sampai dengan saat ini. Dalam pelaksanaan  system itu  nampak bahwa apa yang disaksikan, apa yang dirasakan, dan apa yang dialami oleh  masyarakat seolah bangsa ini terserabut dari akar budayanya, dan    arah perjalanan bangsa ini melenceng dari  cita-cita para pendiri bangsa. Panduan/guidance yang diwariskan para pendiri bangsa untuk mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara mengantar ke pintu gerbang ke emasan yaitu Pancasila dan UUD 45 Asli yang merupakan karya unggul-masterpiece yang seharusnya dipelihara dan dikembangkan, bukan diacak-acak sehingga bangsa ini tersesat dan  berada pada system super liberal dan menghasilkan potensi perpecahan bukan persatuan, kesenjangan bukan  kemakmuran, individualisme bukan kebersamaan.

Berbagai system yang diberangus sebagai tuntutan reformasi seperti KKN hidup kembali seolah "reborn" dan  makin  merajalela bahkan menjadi budaya baru. Dwi fungsi bangkit kembali malah merebak dan di legalize dengan undang-undang (ASN). System ekonomi kerakyatan dengan azas kekeluargaan malah dijalankan dengan membunuh perekonomian rakyat sebagai hasil dari  kapitalisme dan ekonomi pasar bebas. Intinya penyelenggaraan pemerintahan seperti kembali lagi ke zaman Orba. Tapi mungkin  model seperti itu yang lebih pas-match untuk  meresponse situasi dan kondisi pada saat  ini. Seolah bangsa ini terkena kutukan-curse of Soeharto. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah  selama ini tidak sepenuhnya mencapai  tujuan hakiki otonomi tersebut, malah ada kecenderungan adanya upaya dan praktek resentralisasi. Pembiayaan  otonomi daerah makin  menjadi beban anggaran pemerintah pusat yang terus  bertambah serta memberatkan beban APBN.  Selain itu masalah otonomi daerah bukan hanya  pelaksanaannya saja yang perlu mendapatkan perhatian tetapi juga masalah jumlahnya yang terus akan  bertambah melihat jumlah usulan pemekaran provinsi dan kabupaten kota yang ada. Masalah otonomi daerah selama ini menunjukkan adanya  ketergantungan akan anggaran dari pusat, bukan kemandirian pembiayaan seperti di cita-citakan.

Beberapa waktu lalu, Wakil Menteri Dalam Negeri mengatakan pihaknya menerima 337 usulan pembentukan daerah otonomi baru, meliputi 42 usulan pemekaran provinsi, 248 pemekaran kabupaten, 36 pemekaran kota, 6 pemekaran daerah istimewa, dan 5 pemekaran otonomi khusus. Jumlah yang ada saat ini provinsi  38 dan kabupaten kota 514, terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota, yang didalamnya  terdapat 7.277 kecamatan/distrik, 75.265 desa dan 8.498 kelurahan. Pertanyaannya,  berapa jumlah ideal seharusnya daerah otonomi provinsi dan kabupaten kota? Menentukan jumlah ideal sangat tergantung dari beberapa faktor seperti luas wilayah dan karakter geografis, jumlah penduduk, keberagaman budaya, potensi ekonomi dan kemampuan pemerintah dalam mengelola otonomi tersebut. Khusus mengenai potensi ekonomi, daerah baru harus mampu membiayai sebagian besar kebutuhan anggarannya sendiri melalui pendapatan asli daerah (PAD), bukan hanya mengandalkan dana transfer dari pusat. Jumlah daerah otonom yang terlalu banyak akan membebani birokrasi dan  anggaran negara.

Masalah yang menyangkut luas wilayah dan jumlah penduduk serta pelayanan kepada masyarakat sebenarnya tidak terlalu relevan lagi mengingat kemajuan  bahkan  revolusi teknologi informasi yang luar biasa, yang memungkinkan komunikasi dan pelayanan lebih mudah, lebih cepat, relatif murah dan aksesable.   Pelayanan bisa dilakukan  tanpa kantor dan tanpa kertas, paperless and office without wall,  sehingga  penduduk bisa meminta dan mendapatkan pelayanan dari rumah. Menyediakan pusat pusat pelayanan yang terjangkau oleh mayarakat, aksesable dan affordable, jauh lebih penting dari membuat daerah otonomi baru yang memerlukan pembangunan berbagai fasilitas phisik yang mahal pada daerah otonomi baru tersebut.

Menurut beberapa kajian,  jumlah ideal daerah otonom di Indonesia tergantung pada efisiensi pelayanan publik dan keseimbangan antara kepentingan lokal dan nasional. Idealnya provinsi bisa dibatasi diantara 30-40 provinsi, sedang kabupaten kota diantara 400-500 . Tetapi secara spesifik tidak ada yang mengatur tentang batasan jumlah otonomi  provinsi maupun kabupaten kota. Yang menjadi persoalan paling strategik dan krusial yang harus menjadi pertimbangan adalah masalah anggaran. Seperti kita ketahui bahwa sejalan dengan perkembangan pertumbuhan ekonomi nasional yang sangat bergantung pada kondisi dalam negeri disamping  masalah global yang tidak menentu, mengakibatkan pemerintah kesulitan untuk mengembangkan sumber sumber untuk meningkatkan pendapatan atau revenue yang pada gilirannya akan meningkatkan dan menyehatkan APBN.

Tahun tahun mendatang masalah mungkin belum surut, malah akan bertambah sulit. Menurut data  dari Kementerian Keuangan, total belanja daerah di Indonesia  tahun 2024 jumlahnya  Rp1.389,76 triliun. Belanja daerah ini mencakup beberapa komponen. Belanja Pegawai dianggarkan Rp465,80 triliun. Belanja Barang dan Jasa Rp394,08. Belanja Modal Rp218,81 triliun. Belanja Lainnya Rp 311,05 triliun. Jadi rata rata biaya rutin untuk tahun  2024 per provinsi adalah Rp36, 57 triliun dan untuk rata-rata kabupaten kota Rp2,70 trliun. Angka ini adalah rata-rata berdasarkan total anggaran nasional yang dibagi secara merata di seluruh provinsi dan kabupaten / kota. Jumlah biaya rutin  akan makin besar jumlahnya bila jumlah daerah otonomi tidak terkendali dan bertambah terus jumlahnya sehingga  beban pemerintah pusat akan bertambah besar dan berat. Dengan demikian anggaran  pembangunan untuk  mensejahterakan masyarakat akan makin kecil koridornya disebabkan sebagian besar anggaran habis untuk  biaya rutin dan  beban lain yang wajib dipenuhi. Anggaran untuk pembiayaan pembangunan itu penting,  tetapi  perlu diingat bahwa masalahnya bukan hanya jumlah tetapi bagaimana membelanjakannya. It is not only  a matter of numbers but also how to spend. Terkait dengan itu seringkali masalah pembangunan sosial- social development tidak menjadi prioritas oleh karena dianggap sebagai beban-cost bukan revenue-profit centre. Padahal social development itu adalah investasi masa depan.

Mungkin sudah saatnya bangsa ini berpikir cerdas dan realistik serta  futuristik jauh kedepan agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan  bisa lebih efektif dan efisien sehingga upaya untuk  mencapai sasaran dan target  secara bertahap bisa tercapai lebih  terukur untuk  mewujudkan Indonesia Emas 2045, karena adanya  dukungan anggaran pendapatan dan belanja negara  yang makin besar dan sehat karena tidak terbebani oleh hutang dan defisit yang makin besar. Harus cerdas dalam membuat skala prioritas-priority setting, dan harus mau berkorban untuk mendahulukan hal yang penting dan  strategik. Bilamana fokus untuk melaksanakan sesuatu pembangunan yang strategik  maka harus berkorban untuk kebutuhan yang lain,  focus demands sacrifices. Otonomi daerah tetap penting untuk pemerataan dan pengembangan potensi wilayah dalam pembanguanan, tetapi harus berani melakukan evaluasi mendalam agar pelaksanaannya sesuai dengan standard yang di cita-citakan,  tidak hanya di lihat dari aspek tertentu saja, seperti politik dan atau lainnya, agar bangsa ini menjalankan otonomi daerah  secara benar dimana provinsi dan kabupaten kota bisa mengantarkan setiap penduduk dan masyarakatnya lebih sejahtera secara mandiri.

Perlunya evaluasi menyeluruh untuk mendapatkan cara-cara baru dalam harmonisasi dan keseimbangan kepentingan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan sentralistik dan federalisme. Langkah mendasar yang strategik adalah mempertimbangkan dan meresponse gagasan  kembali kepada UUD 45 Asli kemudian disesuaikan dengan cara Adendum untuk mengembalikan arah dan system  ketatanegaraan seperti cita cita the founding fathers, bukan system yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment