Mengenang Tokoh-tokoh yang Mengantar Berjuang sejak Kecil
Sejak tahun ini keluarga pak Haryono Suyono telah menyumbangkan PAUD dan pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat yang indah di Pucangsewu. Fasiltas itu diberi nama sebagai Pusat Pemberdayaan Keluarga Siti Padmirah di Kampung Pucang sewu Pacitan, kampung halaman tiga bersudara anak-anak bapak dan Ibu Alimoeso, yaitu tiga bersudara pak Haryono Suyono, Almarhum Mas Suyoto dan mas Slamet Sugianto.
Namun sejak pak Haryono Suyono dilajirkan di tahun 1938, sekitar 85 tahun lalu, Desa Pucangsewu belum memiliki sekolah dasar, paling tinggi Sekolah Dasar sampai kelas tiga saja di Blimbing sekitar 600 m dari kediaman keluarga pak Harono di Pojok sebelah jembatan di Pucang Sewu. Karena itu pak Haryono, anak seorang guru SD Alarhum Pak Alimoeso dan almarhumah Ibu Siti Padmirah mulai dikenalkan pada sekolah di SD Beijing tersebut. Tatkala Jepang Kembali menduduki Pacitan, mereka menggunakan kediaman Ibu Siti Padmirah dan warungnya sebagai Markas pasukannya di Pucangsewu. Setiap pagi Pak Haryono segera lari bergegs ke sekolah setelah mengikuti “upacara bendera” pasukan Jepang yang bermarkas di kediaman. Biarpun Ibu Siti tidak sekolah tetapi semangat menjamin bahwa anak-anak beliau sekolah sungguh sangat tinggi.
Bagi pak Haryono SD di Mblimbing tempat beliau sekolah merupakan awal pemupukan dan pemberdayaan pribadi ampai gelar akademis tertinggi di luar negeri. Perkenalan drngan orang asing pertama terjadi di kediaman rumah Pucangsewu sebagai Markas tentara Jepang. Bagi pak Haryono yang berani, awal sosialisasi dengan para prajurit Jepang itu merupan pengalaman pertama bergaul dengan orang asing.
Setelah keadaan kembalinya pendudukan Jepang dan Belanda bertabah gawat keluarga Ibu Siti Padmirah mengungsi ke Desa Ngampo, tempat tinggal ibu dan Eyang Wiryosentono bapak Ibu dari ibu Siti Padmirah. Pak Haryono belajar prihatin dan puasa dari eyang Wiryosentono dengan tekun. Tetapi sekolahnya di SD dilanjutkan di Semanten tidak jauh dari Kampung Ngampo, hanya kalau hujan dan banjir terpaksa tidak sekolah karena banjir. Pak Haryono, biarpun sekolah tidak lama tetapi sempat naik ke kelas 5 dan sebelum Kembali ke Pucangsewu karena sudah aman. Setlah kmbali sekolah dilanjutkan pada SD Diponegoro yang tetaknya berhadapan dengan alun-alun Pacitan yang tergolong luas pada waktu itu. SD Diponegoro tergolong SD yang Elite. Karean perbedaan waktu belajar di SD Diponegoro dengan SD di tempat pengungsian, maka biarpun talah ada kenaikan kelas, di SD Kota tetap ada kenaikan kelas. Haryono muda yang baru naik ke kelas 5, langsung naik lagi ke kelas enam.
Untung biarpun belum menggunakan system belajar Bersama kawan, pada kelas enam ini, guru kami pak Suroto sungguh luar biasa. Pada tahun 1959 telah mengtrapkan “elajar bersama kawannya” kepada para siswa. Angkatan yang beruntung waktu itu adalah Suratno anak terpandai di kelas enam kami, anak seorang tukang kebun yang berhasil, Sunarto, anak pegawai swasta, Haryono, anak seorang guru, Suryati, anak kepala Dinas Kehewnan, Hartini dan banyak lainnya, yang tidak saja belajar bersama di kediaman pak guru tetapi membantu pak guru menilai hasil test dan ikut mengisi rapot yang samuanya tulisan tangan.
Pada timgkat SD tersebut kami mulai belajar dab hidup tolong menolong sehingga rasanya saying pada wakt ujian akhir dan kami lulus dengan bai terpisah jauh pada sekoalh SMP yang berbeda-beda. Pak Suratno sekolah guru dan sempat menjabat sebagai Kepala SMP di Kediri, Pak Sunarto sempat menjadi pengusaha swasta, Suryati (almarhum) sempat menjadi guru SKP di Bojonegoro, Hartini sempat menjadi guru di Yoyakarta, dan banyak lagi yang mencapai cita-cita tinggi biarpun anak Pacitan.