Mata Uang Lokal dalam Perjalanan Internasional

Setiap perjalanan internasional memerlukan mata uang lokal sesuai negara tujuan, karena hanya dengan mata uang lokal semua transaksi pembelian bisa dilakukan. Meskipun begitu kehadiran kartu kredit, dan juga kartu debit yang saat ini semakin populer (dibandingkat kartu kredit) bisa menjadi solusi atas kebutuhan pembayaran untuk transaksi di negara tujuan. Saya amati pengguna kartu kredit sekarang berkurang. Namun kartu debit bertumbuh. Mungkin orang lebih nyaman menggunakan uangnya sendiri, tanpa biaya tahunan yang cukup mahal. Bisa juga antisipasi untuk tidak tergoda konsumsi berlebih, dengan menggunakan fasilitas kredit.

Dengan kartu kredit ataupun kartu debit, pembayaran dengan mata uang lokal bisa dilakukan, dan tagihan akan langsung dikonversikan ke mata uang rupiah (kartu kredit), atau dengan cara didebet (kartu debit), mengurangi saldo kita. Kedua kartu tersebut umumnya bisa digunakan secara internasional. Jenis transaksi ini akan sedikit lebih mahal karena bank akan menentukan kurs jual. Artinya transaksi kita (misalnya dalam mata uang Baht Thailand) akan ditentukan berdasarkan harga jual bank, yang nilainya tentunya lebih tinggi (karena kita membeli Baht), untuk digunakan dalam transaksi lokal di Thailand.

50 Dolar Amerika (USD). Mata uang paling laku sementara ini.

Sayangnya tidak semua pihak di negara tujuan menerima kartu kredit ataupun kartu debit, terutama pedagang-pedagang kecil. Oleh karena itu mau tidak mau kita harus menyediakan uang tunai lokal dalam jumlah yang cukup, seperti untuk transportasi taksi, belanja di warung atau toko kecil, apalagi mereka yang suka dengan stret food, uang tunai lokal wajib tersedia.

Di beberapa negara mata uang Amerika, ataupun mata uang asing yang kuat lainnya bisa diterima, tentunya memiliki cadangan keduanya dalam jumlah yang wajar tentu lebih baik. Poin plusnya mata uang Amerika (USD) bisa diterima hampir di mana-mana, paling tidak mudah ditukar dengan mata uang lokal. Tapi tentunya, mata uang lokal wajib dimiliki.

Namun kita harus hati-hati, kadang-kadang tampilan mata uang lokal bisa menyerupai mata uang internasional lainnya, karena kekurangtelitian kita dalam membaca nominal mata uang asing bisa tertukar dengan mudah. Beberapa negara menggunakan hurup dan bahasanya sendiri, sehingga bisa membingungkan. Ini jadi masalah, terutama kalau di dompet kita ada beberapa mata uang asing, seperti mata uang Amerika (USD) dengan mata uang lokal, atau mata uang lainnya.

Pernah suatu saat saya di Bangkok, harus membayar taksi sesesar 50 Baht. Namun karena saya mencampur dalam dompet dua mata uang, Baht dengan USD, apalagi pada keduanya tertera angka 50, sehingga saya tidak sengaja karena tergesa-gesa asal comot mengambil 50 dolar Amerika (harusnya 50 Baht), tanpa dilihat lagi, yang tentunya jauh lebih mahal, berkali-kali lipat. Padahal kedua mata uang pecahan 50 tersebut sangat berbeda. Karena pernah berbelanja dengan dolar Amerika, jadi saya lupa, sembarang mengambil uang 50, yang kebetulan di dompet ada 50 dolar Amerika. Supir taksi menerima uang tersebut begitu saja tanpa bertanya apalagi membantu mengingatkan saya, bahwa pembayarannya kelebihan. Atau mengingatkan mata uang yang sya bayarkan salah.

50 Bath Thailand, era Raja Bhumibol

Kejadian di Bangkok tentu saja merugikan saya (tapi juga karena kekurangtelitian/kekonyolan saya), plus sopir taksi yang kurang jujur. Ada lagi pengalaman lain dalam perjalanan internasional terkait mata uang lokal ini. Kejadiannya di Dhaka. Pagi hari saya keluar hotel berjalan menyusuri kawasan hotel, kemudian minta diantar sama tukang becak khas Dhaka, yang disebut Rickshaw. Setelah berputar-putar mengelilingi jalan-jalan seputar hotel, yang lebih menyerupai kawasan Menteng di Jakarta, terus istirahat, saya mengajak pendorong becak (Rickshaw puller) minum teh. Kebetulan saya menemukan tukang kopi dan teh panas di jalanan (semacam street coffee/tea). Selain karena perlu minum, di kedai kopi/teh jalanan seperti ini saya bisa mengenal kehidupan masyarakat lokal.

Harga 1 cangkir teh sebesar 10 mata uang Bangladesh (10 Taka), kami minum berdua jadi 20 Taka. Kemudian saya membayar, yang sepengetahuan saya 50 Taka, dengan menyerahkan semuanya tanpa harus ada kembalian. Mengingat 10 Taka sangat murah sekali. Si pedagang teh, saat saya tanya apa uangnya cukup. ia mengangguk, tapi tidak mengucapkan terima kasih. Saya pikir ya sudahlah, yang penting saya membayar lebih. Sayapun melanjutkan keliling-keliling kawasan dengan tukang becak tadi, yang kebetulan sangat ramah.

10 Taka Bangladesh

Namun sesampainya di hotel, saya cek lagi uang yang saya berikan ke penjual minuman teh, eh ternyata yang tadi saya bayarkan bukan 50 Taka, tapi hanya 10 Taka. Jadi saya kekurangan bayar 10 Taka, karena mentraktir tukang becak yang saya minta antarkan keliling kawasan.

50 Taka Bangladesh

Sudah terlambat, karena malam hari saya haru ke bandara, dan late check out dari hotel sebelum jam 14.00, sehingga tidak bisa lagi menemui pedagang minuman teh tadi. Bisa jadi ia sudah tidak ada. Saya jadi keingatan terus sama penjual minuman teh di jalanan tersebut - kurang bayar 10 Taka. bagi dia uang 10 Taka (sekitar Rp. 1500.-) tentu sangat berharga, meskipun sebenarya tidak seberapa. Yang saya sesali adalah keteledoran saya, tidak teliti dalam melakukan pembayaran, sehingga merugikan pedagang, meski nilainya sangat kecil.

Akhirnya saya berpikir, mudah-mudahan ada kesempatan kembali ke Dhaka, sehingga bisa menutupi kekurangan 10 Taka kepada pedagang minuman teh tersebut. Saya rencanakan ingin membayar lebih, sebagai tanda permohonan maaf. Tapi kapan bisa ke Dhaka lagi….?

Jadi tipnya, pelajari baik-baik nilai nominal mata uang lokal dan jangan mencampur berbagai mata uang asing dalam satu dompet. Harus dipisahkan.

(Aam Bastaman - Pelancong. Dosen Tetap di Universitas Trilogi).

Sumber photo: Open access (internet).

Aam BastamanComment