Gugurnya Panglima Pendita Durna

Dalam pertemuan rutin tingkat tinggi di pesanggrahan Raja Astina, kelihatan Sang Raja sangat gundah karena para Pimpinan tertinggi seakan hanya pandai omong, tetapi tidak menunjukkan komitmen untuk maju peramg. Mendadak seorang sesepuh Pendita Durna, guru bagi para anak kurawa dan pendawa, pontan mengajukan diri siap menjadi Panglima dalam Perang Barata Yudha.  

Dengan rasa haru Raja Astina memberikan apresiasi dan sangat berterima kasih mendengar pernyataan itu dan langsung memberikan persetujuannya. Para punggawa lain juga sangat setuju dan dianggap komitmen itu membuktikan bahwa para pejabat senior tidak hanya berani omong saja, tetapi sanggup maju perang membela Raja dan tanah air Astina. Melalui persetujuan itu segera dilakukan persiapan gelar pasukan yang sudah sangat berkurang, banyak  gugur dalam pertempuran yang berlangsung beberapa hari.

Mendengar Pendita Durna menjabat sebagai Panglima Perang kalangan Pendawa sempat geger tetapi segera harus memilih Panglima tandingan. Pilihan Kresna tidak lain pada Panglima Raden Arjuna dengan Panglima Pendamping Raden Werkudara. Biarpun agak segan karena Pendita Durna adalah gurunya, akhirnya Raden Arjuna siap sedia meemimpin pasukan Pendawa maju perang.

Sementara itu Prabu Kresna mengatur siasat perang urat syaraf karena Pendita Durna ahli siasat dan terbukti sejak muda memang ahli olah perang. Diasat yang diatur oleh Bathara Kresna bukan hanya siasat fisik, tetapi juga siasat perang unrtuk menurunkan mental sang Panglima Pendita Durna.

Konon dalam Perang Barata Yudha itu ada seorang Raja. Permia yang membantu Raja Astina dengan pasukannya yang sang Raja memimpin pasukan itu mengendarai seekor gajah dengan seruan keras bersemangat maju terus, maju terus seakan memberi semagat. Tetapi tatkala pasukan beberapa negara sahabat Astina maju, maka dengan cekatan gajah yang ditunggangi digiring mundur dibelakang pasukan, ditempat yang aman. Manakala ada pasukan musuh atau sahabat meninggal dunia, pasukannya diperintahkan melucuti perlengkapan senjata dan barang berharga yang dibawa sang kurban. Barang rampasan itu dikunpulkan pada kereta yang disiapkan dibelakang gajah yang dinaikinya sehingga seakan Raja melindungi harta rampasan tersebut.

Melihat keadaan itu, Raja Kresna mengambil siasat menurunkan mental Pendita Durna dengan memerintahkan agar Raden Werkudara melempar gajah dengan penumpang Raja Permia itu dengan senjata andalan Gada Rujak Polo sampai gajah dan penumpangnya hancur berantakan. Sementara kepada Petruk dan Bagong diperintah agar berteriak sekeras- kerasnya  dan berulang-ulang bahwa Aswotomo, anak Pendita Durno, gugur. Tujuannya tidak lain adalah menjatuhkan mental Sang Pendita yang sangat sayang pada anak satu-satunya tersebut,

Karena teriakan itu membahana ditirukan oleh kedua pasukan kawan maupun lawan akhirnya sang pendita terpengaruh dan berhenti bertempr. Sang Pendita lari menuju kubu para anggota pasukan Pendawa menanyakan kebenaran berita tersebut.  Dengan segan anggota inti pasukan menjawab bagwa berita itu benar, Aswotomo gugur dalam pertempuran. Siasat menjatuhkan mental Pendito Durno berhasil.

Dalam keadaan sempoyongan karena putra satu-satunya yang sangat diidamkan gurgur, Pendito Durna disabet pedang oleh Drusta Junena yang menyimpan dendam kepada Sang Pendita karena dendam orang tuanya dibunuh oleh Pendita Durna yang dengan tidak semena-mena, Sang Pendita gugur dibunuhnya dengan kepala terpisah dari tubuhnya.. Kepala ini ditendang sebagai bola oleh pasukan yang ada tanpa rasa hormat.

Jenazah Sang Pendita dirawat dengan baik oleh Sang Arjuna dengan pasukannya dan tidak dihargai oleh Raja Suyudono. Sang Pendita telah gugur melaksanakan baktinya kepada Kerajaan Astina yang selama ini memberikan penghormatan kepada beliau.

Haryono SuyonoComment