TUMBAL, Suatu Ritual Penghormatan Pada Penguasa Alam Semesta

Prof Dr Haryono Suyono, Menko Kesra dan Taskin Kabinet Pembangunan RI

Konon suatu pembangunan untuk orang banyak, dimasa lalu selalu disertai dengan acara ritual penyajian “tumbal;” atau persembahan kepada dewa-dewa atau penguasa alam semesta dengan memenuhi permintaan penguasa tersebut yang disampaikan melalui mimpi atau tanda-tanda lainnya. Apabila permintaan “tumbal” itu dipenuhi, pekerjaan besar yang diambil bisa dijamin selamat dan sukses. Praktek semacam itu masih terjadi dengan menanam kepala kerbau di area pembangunan berskala besar biarpun nilai ritualnya tidak terlalu diutamakan.

Dalam cerita Wayang Kulit, konon menjelang Perang Besar “Barata Yudha Jaya Binangun” Pandowo serta Astina dua kubu besar yang saling berhadapan dianjurkan memenuhi kepercayaan itu untuk mendapat doa selamat dan kemenangan dari alam semesta.   Keluarga Pandawa melakukannya tidak langsung tetapi dalam segala tingkah lakunya selalu menghargai lingkungan hidup, dan mahkluk hidup dimanapun adanya, tidak berbuat jahat sesama mahkluk hidup.

Salah satu contohnya dalam suatu perjalanan di dalam hutan keluarga ini kemalaman. Mereka bertemu dengan sebuah rumah keluarga setengah tua dengan istri dan anaknya.  Ibu Kunthi, ibunya keluarga Pandawa, minta ijin kepada tuan rumah untuk menginap di rumah Demang pemilik rumah. Melihat wajah-wajah tamunya, mereka diberi ijin menginap.  

Sampai tengah malam rupanya keluarga Ki Demang belum tidur, berdebat siapa yang akan disiapkan untuk korban pada Raja Boka sebagai santap daging manusia. Masing-masing berebut jadi pahlawan siap menjadi santapan raja. Paginya Dewi Kunthi menemui Ki Demang dan menanyakan pembicaraan serius keluarga Ki Demang. Ki Demang bercerita bahwa Raja mereka Boga suka pesta makan daging manusia sekali sebulan. Hari itu adalah giliran Ki Demang untuk mengirim manusia untuk santapan itu.

Dewi Kunthi dan Pandowo sepakat bahwa Ki Demang boleh membawa Bima, anak kedua Dewi Kunthi sebagai santapan Raja Boga. Raja dengan gembira menerima persembahan tersebut, tetapi malang bagi raja karena daging Bima susah digigit bahkan Raja akhirnya dikalahkan Bima meninggal dunia.  Ki Demang anak istri dan negaranya bebas dari raja pemakan manusia tersebut. Kemudian Rezi Jenefri, bambang Rawan ddan adik ayahnya siap jadi relawan tumbal.

Lain halnya Raja Asina. Patih Sengkuni dengan adik Raja Borisrawa keliling desa mencari orang yang sanggup mati sebagai “tumbal” Perang. Dalam keadaan gagal frustasi tidak mendapat sambutan rakyat itu mereka bertemu dua nelayan sungai mencari ikan. Sarko

dan Karko. Keduanya ditawari kesempatan menjadi sukarelawan dengan janji-janji muluk, tatapi tidak ditanggapi sama sekali. Sengkuni dan Borisrawa yang sombong habis kesabarannya dan keduanya ditebas dengan pedang habis nyawanya.  Sebelum rebah ke perahu kecilnya, salah seorang berteriak bahwa mereka akan melakukan pembalasan pada saat Perang nanti. (Penulis : Prof Dr Haryono Suyono, Menko Kesra dan Taskin Kabinet Pembangunan RI)

Mulyono PrawiroComment