Perjalanan Pulang Kampung yang sangat Asyik
Sewaktu masih sekolah menengah di Yogyakarta, SMP dan SMA, perjalanan pulang kampung bagi kami para pelajar ke Pacitan di tahun 1950-an sungguh asyik karena belum ada kendaraan Bus regular yang cukup menampung kebutuhan masyarakat. Para pelajar perlu bergabung dengan pedagang yang menggunakan truk membawa dagangannya.
Setelah ada Bus terbatas karena penumpang yang berlebih, para pelajar harus “kucing-kucingan dengan Polisi untuk naik Bus. Mereka naik tidak di tempat pemberhentian resmi, tetapi jauh di luar kota yang bebas dari dinas patrol polisi, sehingga Bus bisa menampung penumpang melebihi kapasitasnya.
Tidak ada rasa takut melanggar biarpun melebihi kapasitas yang bisa celaka, pokoknya biarpun berdiri didalam bus asal terangkut oulang kampung sudah merasa aman dan puas. Dikampung orang tua akan masak enak menghibur anaknya yang sedang berjuang di SMP dan SMA pilihannya. Mencegat Bus yang penuh penumpang di tempat yang jauh dari tempat Patroli itu sudah merupakan standar baku, tentunya Polisi juga tahu, tetapi sengaja tidak mengambil Tindakan. Di luar jangkauan patroli yang dianggap di luar dinas karena keadaannya berada diluar dinas, jadi bebas tidak dikenai cegatan polisi atau aparat Pemda lainnya, buarpun mereka pasti yahu karena seakan sudah bersifat rutin dari tahun ke tahun.
Pada waktu sudah Dinas dan menjabat eselon satu di tingkat pusat, perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta biasa dilakukan dengan pesawat terbang atas biaya negara. Pemandangan diatas langit biasa dihias awan putih aneka bentuk yang menarik dan menjadi idola untuk sekitar empat puluh tahun.
Setelah pensiun, termasuk kegiatan dengan Yayasan Damandiri, minggu lalu kami sekeluarga secara sengaja mengadakan acara pulang kampung guna meresmikan pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat dari rumah peninggalan almarhumah ibu, yang semula hanya untuk Taman PAUD, kita renovasi menjadi pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Pekerjaan yang diatur oleh Mas Totok, keponakan kami, anak almarhum mas Danuri, adik kami itu, sudah selesai dan segera bisa dimanfaatkan.
Perjalanan rombongan dari Jakarta menggunakan kereta api. Konon fasilitasnya sudah sangat baik. Dr Rina, anak kami terkecil seminggu sebelumnya sudah ke stasiun Gambir pesan tiket atas petunjuk adik kami Drs Suroyo Alimuso, pensiunan Dirjen Perhubungan Darat. Pesanan lancar dan siap disediakan tempat duduk karena kereta api jaman sekarang tidak boleh lagi berdiri sepanjang perjalananan. Semua harus duduk dan tidak boleh juga ada pedagang yang mondar mandir dalam kereta seperti dulu.
Pada hari Jum’at minggu lalu kami mulai perjalanan pulang kampung. Pagi-pagi sudah sampai stasiun Gambir lengkap dengan keluarga, ada anak-anak, adik dan dua pengawal untuk melayani kursi roda yang masih kami gunakan karena jalan biasa belum stabil. Tidak banyak kesulitan bagi pemakai kursi roda di dalam stasiun kecuali harus hati-hati melintas rel kereta di dalam peron. Lepas dari jaringan rel dalam peron, kami sam[ai ke tepi rel yang akan ditempati kereta menuju Yohya dari rangkaian kereta Gambir-Yogyakarta.
Begitu kereta datang kami dan rombongan secara teratur masuk ke kereta. Koper pakaian telah disrahkan kepada porter dengan nomor yang jelas dan ditanggung tidak akan dilarikan kemana-mana kecuali diantar ke gerbong yang telah kamI pesan. Begitu koper dan tempat duduk dibagi bagi menurut nomornya maka satu demi satu kami duduk dan mencoba menikmati tempat dud8k yang visa dibuka untuk selonjor dan tiduran seakan istirahat secara nikmat dan sanati. Awalnya memang nikmat tetapi setelah setengahjalan pantat yang sudah banyak dipakai duduk ini terasa panas dan capai juga karena merasa sudah tua dan perlu direbahkan secara santai.
Tepat pada waktunya, kepala stasiun membnyikan peluit dan berbgakatlah rangkaian Panjang kereta api menuju Yogyakarta melaului Chirebon, Purwokerto, Kebumen dan akhirnya Yogyakarta. Tidak seperti perjalanan di masa lalu sepanjang jalan terrkesan kampung kumuh, sekarang banyak yang dibatasi dengan pagar di cat putih bersih sehingga tidak memberikesan keluarga Indonesia berkampung kumuh dan kotor. Tetapi pasti bahwa sepanjang perjalanan kalua kita lihat rumah penduduk kita biasa hanya melihat bagian buritan atau rumah bagian belakang. Ini karena hamper tidak ada rumah yang menghadap rel kereta api. Berbeda dengan jalan raya, biasanya rumah menghadap jalan raya karena umumnya orang bepergian sehari hari melalui jalan raya.
Pemandangan lain yang menarik adalah bahwa kereta api selalu asuk desa menembus sawah dan ladang sehingga seakan banyak peristiwa kereta menembus sawah dengan tanaman padi. Sejauh mata memandang tergelar tanaman padinya. Secara kebetulan minggu lalu sudah panen sehingga yang tergelar bukan tanaman padi tetapi rimput liar diatas sawah yang luas. Nun diujung sawah itu ada gunung yang kelihatan halus tanpa lekuk padahal sesungguhnya tidak merata. Indah sekali karena Sebagian menggantung seakan menyatu dengan bumi tanpa batas. Pemandangan ini berakhir manakala kita memasuki stasiun Tugu di Yogyakarta. Distasiun ini sibuk karena mencerminkan kota besar yang terkesan mewah dengan penghuni aneka suku bangsa.
Sampai Stasiun Tugu Yogyakarta beberapa mobil yang dosiapkan pal Suroyo, mantan Dirjen Perhubungan Darat akan membawa rombongan ke Pacitan sudah siap siaga. Kita semua pindah ke mobil masing-masing layaknya seperti pejabat resmi saja. Seger akita meluncur untuk makan sore emvoba kuliner yang ada di Kota Gudeg yang terjenal. Pak Sutarto, mantan Kepala Bulog mempnyai tanggung jawab mempersipakan acara makan sore tersebut dengan baik.