“Dangke-Dadiah-Dali, untuk Pencegahan Stunting”
Oleh : H. Nofrijal, MA
Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama
Usaha bersama untuk memacu penurunan angka stunting nasional sudah dimulai, sekecil apapun potensi yang dimiliki, termasuk masakan lokal, dapat menjadi kekuatan agar kasus stunting dapat diturunkan pada titik 14% pada tahun 2024. Kali ini penulis menemukan makanan tradisional yang sudah turun temurun dan bernilai gzi yang tinggi, disebut dengan “Trio Dadada”, akronim dari tiga makan khas lokal yang hampir mirip rasa dan pengolahannya, Danke berasal dari Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Enrekang; Dadiah berasal dari Sumatera Barat, lebih banyak diproduksi di Kabupaten Tanah Datar; dan Dali makanan tradisional yang berasal dari Sumatera Utara, tepatnya Tapanuli. Pasti ada makanan lokal lainnya yang mengandung gizi tinggi yang tersedia dalam produksi makanan lokal di seluruh Indonesia.
Dangke, Keju dari Enrekang
Dangke, dikutip dari Tulisan Eka Hakim (Jan 2018) menyebut Keju Lokal Enrekang, Rasa Keju Eropah. Makanan ini berasal dari salah satu Kabupaten di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan yang bernama Enrekang. Kabupaten ini terkenal dengan produksi keju lokal yang rasanya tak kalah dengan keju buatan negara seperti Italia. Dangke berbahan baku utama adalah susu sapi dan berdasarkan tururan Bupati Enrekang DR. H. Muslimin Bando, MPd Dangke bisa dibuat dari susu domba.
Proses pengumpalan susu dilakukan dengan menggunakan daun dan buah pepaya. Secara ilmiah, enzim (getah) daun dan buah pepaya mengubah susu kerbau menjadi padat setelah terjadi pemisahan antara protein dengan air. Hasil pengumpalan inilah yang kemudian dimasak dan dicetak dalam tempurung kelapa yang telah dibelah menjadi dua bagian. Keju dangke yang bentuknya mirip tahu itu memiliki rasa yang gurih dengan arma khas keju. Teksturnya kenyal dan warnanya putih agak kekuningan. Aman untuk kesehatan karena tanpa sedikitpun bahan pengawet. Tak hanya steril dalam pembuatan, hewan sapi yang akan diambil susunya juga terjaga kesehatannya. Sapi dimandikan setiap hari, kemudian air susu diperas dan dikumpulkan dalam sebuah wadah yang juga terjaga kebersihannya.
Air susu sapi yang terkumpul, lalu disaring agar kotoran kecil dengan susu terpisah sebelum dilakukan fermentasi. Getah daun dan buah pepaya muda dituangkan ke dalam adonan susu, fungsi enzim pepaya adalah untuk memadatkan bahan susu. Setelah berada dalam cetakan, air susu sapi yang telah melalui proses pemasakan, kemudian didinginkan hingga nantinya menjadi padat. Jadilah keju dangke.
Dadiah, Yogurt dari Minangkabau
Dadiah merupakan susu kerbau yang difermentasi dalam batang bambu. Proses fermentasi ini membuat susu kerbau jadi punya rasa asam yang khas seperti yoghurt. Karena itulah dadiah juga sering disebut sebagai yoghurt khas Minang. Proses fermentasi memakan waktu 2-3 hari. Dadiah siap disantap jika sudah mengumpal.
Begitu terkenalnya Dadiah yang berciri lokal, seorang Chef kenamaan dunia Gordon Ramsay mengunjungi Sumatera Barat dalam salah satu episode acara Gordon Ramsay: Uncharted yang tayang di National Geographic Channel pada hari Senin tanggal 29 Juni 2020.
Dali, Keju dari Batak
Dali atau bagot ni horbo adalah air susu kerbau yang diolah secara tradisional. Dali adalah salah satu makanan khas batak dari Tapanuli. Menurut cerita, tradisi mengolah susu kerbau menjadi dali sudah dimulai oleh leluhur orang batak semenjak adanya komunitas batak itu sendiri. Hampir semua di setiap rumah makan khas batak, dali atau bagot menjadi menu utama. Kandungan gizi pada dali secara umum tidak berbeda dengan susu lainnya, dali juga mengandung lemak, karbohidrat dan protein. Beda dengan susu sapi dan domba terletak pada pengolahannya. Jika susu sapi dan domba diolah dengan menggunakan mesin, dali justru diperas secara alami dan diolah secara sederhana tanpa menggunakan unsur kimia. Induk kerbau baru bisa diperah ketika bayinya sudah berumur satu bulan. Supaya, bayi kerbau tidak kekurangan gizi, karena bayi kerbau masih mengandalkan air susu induknya.
Ketiga jenis makanan tradisional ini mengandung nilai gizi yang tinggi untuk bisa dikonsumsi oleh ibu hamil dan ibu menyusui untuk diteruskan kepada bayi-nya. Dapat menjadi sumber protein hewani makanan masyarakat yang mudah, enak dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Melihat kepada sumber pembuatan Dangke, Dadiah dan Dali serta cara-cara pengolahannya dapat diyakini bahwa ada masakan lokal yang bisa melepaskan bangsa ini dari masalah stanting.
Da-da-da, tidak sendirian di komunitas lokalnya, akan tetapi kekayaan hewani dan nabati Indonesia cukup memadai untuk memenuhi gizi keluarga dan masyarakat. Perternakan ayam petelur dan pedaging, bertenak ikan dan lele, menangkap ikan di laut, peternakan kambing, sapi dan kerbau dan lainnya adalah kekuatan bangsa untuk menjauhkan kekurangan energy protein dan keurangan energi kronis. Terutama untuk ibu hamil dan ibu menyusui, memerlukan ketersediaan dan pasokan bahan makanan bergizi untuk dikonsumsi dalam keluarga.
Bersamaan dengan program akselerasi ketahanan pangan dan gizi, gerakan upaya peningkatan gizi keluarga (UPGK) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pemenuhan kebutuhan protein, karbohidrat, vitamin dan lainnya. Gerakan konsumsi makanan begizi ibu hamil dan ibu menyusui, merupakan gerakan yang dapat menurunkan kasus-kasus stunting dan kekurangan energi protein dan kekurangan energy kronis.
Masalahnya sekarang adalah komitmen, perilaku dan konsistensi orang tua dan masyarakat yang belum peduli dengan gizi ibu hamil dan ibu menyusui, diantara sikap yang ditemukan adalah makanan yang bergizi seperti dadada, daging dan telur ayam, ikan laut dan air tawar serta lainnya porsi terbanyak adalah untuk suami dan orang dewasa lain yang tidak sebesar kebutuhan ibu hamil dan ibu menyusui.
Pusat studi dan penelitian Badan Riset Indonesia, universitas dan pusat studi BKKBN dapat melakukan penelitian terhadap kandungan gizi da-da-da dan aspek sosial sejarah munculnya Dangke, Dadiah dan Dali dalam makanan tradisional. Ada dugaan yang bisa meningkat menjadi hypotesa, tiga daerah penemu “keju dan yoghurt”, memiliki kemiripan budaya dan merupakan wilayah incaran penjajahan belanda. Jangan-jangan insial D yang tersebut dalam makanan tradisional tersebut adalah “Dutch-Belanda”. Jangan-jangan juga karena masyarakatnya mekonsumsi Dangke, Dadiah dan Dali, mereka jadi suka merantau dan hidup sukses diperantauan. Apalagi apabil ditambah dengan sayur daun kelor yang mudah ditumbuhkan di setipa halaman rumah. Apabila hasil studi itu positif, tidak perlu ragu-ragu mengembangkannya menjadi pola makan yang memperbaiki gizi ibu hamil agar anaknya tidak lagi lahir kurang gizi dan tumbuh kembang tanpa menderita stunting.
Tana Toraja, 06 Agustus 2021