Mahasiswa Trilogi Pelajari Pembangunan Berbasis Masyarakat

tril1.jpg

Kamis 4 Maret 2021,  dikawal Rektor, Prof. Mudrajad Kuncoro PhD, Dosen Pembimbing, mahasiswa, khususnya yang akan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau Kuliah Merdeka, Prof. Dr. Haryono Suyono, melalui sistem Daring, memberi pembekalan secara intensif. Seperti diketahui, di samping kedudukan beliau sebagai Pembina YPPIJ, Yayasan pengelola Universitas Trilogi, beliau juga Guru Besar Universitas Airlangga di Surabaya serta Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) di Jakarta. Selain kuliah pencerahan beliau, para mahasiswa untuk beberapa hari ini mendapat masukan dari Rektor, Wakil Rektor, para dosen senior dan suatu Tim yang disusun oleh Ketua LPPM, Dr. Aty Herawati PA yang mengatur seluruh program Kuliah Merdeka yang dilaksanakan di Desa-desa dengan penggunaan Protokol Kesehatan secara ketat.

tril2.jpg

Dalam kuliah pencerahannya sekitar satu jam itu dijelaskan bahwa Pendekatan Pembangunan berbasis Kemasyarakatan sesungguhnya merupakan sistem kuno yang dilakukan oleh nenek moyang yang biasa selalu dimulai dengan “upacara ritual” oleh keluarga dan penduduk desa dalam setiap kali melakukan kegiatan pembangunan. Seperti misalnya di Jawa disebut sebagai selamatan. Bahkan upacara itu di beberapa daerah masih tetap dilakukan. Upacara membuat rumah di Jawa misalnya diikuti dengan upacara menggantungkan bendera merah putih disertai gantungan padi dan perlengkapan lain pada saat memasang atap disertai harapan “memberikan rasa perlindungan spiritual” kepada penghuni rumah yang akan menempatinya dengan kehidupan tenang, cukup makan dengan keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Praktik semacam itu dianggap kuno dan dengan cepat hilang tatkala terjadi revolusi industri dengan munculnya banyak industri di Inggris dan negara maju lain yang menghasilkan budaya dan norma baru yang menganggap “praktik ritual” sebagai kuno, tidak modern, dianggap tidak efisien atau tatanan irasional. Perlahan di belahan Barat kebiasaan seperti itu hilang tetapi di negara-negara berkembang tetap dilakukan dengan sekedar sebagai “hiasan upacara” yang menarik ditonton tetapi makna spiritualnya tidak selalu diperhitungkan atau dihargai seperti pada jamannya.

mb4.jpg

Selanjutnya Haryono secara langsung memperkenalkan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat di latar belakangi dengan pengalaman yang sangat lama dan berhasil dalam berbagai program dan gerakan pembangunan di tanah air seperti Program KB yang dalam waktu kurang dari satu generasi berhasil menciptakan budaya baru mengembangkan norma keluarga besar menjadi budaya dengan norma keluarga kecil sehingga mendapat Penghargaan PBB pada tahun 1989, sekitar “sepuluh tahun lebih cepat” dibanding “target yang ditetapkan pemerintah”. Begitu juga dengan upaya pengentasan kemiskinan dengan program IDT dan IKS yang berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari sekitar70 persen di tahun 1970 menjadi 30 persen di tahun 1990, selanjutnya menjadi 11 persen di tahun 1997. Program yang diikuti gerakan masyarakat yang mandiri itu juga menghasilkan Penghargaan PBB pada tahun 1997.  Program ketiga sebelum tahun 2000 adalah Program yang semula bernama Usaha Peningkatan Gizi Keluarga (UPGK) yang dikembangkan sejak tahun 1980-an menjadi Gerakan Gizi Keluarga dengan melibatkan masyarakat menangani gizi anak balita dan bayi, ibu hamil dan penanganan ibu menyusui dengan bayinya. Program ini mendapatkan penghargaan nasional tetapi pada akhir tahun 1990 dan awal tahun 2000 publik gandrung pada demokratisasi program ini dihentikan. Sementara itu kegiatan progeam baru bisa menghilangkan berita buruk pada media masa akan keadaan gizi buruk yang meresahkan tetapi belum cukup membudaya.

Karena gerakan ini dihentikan , akibatnya pada tahun 2015 kita dikejutkan dengan maraknya kasus gizi buruk dan merebaknya kasus stunting karena kasus gizi buruk yang berkepanjangan. Dewasa ini kita seakan kembali kepada masa lalu, tetapi kalau penanganannya secara birokratis tanpa gerakan atau program berbasis masyarakat akan sulit mendapatkan dukungan masyarakat luas. Padahal kasus gizi buruk penyebab stunting perlu penanganan melibatkan partisipasi sangat luas yang hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat.

tril4.jpg

Selanjutnya dijelaskan panjang lebar dengan contoh-contoh aktual beberapa syarat pendekatan pembangunan berbasis masyarakat yang memerlukan komitmen politik sangat tinggi dan berkelanjutan dari semua pimpinan yang dianggap memiliki pengaruh dalam masyarakat, termasuk pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin formal, maupun tokoh-tokoh senior yang dianggap memiliki pengaruh dalam masyarakat. Komitmen itu perlu diikuti partisipasi nyata dan berkelanjutan  yang sangat tinggi dalam kesertaan pembangunan yang sedang dilaksanakan. Contoh nyata itu perlu kelihatan secara fisik, menonjol dan berkelanjutan dalam pandangan publik yang terbuka. Komitmen politik itu harus mampu menghasilkan “partispasi suka rela” yang tinggi, berkelanjutan dan kelihatan sangat fanatik secara ritual tidak lagi dipengaruhi masalah teknik tentang alasan penerimaan atas program pembangunan yang bersifat tehnis tetapi lebih bersifat ritual atau memiliki sistem nilai dalam pengertian budaya atau penerimaan yang membudaya.

tril5.jpg

Karena itu dijelaskan bahwa pembangunan berbasis masyarakat adalah seperti mendidik anak sekolah yang mengarah pada manusia sebagai obyek yang diubah menjadi “subyek pembangunan” yang ikut program sebagai “people centered development” karena sebagai sasaran berubah menjadi subyek pembangunan yang bergerak maju dengan tekad dan kemauan serta program aksi secara mandiri. Karena itu diperlukan motivasi yang kuat yang dikembangkan melalui program KIE, komunikasi, informasi dan edukasi disertai kegiatan advokasi guna meyakinkan tokoh-tokoh penggerak pembangunan yang dinamikanya sangat tinggi atau bisa bersifat sebagai tokoh penggerak yang fanatik dalam suatu gerakan politik atau gerakan keagamaan atau gerakan kepercayaan yang diyakini dengan komitmen atau fanatisme yang siap sampai titik darah penghabisan.

Fanatisme tersebut dalam pembangunan berbasis masyarakat dianggap sebagai nilai sakral atau “perekat” dari kelestarian suatu gerakan pembangunan berbasis masyarakat. Karena itu “praktik upacara sakral” dalam gerakan ini tidak dianggap kuno tetapi justru mengandung nilai spiritual seperti banyak upacara keagamaan atau gerakan seni budaya yang menjadi perekat kuat dari pengembangan yang mengubah secara struktural masyarakat menjadi “budaya dengan norma baru” yang menjamin kelestarian hasil pembangunan didukung rasa atau nilai penghargaan atas sikap spiritual yang berlaku jauh melebihi tata hukum yang berlaku di suatu negara. Sangsinya bukan lagi penjara tetapi rasa malu atau perasaan dikucilkan dari lengkungan masyarakatnya.

tril6.jpg

Setelah diberikan contoh-contoh sederhana daam praktis, pembekalan itu ditutup dengan tanya jawab singkat yang menarik. Semoga bahan-bahan yang dalam praktiknya perlu dihayati dengan sikap positif karena mengandung tawaran budaya gotong royong yang selalu dikalahkan “ego menang sendiri” berkat pengaruh kekuatan “budaya daya saing” yang selalu di dengungkan berlaku dalam sistem modern Pembangunan berbasis masyarakat perlu juga dianggap  efisien dan modern, bisa berjalan seiring karena didukung sangat kuat denagn sistem gotong royong yang memberikan dukungan seluruh kekuatan masyarakat termasuk nenek moyang yang tidak lagi secara fisik ikut dalam gerakan pembangunan tetapi dalam adat istiadat tetap kita berikan penghargaan yang tinggi.

Haryono SuyonoComment